Header Ads

Taushiyah Ramadhan : Lailatul Qadr

Taushiyah Ramadhan : Lailatul Qadr
Lailatul qadr tidak khusus didapatkan mereka yang beri’tikaf saja, walaupun i’tikaf merupakan sunnah mu’akkad, namun keutamaannya didapatkan pula oleh mereka yang menghidupkan malam tersebut dengan ibadah



***
Allah swt berfirman:

لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ  تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ

“Lailatul qadr itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.” (TQS. al-Qadr : 3-4).

Imam Al Qurthubi (w. 671 H), dalam tafsirnya, Al Jâmi’ li Ahkâmi al Qur’ân, juz 20 hal 130-131 [1] menyebutkan tiga pengertian lailatul qadr. Pertama, lailatul qadr difahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia, kematiannya, rizkinya dan sebagainya, ini adalah pendapat Mujahid dan Ibnu Abbas ra. Kedua, Az Zuhri dan lainnya menyatakan bahwa lailatul qadr berarti sebagai malam keagungan dan kemuliaan, ketaatan pada malam itu diberi balasan yang lebih baik daripada melakukan ketaatan tersebut pada 1000 bulan yang lain. Ketiga, lailatul qadr dimaknai sebagai malam yang sempit, al qadr di maknai adh dhoyq, yang artinya sempit, karena pada malam ini bumi ‘terasa sempit’ disebabkan banyaknya malaikat yang turun ke bumi, ini penuturan al Khalîl.

Walaupun para mufassir berbeda pandangan tentang makna al qadrdalam ayat tersebut, namun mereka sepakat bahwa malam tersebut lebih baik dari seribu bulan. Pengertian ”lebih baik dari seribu bulan” menurut jumhur ‘ulama adalah bahwa nilai pahala ibadah pada lailatul qadr melebihi pahala ibadah selama seribu bulan yang tidak ada lailatul qadr nya. Kelebihan itu ada pada nilai pahala ibadahnya, bukan kewajiban ibadahnya, sehingga tidak bisa difahami kalau sudah beribadah pada lailatul qadr maka boleh tidak lagi melaksanakan ibadah tersebut seribu bulan kedepan.

Adapun berkaitan dengan kapan terjadinya, para ‘ulama berbeda pendapat, sebagian besar ulama madzhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menyatakan lailatul qadr terjadinya di sepuluh hari terakhir malam bulan Ramadhan, terutama malam ganjil, berdasarkan hadits:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

Carilah lailatul qadr pada malam ganjil sepuluh hari terakhir Ramadhan (HR. Al Bukhari) dan hadits-hadits lain.

Sebagian menyatakan di malam kapan saja dalam bulan Ramadhan, ini pendapat Ibnu ‘Abidin, sebagian lain lagi menyatakan malam pertama bulan Ramadhan, malam ke tujuh belas, ke dua satu, ke dua puluh tujuh ataupun sepuluh pertengahan bulan Ramadhan, serta masih ada berbagai pendapat lain.

Lailatul qadr tidak khusus didapatkan mereka yang beri’tikaf saja, walaupun i’tikaf merupakan sunnah mu’akkad, namun keutamaannya didapatkan pula oleh mereka yang menghidupkan malam tersebut dengan ibadah sebagaimana dalam hadits:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa yang beribadah pada lailatul qodr dengan iman dan ihtisab (mengharapkan pahala), niscaya allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lampau” (HR al Bukhori). Dan salah satu bentuk ibadah yang sangat dianjurkan adalah i’tikaf.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ

‘Aisyah ra bercerita bahwa: “Nabi saw (selalu) beri’tikaf di sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai Allah SWT mewafatkan beliau”(HR al Bukhori & Muslim)

Bahkan Imam al-Syarbiniy dalam kitabnya Mughni al-Muhtaj (2/189) mengutip pernyataan Imam AS-Sayfi’i, bahwa orang yang shalat isya’ dan subuh berjama’ah pun terhitung orang yang mendapatkan kemuliaan malam qadr ini. Kemudian beliau mengutip sebuah riwayat yang marfu’ dari Abu Hurairah :

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ الْأَخِيرَةَ فِي جَمَاعَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَقَدْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ

barang siapa yang sholat isya’ terakhir secara berjamaah, maka ia telah mendapatkan (keutamaan) lailatul qadr.”
Rasulullah juga menyatakan:

مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّهُ

“Barang siapa sholat Isya secara berjamaah maka ia seperti orang yang beribadah setengah malamnya, dan barang siapa yang sholat subuh secara berjamaah ia seperti orang yang shalat seluruh malamnya” (HR Muslim).

Hanya saja tentu berbeda jauh antara orang yang mencukupkan diri dengan shalat isya dan subuh berjamaah dengan orang yang full beribadah di malam qadr tersebut. Allahu A’lam. [M. Taufik N.T][www.al-khilafah.org]

[1] (فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ) قَالَ مُجَاهِدٌ: فِي لَيْلَةِ الْحُكْمِ. (وَما أَدْراكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ) قَالَ: لَيْلَةُ الْحُكْمِ. وَالْمَعْنَى لَيْلَةُ التَّقْدِيرِ، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُقَدِّرُ «4» فِيهَا مَا يَشَاءُ مِنْ أَمْرِهِ، إِلَى مِثْلِهَا مِنَ السَّنَةِ الْقَابِلَةِ، مِنْ أَمْرِ الْمَوْتِ وَالْأَجَلِ وَالرِّزْقِ وَغَيْرِهِ. وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: يُكْتَبُ مِنْ أُمِّ الْكِتَابِ مَا يَكُونُ فِي السَّنَةِ مِنْ رِزْقٍ وَمَطَرٍ وَحَيَاةٍ وَمَوْتٍ، حَتَّى الْحَاجِّ
وَقِيلَ: إِنَّمَا سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِعِظَمِهَا وَقَدْرِهَا وَشَرَفِهَا، مِنْ قَوْلِهِمْ: لِفُلَانٍ قَدْرٌ، أَيْ شَرَفٌ وَمَنْزِلَةٌ. قَالَهُ الزُّهْرِيُّ وَغَيْرُهُ. وَقِيلَ: سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لِأَنَّ لِلطَّاعَاتِ فِيهَا قَدْرًا عَظِيمًا، وثوابا جزيلا.
وَقَالَ الْخَلِيلُ: لِأَنَّ الْأَرْضَ تَضِيقُ فِيهَا بِالْمَلَائِكَةِ، كَقَوْلِهِ تَعَالَى: وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ «1» [الطلاق: 7] أي ضيق.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.