Header Ads

Taushiyah Ramadhan: Amanah dan Kehancuran

Taushiyah Ramadhan: Amanah dan Kehancuran
Orang yang tidak mengerti bagaimana ketentuan Allah dalam mengatur urusannya tidak akan mampu menjalankan amanah dengan baik dalam urusan tersebut, sebaliknya hanya akan merusak dan menghancurkan urusan itu. Bagaimana mungkin dia bisa menjalankan ketentuan Allah kalau dia tidak mengerti? Sedangkan yang mengerti saja bisa jadi dia abai terhadap ketentuan yang dia ketahui?.


***

Amânah berasal dari kata a-mu-na – ya‘munu – amn[an] wa amânat[an] yang artinya jujur atau dapat dipercaya. Secara bahasa,amânah (amanah) dapat diartikan sesuatu yang dipercayakan atau kepercayaan. Amânah juga berarti titipan (al-wadî‘ah). (Kamus al-Munawwir, hal 41- 42). Amanah adalah lawan dari khianat. Amanah terjadi dalam ketaatan, ibadah, al-wadî’ah (titipan), dan ats-tsiqah(kepercayaan). (Ibn Manzhur, Lisân al-’Arab, 13/22)

Oleh karena itu, sikap amanah dapat terjadi dalam lapangan yang sangat luas, mulai dari urusan pribadi, rumah tangga, bermasyarakat dan bahkan bernegara. Setiap pengabaian terhadap amanah, dalam urusan apapun, pasti akan menghasilkan kehancuran.

Abu Hurairah r.a menceritakan bahwa ketika Nabi saw berada dalam suatu majelis membicarakan suatu kaum, tiba-tiba datanglah seorang Arab Badui lalu bertanya: “Kapan datangnya hari kiamat?”Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap melanjutkan pembicaraannya. Sementara itu sebagian kaum ada yang berkata;“beliau mendengar perkataannya akan tetapi beliau tidak menyukai apa yang dikatakannya itu,” dan ada pula sebagian yang mengatakan; “bahwa beliau tidak mendengar perkataannya.”Hingga akhirnya Nabi menyelesaikan pembicaraannya, seraya berkata:

أَيْنَ أُرَاهُ السَّائِلُ عَنْ السَّاعَةِ

“Mana orang yang bertanya tentang hari kiamat tadi?”

Orang itu berkata:

هَا أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ

“saya wahai Rasulullah!”.

Maka Nabi saw bersabda: 

فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

“Apabila sudah hilang amanah maka tunggulah terjadinya kiamat”.

Orang itu bertanya:

كَيْفَ إِضَاعَتُهَا

“Bagaimana hilangnya amanat itu?”

Nabi saw menjawab: 

إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ

“Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka akan tunggulah terjadinya kiamat” (HR. al Bukhary)

Ketika menjelaskan hadits ini, Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany mengutip pernyataan Ibnu Baththal (w. 449 H): 

مَعْنَى أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ أَنَّ الْأَئِمَّةَ قَدِ ائْتَمَنَهُمُ اللَّهُ عَلَى عِبَادِهِ وَفَرَضَ عَلَيْهِمُ النَّصِيحَةَ لَهُمْ فَيَنْبَغِي لَهُمْ تَوْلِيَةُ أَهْلِ الدِّينِ فَإِذَا قَلَّدُوا غَيْرَ أَهْلِ الدِّينِ فَقَدْ ضَيَّعُوا الْأَمَانَةَ الَّتِي قَلَّدَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى إِيَّاهَا

Arti kalimat “urusan itu diserahkan (dipercayakan) kepada orang yang bukan ahlinya” bahwa sesungguhnya para imam (pemimpin) itu telah diberi amanah oleh Allah atas para hamba-Nya; dan mereka diwajibkan memberikan nasihat kepada mereka. Oleh karena itu, hendaknya umat Islam menyerahkan kekuasaan kepada orang yang ahli (mengerti betul) tentang agama. Maka jika mereka menyerahkannya kepada orang yang bukan ahli (tidak mengerti) agama, maka sungguh mereka telah menyia-nyiakan (merusak) amanah yang telah diberikan Allah kepada mereka”. (Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalany, Fathul Bâry, 11/334)

Orang yang tidak mengerti bagaimana ketentuan Allah dalam mengatur urusannya tidak akan mampu menjalankan amanah dengan baik dalam urusan tersebut, sebaliknya hanya akan merusak dan menghancurkan urusan itu. Bagaimana mungkin dia bisa menjalankan ketentuan Allah kalau dia tidak mengerti? Sedangkan yang mengerti saja bisa jadi dia abai terhadap ketentuan yang dia ketahui?.

Dalam hal jual beli, sewa-menyewa, maupun masalah bisnis lainnya, orang yang tidak mengerti hukum Allah dalam hal tersebut, lalu nekat menggeluti dunia bisnis, dia bisa saja melakukan transaksi haram namun dianggapnya baik, sehingga tidak hanya membahayakan dirinya, namun juga mencelakakan orang lain yang bertransaksi dengannya, bahkan masyarakat umum. Oleh karena itu Umar bin Khattab r.a pernah berkata: 

لَا يَبِعْ فِي سُوقِنَا إِلَّا مَنْ قَدْ تَفَقَّهَ فِي الدِّينِ

“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah paham agama.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dg sanad hasan).

Berkaitan dengan pendidikan, perancang kurikulum yang tidak mengerti hukum Allah atau yang mengerti namun mengabaikannya, tentu akan menghasilkan kurikulum yang justru menjauhkan manusia dari mengenal Allah. Begitu juga pengawas ujian bisa melakukan ‘kebijaksanaan’ dengan memberikan kunci jawaban, sambil merasa telah berbuat baik karena ‘menolong’ siswa, dst. Semua ini tentu akan menghancurkan dunia pendidikan.

Terlebih lagi dalam hal kekuasaan, karena penguasalah yang bertanggug jawab menjalankan aturan yang mengatur rakyat. Jika dia tidak mengerti hukum syara’, atau tidak mau menjalankan amanahnya dengan menggunakan aturan-aturan Allah swt, tentu kerusakan demi kerusakan akan datang silih berganti. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah saw: 

وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَّا جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ

“Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka”. (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan).

Sungguh bencana demi bencana telah kita alami, bukan hanya bencana alam, namun yang lebih mengerikan adalah ‘bencana sosial’, yakni dengan semakin meningkatnya kriminalitas, bunuh diri, kasus narkoba, perzinaan dan lain-lain. Tidak cukupkah ini membuat kita berupaya menjalani kehidupan dengan aturan-aturan Allah dalam setiap aspek kehidupan kita? Allahu A’lam. [M. Taufik N.T][www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.