Header Ads

Indonesia 2014, Pilpres Kali Terakhir

Indonesia 2014, Pilpres Kali Terakhir
Indonesia 2014, Pilpres Kali Terakhir
Oleh: Ibnu Rusdi (Lajnah Siyasiyah HTI Sumenep)

Kekuasaan menjadi salah satu jalan paling efektif untuk perubahan. Jika sebuah masyarakat mengalami stagnasi, perlu dilakukan restrukturasi kekuasaan. Sikap yang tepat atas kekuasaan akan membuahkan hasil gemilang. Para penguasa dan rakyat yang digembalakannya, berserikat dalam menikmati suasana permai dengan kadar yang seirama. Sebaliknya, kondisi sulit akan bertambah-tambah apabila format kekuasaan dibangun dengan perspektif yang salah.


Indonesia dikarunia Allah kesempatan cukup panjang untuk menjalankan kekuasaan atas negeri sendiri. Hingga Agustus mendatang usia Republik ini mencapai 69 tahun. Bukan hitungan belia untuk ukuran suatu bangsa dengan modal pengelolaan yang melimpah. Jumlah penduduk yang nomor 5 sedunia akan menjadi kompetitor yang tangguh bagi siapapun. Kekayaan hutan, luas dan kandungan perairan, simpanan tambang di bawah tanah yang aduhai, memaksa apresiasi dunia terlontar dengan menganugerahkan julukan “Zamrud Khatulistiwa”. Yang paling dahsyat tentu fakta puncak yang tidak tertandingi oleh negeri-negeri manapun: para pemimpin, rakyat yang dipimpin adalah muslim, dan jumlah mereka luarbiasa. Dari hitungan jumlah umat Islam, Indonesia jawaranya!

Bukankah Sang Nabi yang disebut setiap hari sepanjang siang dan malam di seluruh wilayah negeri ini dipersaksikan sebagai figur yang ucapannya selamanya benar. Dari lisan beliau saw sendiri terdengar proklamasi: Islam itu paling tinggi, dan tidak ada yang menandingi ketinggiannya. Tidak diragukan, seharusnya Indonesia tampil menjadi Adidaya Dunia!

Potret Indonesia Mutakhir

Hingga menjelang suksesi kepemimpinan 2014, kondisi Indonesia tetap buram. kolonialisme bersenjata telah berakhir, tetapi kemerdekaan belum dicapai. Imperialisme baru berupa penjara regulasi justru mengepung ketat dengan dampak lebih berat. Lebih berbahaya, karena para pelaku politik dan penentu kebijakannya dimanja oleh aturan yang dirancang sendiri oleh sifat kemanusiaan mereka yang pasti serbaterbatas sehingga menyimpan potensi banyak masalah. Sementara rakyat yang selalu diverbalisasi sebagai muara dari seluruh upaya menuju sejahtera terus menjalani kenyataan sebagai sapi tunggangan yang semakin kurus akibat terus-menerus diperah.

Rakyat Indonesia digelandang pada daerah kubangan. Kesulitan hidup datang bertubi-tubi. Negeri hunian melimpah kekayaan yang seharusnya bisa memanjakan warga yang menghuni di atasnya dengan berbagai kemudahan, ternyata menyajikan fakta terbalik. Rakyat dipaksa bertarung memperebutkan lapangan kerja yang sedikit. Ketika berhadapan dengan pengurusan administrasi, mekanisme banyak kertas dan banyak meja menyebabkan urusan menjadi panjang dan berputar. Teknis pengelolaan program juga tidak bisa dikategori sederhana. Pembentukan kelembagaan yang terlampau gemuk menyebabkan pembelanjaan dana yang tidak efisien.

Potret buruk dari kehidupan rakyat seperti disebutkan di atas disebabkan oleh akumulasi persoalan antara lain: Pertama, regulasi yang tunduk pada kepentingan kaum kapitalis. Rakyat, sekalipun dinyatakan sebagai pemilik kedaulatan, tertulis hanya di atas kertas. Praktik politik yang butuh biaya tinggi meniscayakan terjalinnya senyawa penguasa dan pengusaha. Pada tataran ini belum dipastikan timbulnya bahaya. Akan tetapi, saat mesin politik yang dijalankan penguasa di bawah pengaruh pengusaha berputar di atas orientasi ekonomi, maka hasil akhir akan mudah dibaca. Sumber-sumber kekayaan negara akan berguguran dari pemiliknya yang sah, seluruh rakyat, lalu jatuh ke tangan segelintir orang-orang terkuatnya.

Kedua, para penguasa yang hanyut oleh opini global. Penguasaan teknologi informasi oleh Amerika dan negara-negara Barat memungkinkan pembentukan opini internasional dalam kendali mereka. HAM, pasar bebas, demokratisasi, perang global melawan terorisme, kesetaraan gender, masyarakat madani, Islam moderat dan lain-lain adalah produk Barat, dan rantai kekuasaan di negeri ini ikut berjuang mati-matian mempropagandakannya. Padahal semua wacana di atas sejatinya menipu manusia. Akan tetapi bahasa politik dengan pencitraan militer yang dikemas mewah berhasil menggiring para penguasa dalam kesalahan fatal mengambil kiblat. Semakin kita bersikap fanatik atas wacana HAM, hasilnya, kecerdasan emosional kita akan semakin rendah. Semakin menggilai proyek pasar bebas, hasilnya, monopoli perekonomi oleh negara imperialis akan semakin menyengsarakan negara tercinta. Begitu juga, respon akut atas demokratisasi kian mengerdilkan potensi spiritual manusia. Yang terakhir ini, negeri-negeri Muslim menjadi korban paling mengenaskan. Sebuah pesan jenius pernah dilontarkan Ali bin Abi Thalib mengenai aksi tipu-tipu bahasa ini: “Barangsiapa memahami bahasa suatu kaum, ia tidak akan tertipu oleh kaum itu.”

Ketiga, pendidikan politik yang tidak mencerdaskan. Pendidikan yang menjamah sisi kemanusiaan secara paripurna akan berhasil mewujudkan prototipe manusia dengan kemampuan lengkap. Manusia yang memahami bahwa setiap individu merupakan bagian tidak terpisahkan dari suatu populasi, dan seluruh anggota masyarakat tidak bisa melepaskan diri dari ikatan kekuasaan Penciptanya. Dengan kesadaran umum seperti ini, berbagai peristiwa publik akan segera direspon oleh banyak orang secara proporsional dan cemerlang. Amat disayangkan, cengkraman kapitalisme berhasil memandulkan talenta berpolitik pada kalangan mayoritas. Komunitas terpelajarnya saja jarang yang memahami musabab utama terjadinya krisis multidimensi, sehingga tawaran solusi dari mereka bersifat parsial. Apalagi kalangan umum, lebih tidak sanggup lagi membaca kondisi blunder kehidupan bangsa-bangsa sebagai dampak buruk perang ideologi yang belum kembali pada kemenangan Islam.

Laju Dakwah Ideologis

Pada ruang tertentu, buruknya pengelolaan urusan rakyat memantik timbulnya kesadaran. Sekalipun orientasi perlawanan tidak satu visi, tetapi gerak dakwah mendapatkan tempat yang lebih humus. Kendati metode kebangkitan tidak satu bingkai, tetapi nyala kesadaran terus menyelusup banyak rongga. Gelombang ketidakpercayaan dan keputusasaan masyarakat akibat manuver para pemenang sepanjang sejarah pemilu, baik Pileg maupun Pilpres dan Pilkada semakin mengkristal. Fenomena paling vulgar yang mengindikasikan hal ini bisa dibaca pada berbagai pernyataan dan sikap politik masyarakat umum yang semakin apriori.

Para abang beca di warung kopi berkata, “Siapapun yang menang tidak ada pengaruhnya bagi kita. Kalau tidak mengayuh beca, kita tidak bakalan dapat makan”. Para petani di ladang menganggap remeh hasil pemilihan umum, “Alaaah, yang enak mereka. Kita tetap berhadapan dengan pupuk yang langka, harga produksi pertanian yang tak naik-naik”. Lain pula para ibu-ibu yang biasa kumpul-kumpul bertetangga, “Uang seratus ribu sekarang mah, kalau dibawa ke pasar, tidak ada apa-apanya. Paling-paling dapat satu kresek kecil dan barang ecek-ecek.”

Silang sengkarut dunia politik, ekonomi pailit, keamanan sulit situasi pergaulan sakit, dan biaya kesehatan yang semakin mencekik memberi sumbangan berarti bagi dakwah. Hari demi hari gagasan perubahan terus bergulir. Rakyat mulai menyadari, bukan sembarang perubahan yang menjadikan bangkit. Tetapi perubahan revolusioner yang sistemik. Wajah biru lebam kehidupan rakyat Indonesia bukan semata lemahnya peradilan. Eksekusi yang tebang pilih dan setengah hati bukanlah penyebab inti dari merebaknya kasus kejahatan. Karena bisa dipastikan oleh kalkulasi sehat, kepastian hukum yang tidak diikuti kecerdasan berpolitik, atau tingginya target pendidikan tanpa didahului oleh jaminan kesehatan yang memadai, hanya akan menghasilkan gerak maju mundur di tempat. Bahkan, pada stagnasi yang kronis, hari ini pembangunan akan maju selangkah disusul besoknya mundur dua langkah.

Dakwah perubahan menawarkan perubahan yang mencerahkan. Rakyat mulai menyadari bahwa reputasi dan resistensi sebuah negara bersumbu pada ideologinya. Sistem kehidupan yang diadopsi menentukan karakter kehidupan bermasyarakat secara komprehensif. Jika kerusakan sudah menyangkut seluruh sendi kehidupan masyarakat, hampir bisa dipastikan sakitnya pada tata aturan yang berlaku. Obat bagi kesalahan yang sistemik hanya dengan mengganti sistem, tidak ada jalan lain. Para penguasa yang menjadi sasaran tuduhan sebagai biang penderitaan, lebih sebagai pihak teruntungkan secara material oleh buruknya sistem namun dijerembabkan pada fungsi pelayanannya. Pada batas puncak toleransi yang tidak perlu direalisasi, seandainya penghancuran hanya dilakukan pada sistem Kapitlaisme tanpa pergantian rezim, maka cukuplah ideologi Islam akan memandikan rezim kapitalis dan secara berangsur menyembuhkannya.

Gagasan sistemik untuk satu-satunya jalan kebangkitan terus bergerak mengambil setiap celah hingga suara perubahan memasuki wilayah-wilayah pedalaman kemudian disuarakan kembali oleh masyarakat pinggiran. Opini syariah Islam sebagai konstitusi paling adil bagi seluruh umat manusia mengetuk pintu-pintu rumah para tokoh representasi umat. Kalangan ulama, militer, birokrat, pengusaha dan para civitas kampus dan sekolah disapa dalam suasana persaudaraan yang tinggi. Opini Khilafah sebagai sistem politik paling cemerlang disajikan dengan tulus di atas meja organisasi, kelompok, harakah, partai politik hingga kantor birokrasi dan parlemen. Tidak mengherankan jika arus deras ini kemudian menghasilkan suatu fenomena luarbiasa. Hasil survey SEM Institute pada awal tahun ini menunjukkan 72% rakyat Indonesia menginginkan Syariah Islam sebagai landasan hukum Negara.

Faktor pendukung yang mengantarkan dakwah ideologis menemukan wilayah-wilayah basah antara lain: Satu, organisasi dakwah yang terstruktur dan bergerak sistemik. Pada awalnya pemikiran dan metode mewujudkan gagasan kebangkitan dihadiahkan Allah swt kepada salah seorang hamba yang dipilih-Nya. Interaksi dengan orang-orang terdekat membuka peluang adopsi fikrah ini oleh segelintir orang yang selanjutnya melebur menjadi sebuah pergerakan yang menyimpan soliditas amat tinggi. Seluruh elemen partai bekerja siang malam membawa wacana perubahan ini menjelajahi seluruh dunia. Indonesia merupakan negeri Muslim terbesar yang telah menjadi ruang jelajah selama puluhan tahun.

Keja keras pergerakan agaknya akan terus berkobar mengingat motivasi amaliyah yang menghidupkan geraknya adalah restu dari Sang Mahadigjaya. Allah memberi perintah: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada al-khair (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (TQS. Ali Imran (3) : 104)

Kedua, Opini tak henti. Wacana buang Kapitalisme gantikan dengan Khilafah berhembus mengikuti deru angin. Bergelora sebagaimana gelombang di lautan lepas luas. Menyala menghangatkan ruang-ruang yang selama ini memimpikan perubahan dengan konsep rasional dan aksi yang membumi. Dimana tanah dipijak, opini Khilafah menyasar ke tempat itu. Gema penegakan hukum-hukum Allah di bawah institusi daulah Islam terdengar berulang-ulang. Jiwa yang sekali sapa masih terhijab untuk menerima gagasan perubahan, lima sampai enam kali dijamah termagnet ikut melebur. Allah swt mengisyaratkan hal ini sebagaimana firman-Nya: “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (TQS. adz-Dzariyat (51) : 55)

Ketiga, Kerusakan yang menjalar menuju tepi. Konsepsi ekonomi kuat, mandiri, dan bersaing yang dijalankan pemerintah menghasilkan keadaan yang justru ditakuti. Liberalisme ekonomi ternyata bukan saja tidak mensejahterakan, justru mendorong kapal kesetimbangan membentur karang. Dengan pinsip liberalistik, warga negara dibelah menjadi dua kubu yang saling berhadapan secara ekonomi. Pihak pemilik modal kian leluasa menggunungkan harta di hadapan mayoritas rakyat yang semakin terhimpit. Sisa-sisa kekayaan tanah air yang usai dijarah oleh para kapitalis asing dan domestik selanjutnya diperebutkan oleh jutaan rakyat bawah. Pergulatan ekonomi arus bawah ini berlangsung lebih keras setelah mereka ditunggu dua kebijakan penghisabnya, subsidi yang terus-menerus dikurangi dan pajak yang terus-menerus meninggi. Pada lanskap kehidupan seperti ini respon rakyat diharapkan terus bergulir positif ke arah dakwah. Janji Allah akan segera terbukti. Dalam TQS. Yunus (10) ayat 81-82 Allah menegaskan: “Sesungguhnya Allah tidak akan membiarkan terus berlangsungnya pekerjaan orang-orang yang membuat kerusakan. Dan Allah akan mengokohkan yang benar dengan ketetapan-Nya.”

Skenario Indonesia Pasca Pilpres 2014

Pergantian rezim didamba puluhan juta rakyat Indonesia. Konstelasi politik menjadi lebih menarik disebabkan rakyat tidak sekedar mempunyai jago. Didorong kesadaran telah dikecewakan oleh janji-janji politik masa-masa suksesi silam, rakyat juga mengajukan syarat. Salah satu contoh yang mengemuka adalah persoalan Freeport. “Presiden terpilih harus berani menasionalisasi Freeport”, kurang lebih begitu mafhumnya. Antitesis dari statemen itu bisa berbunyi, “Jangan jadi presiden kalau tidak berani mengambil alih Freeport kembali ke pangkuan negeri tercinta.”

Ikatan sistemik menyulitkan realisasi tuntutan itu. Presiden bukan pengambil kebijakan tunggal. Ada lembaga legislatif dan yudikatif berdiri di sisinya. Perundangan yang sudah terlanjur memberi auditorium terhormat kepada korporasi multinasional menjadi belenggu lain bagi lingkar kekuasaan negeri ini untuk bergerak dinamis. Belum lagi fakta koalisi banyak partai yang didiktekan demokrasi akan menghantarkan pada musyawarah yang panjang dengan ujung yang kadangkala tidak pasti. Tidak bisa dipungkiri, kita sebenarnya terjajah dengan stadium akut. Oleh akumulasi aturan yang diproduksi dalam ruang parlemen, figur nomor satupun terpenjara, apalagi rakyatnya.

Akan tetapi, apapun kondisinya, waktu akan terus berjalan. Perubahan akan terus berlangsung kendatipun belum pasti warna maupun fluktuasinya. Dengan menggunakan paparan di atas sebagai dasar perhitungan, saya membayangkan tiga skenario utama kondisi Indonesia Pasca Pilpres 2014.

Satu, keadaan kian terpuruk. Formasi Pemerintahan Republik Indonesia hasil Pemilu 2014 kesulitan meloloskan diri dari pakem. Kapitalisme demokrasi akan membuktikan imunitasnya ketika jaringan kekuasaan melakukan perlawanan organ per organ tanpa memperlakukan seluruh bagian itu sebagai kesatuan fungsi yang utuh. Amputasi pada satu kebijakan departemen dengan mengabaikan kebijakan terkait pada departemen lain hanya menghasilkan ujung kerja yang melelahkan. Kebijakan tambal sulam akan terus memproduksi situasi sulit hingga rakyat makin terpuruk. SDA terus dalam cengkraman pengusaha asing dan domestik. Perilaku korupsi kian menjadi. Eksploitasi lingkungan yang diikuti makin ambruknya bangunan pergaulan antar jenis kelamin akan menambah frekwensi timbulnya bencana alam. Kasus kriminalitas dan kenakalan remaja akan meningkat jenis dan jumlahnya. Pendidikan sekuler mempertinggi persentase alumni sekolah dengan cara berpikir pragmatis dan jauh dari tatakrama. Di bidang sosial, pemberlakuan UU SJSN dan UU BPJS akan menjadi salah satu amunisi mematikan bagi tuntasnya kinerja pemerintahan hingga genap 5 tahun.

Protes ketidakpuasan akan datang gelombang demi gelombang. Rakyat tetap dalam pola pikir lama, presidenlah yang pailing bertanggung jawab atas kegagalan pembangunan, bukan pihak lain. Di sisi sebelahnya, tunas kesadaran ideologis akan terus bergerak memberi warna makin bening. Luasan dakwah melompat sehasta demi sehasta. Skenario ini diakhiri dengan tertolongnya kaum muslimin berupa Khilafah dan Syariah mewujud opini umum.

Kedua, pemerintah bergerak produktif mengurangi pengaruh kebijakan politik dan ekonomi asing secara perlahan tapi pasti. Deskripsi ini tidak menggembirakan bagi negara-negara imperialis. Berbagai isu, tekanan dan manuver politik akan dikembangkan oleh asing untuk menggoyang stabilitas pemerintahan dan ketertiban umum. Isu diskriminasi agama, terorisme, distribusi ekonomi yang cacat dan pelaksanaan demokrasi yang bermasalah akan bantu dijejalkan oleh para anteknya di kursi-kursi strategis.

Sejalan dengan itu persekongkolan asing dan antek akan terbaca lebih transparan. Aksi tipu-tipu yang sebelumnya telah dibongkar dan disuarakan oleh arus dakwah akan mendapat pembenaran. Perlawanan atas nama sentimen Islam akan menguat lebih cepat daripada skenario konspirasi, dan perjuangan Islam bergerak menuju kulminasi.

Ketiga, suhu politik global terpolarisasi pada dua kutub ideologi yang pertentangannya semakin jelas. Konspirasi negara-negara kapitalis tidak mampu membendung kebangkitan Islam dalam konsep, aksi dan manajerialnya. Ketahanan ekonomi dunia makin lemah. Agresi militernya tidak mampu melumpuhkan perlawanan pasukan mujahidin di titik-titik yang jumlahnya makin fantastis. Oleh gencarnya dakwah ideologis, soliditas negara-negara kolonialis dalam menghadapi musuh tercerai berai dalam banyak pemikiran.

Membidik kondisi pertarungan sengit ini dari jauh, elit kekuasaan Indonesia mulai terpapar wacana kebangkitan Islam. Setrum dakwah mengaliri pintu-pintu hati dan pemikiran simpul-simpul umat dengan leluasa. Sebelum tentara-tentara Allah dari para mujahidin di sebuah negara menghadiahkan kemenangan kepada Khilafah, Indonesia telah lebih dahulu ditolong oleh Sang Penguasa Seluruh Urusan dengan persitiwa monumental berupa fase istilam al-hukmi (penyerahan urusan umat kepada kekuasaan Islam).

Khatimah

Agenda Pilpres ditunggu sebagai tonggak perubahan. Presiden pengganti didamba sebagai seorang kapten dari kereta perubahan. Rakyat begitu kuatnya berharap krisis dalam seluruh inci aspek kehidupan mereka bisa terentaskan dengan formasi pemerintahan terbaru.

Akan tetapi sistem pemerintahan yang dianut negeri ini tidak memudahkan seorang presiden melakukan berbagai terobosan dan kejutan. Ada lembaga legislatif dan yudikatif yang mendampingi kekuasaan dalam kombinasi three in one. Belum lagi KPK, MK, BPK dan lainnya yang memiliki wewenang khusus dengan hirarki jabatan tidak di bawah presiden. Kondisi wajah Indonesia yang kusut masai, seluruh tubuh yang babak belur dihantam badai dahsyat Kapitalisme Demokrasi memberi beban terlampau berat sementara pikulan kekuasaan di pundak sang pemimpin terlalu kecil dan bukan dari kayu terbaik.

Dalam ketidakpastian jalan perubahan, arus deras kebangkitan dengan mengusung jargon “Buang Kapitalisme Tegakkan Khilafah” bergerak lincah dengan akselerasi irama yang terpelihara. Arus dakwah ini telah, sedang dan akan terus berpacu melawan proses kapitalisme dalam lintasan kompetisi memperebutkan kecenderungan berpikir dan keberpihakan rakyat. Trend politik yang dihadapi Indonesia Pasca Pilpres, dengan titik acuan itu, berujung pada tiga skenario utama.

Yang patut diamini adalah, apakah cengkeraman Kapitalisme berlanjut maupun kebijakan pemerintah mulai berani memperlihatkan kemandiriannya, semua skenario Pasca pilpres 2014 berujung pada muara yang sama: penegakan Khilafah dan penerapan Syariah mewujud opini umum. Rakyat Indonesia khususnya dan Umat manusia seluruhnya patut bergembira atas berita paling agung ini. [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.