Header Ads

Taushiyah Ramadhan: Ampunan

Taushiyah Ramadhan: Ampunan
Mengapa setelah beribadah di bulan Ramadhan pada hari dan malam-malam sebelumnya, begitu memasuki malam qadar masih diutamakan meminta ampunan?, hal ini tidak lain karena amal-amal baik yang kita lakukan belum tentu benar-benar baik, karena masih sangat mungkin tercampur riya’ (ingin dilihat orang lain), sum’ah (ingin didengar orang lain), atau dibarengi denga rasa ‘ujub (berbangga diri), sehingga amal itu tertolak, sementara dosa dan kesalahan sudah pasti kita lakukan.


***

Dari ‘Aisyah r.a, ia berkata, “Aku pernah bertanya pada Rasulullah saw, yaitu jika saja ada suatu hari yang aku tahu bahwa malam tersebut adalah lailatul qadar, lantas apa do’a yang mesti kuucapkan?”, Rasulullah saw menjawab:

قُولِي: اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Berdo’alah: Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni(Ya Allah, Engkau Maha Pemaaf dan Engkau mencintai orang yang meminta maaf, karenanya maafkanlah aku).” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Malam qadar (lailatul qadar) adalah malam yang didambakan oleh setiap muslim, namun tidak sedikit yang mengharapkan ‘bertemu’ malam ini hanya karena ingin berdoa agar mendapatkan ‘keramat’, agar kaya-raya, atau hajat duniawi lainnya terkabulkan. Namun di malam yang lebih baik dari 1000 bulan itu, Rasulullah saw justru mengajarkan untuk meminta ma’af, ini seharusnya menyadarkan kita bahwa ampunan Allah itu lebih berharga daripada hal-hal lainnya, apalagi hanya perkara duniawi semata.

Mengapa setelah beribadah di bulan Ramadhan pada hari dan malam-malam sebelumnya, begitu memasuki malam qadar masih diutamakan meminta ampunan?, hal ini tidak lain karena amal-amal baik yang kita lakukan belum tentu benar-benar baik, karena masih sangat mungkin tercampur riya’ (ingin dilihat orang lain), sum’ah (ingin didengar orang lain), atau dibarengi denga rasa ‘ujub (berbangga diri), sehingga amal itu tertolak, sementara dosa dan kesalahan sudah pasti kita lakukan. Imam Ibnu Rajab (w. 795 H), dalam kitabnya, Lathâiful Ma’ârif, hal 206 menjelaskan:

وإنما أمر بسؤال العفو في ليلة القدر بعد الإجتهاد في الأعمال فيها وفي ليالي العشر لأن العارفين يجتهدون في الأعمال ثم لا يرون لأنفسهم عملا صالحا ولا حالا ولا مقالا فيرجعون إلى سؤال العفو كحال المذنب المقصر

“dan sesungguhnya diperintahkannya meminta maaf (ampunan) di malam qadar setelah giat beramal di malam-malam Ramadhan dan juga di sepuluh malam terakhir, karena sesungguhnya orang-orang yang arif adalah yang bersungguh-sungguh dalam beramal, kemudian mereka tidak mellihat ada amal, keadaan atau ucapan yang baik pada diri mereka, maka mereka kembali meminta ampun layaknya keadaan orang berdosa yang penuh kekurangan.”

Sesungguhnya dosa itu banyak jenisnya, namun ringkasnya adalah setiap pelanggaran terhadap syari’ah Allah itu merupakan dosa dan kesalahan. Tidak melaksanakan kewajiban yang diperintahkan Allah adalah dosa, baik kewaiban itu berkaitan dengan ibadah, semisal sholat, zakat, puasa, dll, ataupun berkaitan dengan mu’amalah(ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, hubungan luar negeri, dll), ataupun juga perintah berkaitan dengan ‘uqubat (hukum pidana). Begitu juga melakukan apa yang diharamkan Allah juga merupakan dosa. Termasuk dosa pula ketika rela melihat kedzaliman, siapapun pelakunya, termasuk penguasa.

Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Rasulullah saw. berkata:

سَتَكُوْنُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ. قَالُواْ: أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ؟ قال: لاَ، مَا صَلَّوْا

“Akan ada para amir (penguasa), lalu kalian mengetahui (kemunkaran mereka) dan kalian mengingkari. Barangsiapa mengetahui, maka dia telah terbebas. Dan barangsiapa mengingkari, maka dia telah selamat. Tapi barangsiapa ridha dan mengikuti (maka dia tidak terbebas dan tidak selamat).” Para sahabat berkata: “Tidakkah kami memerangi mereka?” Beliau berkata: “Tidak, selama mereka masih shalat.”

Dalam riwayat lain:

فَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ

“Barangsiapa membenci, maka dia telah terbebas(dari dosa kemungkaran tersebut). Dan barangsiapa mengingkari, maka dia telah selamat. Tapi barangsiapa ridha dan mengikuti (dia tidak akan terbebas dan tidak akan selamat).”

Bahkan termasuk dosa pula jika seseorang memohon ampun hanya dengan lidahnya saja, namun hatinya tetap berharap dapat bergelimang dalam kemaksiyatan.

وليحذر كل الحذر أن يستغفر بلسانه وقلبه مصر على بقائه على الظلم والجور وعدم إقامة الحدود وبقائه على الغش للرعية فيبوء بغضب من الله سبحانه فإنها صفة اليهود وقد ذمهم الله تعالى على ذلك ولأنه نوع استهزاء وقد صرح العلماء بأن هذا الاستغفار ذنب . (كفاية الأخيار – ج 1 / ص 199)

“… hendaknya seorang hamba sangat berhati-hati untuk beristighfar dengan lisannya, dan hatinya (berangan angan) terus dalam melakukan kezaliman, kedurhakaan, tidak melaksanakan hudud (hukum-hukum Allah), dan terus dalam menipu rakyatnya sehingga dia mendapatkan murka dari Allah swt, sesungguhnya yang demikian itu adalah sifat Yahudi. Allah swt telah mencela mereka atas perbuatan tersebut, karena tergolong istihza’ (mempermainkan Allah swt). Para ulama secara jelas telah menyatakan bahwa istighfar semacam ini adalah dosa” (Kifayatul Akhyar, hlm 199)

Sungguh ampunan Allah sangat diperlukan hamba-hamba-Nya, dan harus diyakini juga, sebesar apapun dosa manusia, ampunan Allah jauh lebih besar dari itu. Allahu A’lam. [M. Taufik N.T][www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.