Header Ads

Di Balik Penurunan Harga BBM

Di Balik Penurunan Harga BBM

Oleh: Ary Herawan, Ketua DPD II HTI Kota Tasikmalaya

SEBELUMNYA Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Sofyan Djalil memastikan pemerintah bakal menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bulan depan (radartasikmalaya.com, 9/1/2015). Tetapi rencana tersebut sepertinya dipercepat. Karena Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan penurunan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan solar.



Adapun penurunan tersebut mulai berlaku pada Senin pukul 00.00 WIB. harga premium turun menjadi Rp6.600 per liter, serta harga solar sebesar Rp6.400 per liter. Penurunan harga ini akan dilakukan mulai Minggu malam pukul 24.00 WIB atau Senin pukul 00.00 WIB dini hari (metrotvnews.com, 16/1/2015).

Bila kita cermati, yang terjadi sebenarnya bukanlah penurunan harga BBM. Tetapi penaikan, kemudian dikembalikan lagi ke harga mendekati semula. Sungguh lugu bila kita memandang hal tersebut sebagai penurunan harga BBM. Karena bila kita simak, pada saat harga minyak mentah dunia pada kisaran US$ 106/barrel, harga Premium Rp 6500,-/liter.

Kemudian tatkala harga minyak mentah dunia terjun bebas ke kisaran harga US$ 80/barrel, harga Premium malah naik ke Rp 8500,-/liter. Lalu saat ini, harga minyak mentah dunia jenis Brent sampai di bawah US$ 50/barrel, tetapi harga Premium hanya kembali menjadi Rp 6600,-/liter. Itu pun di luar Jawa, Madura dan Bali. Sedangkan untuk di Jawa, Rp 6700,-/liter dan di Bali Rp 7000,-/liter.

Alih-alih penurunan harga BBM, yang telah terjadi adalah penghapusan subsidi BBM. Langkah rezim Jokowi-Jk tersebut pun langsung dipuji Presiden Bank Pembangunan Asia (ADB). Presiden ADB Takehiko Nakao mengatakan bahwa penghapusan subsidi di Indonesia menjadi penting, dan dapat menjadi contoh bagi negara lain. Ia pun menambahkan, penghapusan subsidi ini tidak hanya menjadikan anggaran negara menjadi sehat, tetapi juga memberikan ruang bagi kebijakan fiskal dan juga pada ‘climate change’ (www.bumn.go.id, 16/1/2015).

Langkah rezim Jokowi-Jk bagaikan akrobat diskon ala pedagang. Supaya konsumen (baca: rakyat) tidak merasakan penghapusan subsidi BBM, harga BBM pun dinaikkan terlebih dulu, kemudian diturunkan sebanyak dua kali. Karena itulah, apabila tidak jeli dan hanya fokus pada dua kejadian terakhir, harga BBM akan terkesan turun. Padahal yang sebenarnya, harganya tetap lebih mahal dari semula. Bahkan, harga yang terakhir mengundang potensi bahaya terselubung bagi rakyat, karena dibarengi dengan penghapusan subsidi. Sehingga, harga pemium saat ini benar-benar diserahkan kepada harga pasar.

Menyerahkan harga BBM ke harga pasar akan menimbulkan masalah baru. Karena, pada saat harga minyak mentah dunia turun ke kisaran US$ 50/barrel, harga Premium bisa menjadi Rp 6600,-/liter, bahkan mungkin lebih murah dari itu. Tetapi, tatkala harga minyak mentah dunia kembali naik menjadi lebih dari US$ 100/barrel, bisa dibayangkan, berapa harga Premium yang harus dibeli oleh rakyat. Tentu akan jauh lebih mahal dan sangat membebani rakyat.

Mencermati Anjloknya Harga Minyak Dunia

Menurut Amir Hizbut Tahrir, Syaikh ‘Atha Abu Rasythah, penurunan harga minyak memiliki beberapa sebab. Di antaranya, ada faktor ekonomi murni yang terbebas dari tujuan-tujuan politik, yang mencakup 1) Peningkatan penawaran atau penurunan permintaan, 2) Ketegangan di wilayah-wilayah minyak, serta 3) Spekulasi di pasar minyak dan eksploitasi data-data melemahnya perekonomian negara-negara berpengaruh dalam hal minyak, baik ekspor maupun impor.

Tetapi, ada pula faktor politik yang menggerakkan faktor ekonomi, yang dilakukan negara pemilik aksi politik demi kepentingannya. Misal, pertambahan produksi atau penawaran sejumlah besar cadangan minyak. Akan tetapi, hal itu dilakukan bukan karena kebutuhan ekonomi, namun untuk menurunkan harga dengan tujuan mempengaruhi politik negara-negara pesaing, khususnya negara yang neraca APBN-nya bergantung pada harga minyak. Atau untuk membatasi produksi minyak bebatuan (shale oil). Dengan menurunkan harga minyak alami ke batas yang lebih rendah dari biaya produksi minyak bebatuan (shale oil) maka eksplorasi minyak bebatuan (shale oil) menjadi tidak ekonomis.

Anjloknya harga BBM saat ini, salah satunya disinyalir karena produksi besar-besaran yang dilakukan AS pada shale oil (minyak bebatuan). AS berhasil melampaui Arab Saudi dan Rusia sebagai eksportir minyak terbesar di dunia disebabkan ekstraksi minyak melalui pemecahan batuan sedimen di bawah tanah. Revolusi minyak dan gas bebatuan (shale oil and gas) di AS menyebabkan peningkatan produksi minyak dari 5,5 juta barel per hari pada tahun 2011 menjadi saat ini 10 juta barel per hari. Hal itu dapat menutupi sebagian besar kebutuhannya. Sehingga impor minyak AS dari Arab Saudi menurun sampai setengahnya, yaitu menjadi 878 ribu barel per hari dari sebelumnya 1,32 juta barel per hari.

Akan tetapi, yang menjadi masalah pada shale oil adalah biaya produksi yang tidak murah. Biaya produksinya mencapai 75 dolar per barel. Sementara biaya produksi minyak alami tidak lebih dari 7 dolar per barel. Ini artinya bahwa negara-negara produsen minyak bebatuan (shale oil) terutama AS akan terpukul jika harga minyak menurun hingga level di bawah biaya produksi itu. Inilah faktor politik yang bisa menggerakkan faktor ekonomi.

Oleh sebab itu, anjloknya harga minyak mentah dunia kini, bisa bertahan lama atau bisa pula tidak. Tentunya AS akan terus menekan negara produsen minyak alami supaya mengurangi produksinya. Dengan pengurangan produksi di negara produsen minyak alami, penawaran akan berkurang dan permintaan akan meningkat. Sehingga, harga minyak mentah dunia akan kembali naik, eksport shale oil AS pun kembali aman.

Mengurai Masalah

Penghapusan subsidi yang dilakukan bertepatan dengan anjloknya harga minyak mentah dunia, tentu akan menyisakan banyak masalah. Nasib rakyat akan terus dibayang-bayangi peningkatan harga minyak dunia. Selain itu, penghapusan subsidi tersebut pun telah membuka kran usaha hilir BBM bagi banyak perusahaan asing. Kini, harga BBM SPBU asing sudah dapat bersaing dengan harga BBM produk pertamina. Sehingga, eksploitasi, produksi dan penjualan yang dilakukan oleh asing kepada kita telah membuat migas bukan lagi milik kita. Kita hanya menjadi pekerja dan konsumen semata. Sungguh sebuah penjajahan yang terselubung. Padahal Rasulullah SAW bersabda : “Manusia berserikat dalam tiga hal, air, padang gembalaan dan api.”(HR. Ahmad dan Abu Dawud). Artinya, sumber daya migas harus tetap menjadi milik umum dan tidak boleh diprivatisasi.

Walhasil, marilah kita mencermati secara jernih. Bukan berarti, harga BBM dinaikkan salah, diturunkan pun tetap salah. Tetapi, pangkal masalahnya adalah liberalisasi migas yang berdampak pada penghapusan subsidi BBM dan peningkatan beban rakyat. Padahal, proyek tersebut sarat dengan kepentingan asing, sarat dengan imperialisasi dan eksploitasi sumber daya migas negeri ini. Padahal, kita telah sepakat bahwa semua bentuk penjajahan harus dihapuskan. Allah SWT melarang kaum muslim memberikan jalan kepada kaum kafir untuk dapat menguasai mereka. (lihat Q.S. An-Nisa[4]: 141)

Bila isi pikiran kita dalam mengelola sumber daya alam ini sama dengan penjajah, maka kita hanya akan menjadi orang-orang yang pasrah untuk dijajah. Oleh karena itu, satu-satunya harapan untuk terlepas dari penjajahan ini hanyalah kembali kepada hukum Allah. Hukum yang terbebas dari ego kerakusan manusia, hukum yang menjanjikan ketentraman dan keadilan. Yaitu, hukum syariah yang dijalankan dalam sistem khilafah rasyidah. [][islampos/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.