Header Ads

Tentang "MELIHAT" dan tentang "PORNO"

Dari Abdullah bin Mas’ud ia berkata:

«مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لاَ تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ إِلَّا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةً»

Engkau tidak berbicara kepada suatu kaum dengan pembicaraan yang tidak bisa dijangkau oleh akal mereka, kecuali pasti akan menjadi fitnah bagi sebagian mereka. (HR Muslim).

Akhir-akhir ini ada fitnah seakan-akan HT atau seorang tokoh HT pernah memfatwakan bahwa "melihat pornografi" itu mubah. Ketika ada penjelasan bahwa kemungkinan yang satu adalah "qaul qadim" yang sudah dihapus oleh "qaul jadid", maka tetap saja masih ada persoalan yang tersisa, atau malah ada tuduhan seolah-olah ulama HT mencla-mencle.


Sebenarnya fitnah ini muncul dari kerancuan terminologi apa yang dimaksud dengan "melihat" dan apa yang dimaksud dengan "porno".

Meski "melihat" adalah suatu aktivitas yang dilakukan dengan mata, namun konteksnya bisa memunculkan spektrum yang amat lebar tentang aktivitas ini. Karena itulah para ulama membedakan antara "melihat" dalam konteks "kebetulan melihat", "menjadi saksi" hingga "menikmati secara visual". Mereka memiliki hukum yang berbeda-beda.

Demikian juga dengan kata "porno". Sebagian orang mendefinisikan "porno" adalah aktivitas membuka aurat. Karena dalam Islam aurat wanita adalah termasuk rambut, leher atau kaki, maka gambar rata-rata penyiar TV yang wanita adalah porno, demikian juga foto seorang mantan presiden wanita adalah porno. Tentu saja, definisi ini tidak diterima oleh sebagian orang lainnya. Mereka mendefinisikan porno adalah membuka aurat khusus, terutama yang berkaitan dengan kewanitaan, seperti payudara, sekitar vagina atau pantat. (* Mohon maaf kalau kalimat seperti ini dianggap vulgar, tetapi ini tulisan ilmiah yang harus jelas *).

Karena perbedaan definisi inilah, timbul simpang siur.

Kalau yang dimaksud dengan "melihat gambar porno" adalah "menikmati secara visual gambar (atau adegan) yang mempertontonkan payudara, vagina atau pantat wanita", maka jelas dari dulu hinggga kini, seluruh tokoh/ulama HT sepakat bahwa itu adalah haram. Di sini tidak ada qaul qadim ataupun qaul jadid.

Namun kalau yang dimaksud adalah "kebetulan melihat atau menjadi saksi" baik secara langsung maupun gambar dari seorang wanita yang terbuka rambutnya, lehernya atau kakinya, maka hukumnya tetap itu mubah. Inilah yang dimaksud pada tulisan Ust. Syamsuddin Ramadhan.

Bahkan pada aurat yang lebih dari itupun, melihat dalam konteks menjadi saksi tetap mubah. Andaikan ini haram mutlak, maka tidak mungkin ada ketentuan syara' tentang keharusan adanya 4 orang saksi atas tuduhan zina yang melihat langsung masuknya penis ke dalam vagina. Bagaimana mungkin menghadirkan saksi yang untuk itu mereka sendiri harus melakukan suatu keharaman ?

Jadi wahai Saudaraku, berpikirlah, dan janganlah kebencian kalian pada suatu kaum membuat kalian tidak menggunakan pikiran [Prof Fahmi Amhar] [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.