Header Ads

Benarkah Hizbut Tahrir Ghuluw (Berlebihan) dalam Masalah Khilafah?

Benarkah Hizbut Tahrir Ghuluw (Berlebihan) dalam Masalah Khilafah?
Ada sebagian orang yang menganggap bahwa HT bersikap ghuluw (berlebihan) dalam masalah Khilafah. Sebab HT menganggap bahwa Khilafah itu wajib dan dan menganggap bahwa berdiam diri dari menegakkan Khilafah (al qu’ud an iqomatil khilafah) termasuk kemaksiyatan yang besar (min akbaril ma’ashi).

Lalu mereka mengambil ayat al-qur’an dan hadits yang melarang sikap ghuluw (berlebihan) dalam hal agama. Misalnya firman Allah swt: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar”. (QS. An-Nisa: 171). Dan juga firman Allah swt: “Katakanlah, ‘Wahai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan dengan cara tidak benar dalam agama kalian. Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum kalian dan mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia, dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (QS. al-Maidah: 77)

Di dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah saw bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw di dalam agama, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, dalam al-Musnad, 1/215 dan 347, Ibnu Majah no. 3064, an-Nasa’i dalam al-Mujtaba, 5/268, Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah, no. 98, dan selain mereka).

Apa sebenarnya makna ghuluw dalam agama? Benarkah HT bersikap ghuluw di dalam masalah Khilafah? Tulisan ini akan membahas secara ringkas.



*****

Pertama, tentang arti ghuluw.

Ghuluw secara bahasa adalah menambahkan, meninggikan, dan melampaui batas dari kadar ukuran yang biasa pada segala sesuatu, atau berlebihan padanya, seperti kalimat “ghola fiddin wal amru yaghlu” yang artinya adalah melampaui batas. (Lisanul Arab, juz 15 hal 131-132.). Jadi, secara bahasa orang yang ghuluw adalah orang yang melebihi batas, misalnya makan langsung sepuluh piring, atau sengaja tidur tujuh malam tujuh hari, dan lain sebagainya.

Adapun ghuluw secara istilah adalah model atau tipe dari beragama secara berlebihan yang mengakibatkan seseorang keluar dari agama tersebut (Lisanul ‘Arab juz 15 hal 131-132). Ghuluw di sini bermakna berlebihan, baik dalam keyakinan atau amalan syariah, di luar batas yang ditentukan oleh Islam. Ghuluw bisa dalam keyakinan, misalnya menganggap Nabi sebagai Tuhan, dan juga bisa dalam amalan, misalnya puasa sehari-semalam.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Ghuluw adalah berlebihan dalam sesuatu dan bersikap keras pada sesuatu dengan tindakan melampaui batasan, dan pada ghuluw juga terkandung makna memperdalam (di luar batasnya)”. (Ibnu Hajar, Fathul Bari juz 13 hal 291).

Ghuluw ini, baik dalam keyakinan atau tindakan, jelas dilarang dengan tegas oleh Islam. Berikut ini larangan ghuluw dalam hal keyakinan. Allah swt berfirman:

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nyayang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” (QS.An-Nisa: 171)

Dari ayat tersebut sangat jelas, bahwa keyakinan bahwa Nabi Isa itu anak tuhan dan bahwa tuhan itu tiga merupakan keyakinan yang ghuluw (berlebihan) dan keyakinan yang berlebihan tadi telah mengantarkan orang tersebut jadi syirik.

Karena itulah Rasullulah saw melarang umatnya untuk mengkultuskan beliau dan bersikap ghuluw (berlebihan) terhadap beliau. Beliau pernah mengatakan suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ زَعَمَ الزُّهْرِيُّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Telah menceritakan kepada kami Husyaim dia berkata; Az Zuhri telah menganggap (meriwayatkan) dari 'Ubaidillah Bin Abdullah Bin 'Utbah Bin Mas'ud dari Ibnu Abbas dari Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa Bin Maryam. Aku hanyalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad).

Kita memang diperintahkan untuk menghormati dan memuliakan Nabi Muhammad saw, tetapi kita dilarang memiliki sikap yang berlebihan terhadap beliau, misalnya sampai menganggap beliau sebagai tuhan atau anaknya tuhan atau sikap ghuluw (berlebihan) yang lain.

Berikutnya, ghuluw (berlebihan) itu juga bisa berupa tindakan, yakni tindakan (amalan) mempersulit diri di luar yang telah disyariahkan oleh Allah swt. Misalnya puasa sehari semalam, padahal syariah Islam membatasi puasa hanya dari fajar sampai magrib. Contoh lain, kita semalaman suntuk sholat malam, tanpa istirahat sedikit pun, sehingga hak tubuh kita untuk istirahat tidak kita berikan. Contoh yang lain, orang tidak mau menikah dengan alasan mau fokus ibadah kepada Allah swt. Jadi, ghuluw dalam amalan adalah berlebihan dalam amal yang mempersulit diri, padahal perbuatan tersebut dilarang atau tidak diperintahkan oleh syariah Islam.

Larangan berlaku keras terhadap diri sendiri dalam hal beribadah (beramal) yang ghuluw (melampau batas) juga diingatkan oleh Rasullulkah saw dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik ra:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُجَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Ada tiga orang mendatangi rumah istri-istri Nabi saw dan bertanya tentang ibadah Nabi saw. Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa (bahwa ibadahnya) itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, "Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah saw, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?" Salah seorang dari mereka berkata, "Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya." Kemudian yang lain berkata, "Kalau aku, maka sungguh aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka." Dan yang lain lagi berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya." Kemudian datanglah Rasulullah saw kepada mereka seraya bertanya: "Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menggambarkan prilaku ghuluw dalam beramal. Dan oleh Rasulullah saw, prilaku ghuluw seperti itu tidak dianggap sebagai golongan umat Islam. Sebenarnya Islam itu ajaran yang mudah, maksudnya kita diminta sesuatu hanya sesuai batas kemampuan kita. Kita tak pernah diminta di luar batas kemampuan kita. Misalnya saat kita mampu sedekah 10 rirbu, Islam tak akan menyuruh kita sedekah hingga 100 ribu. Inilah Islam. Islam itu mudah. Tetapi yang harus dipahami adalah meskipun Islam itu mudah, tetapi kita tidak boleh menggampangkan Islam. Maksudnya, menjalani Islam seenaknya sendiri tanpa mengikuti kaidah-kaidah syariah yang berlaku. Sesuai kemampuan itu sangat berbeda dengan sesuai keinginan atau seenaknya sendiri.

Tentang mudahnya Islam, Rasulullah saw pernah bersabda:
إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ
"Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal)."

Itulah makna dan arti ghuluw dalam pandangan syariah Islam. Ghuluw adalah keyakinan atau perbuatan yang melampau batas yang telah disyariahkan oleh Allah swt. Tentu saja ghuluw ini mempersulit diri sendiri, dan dilarang oleh Allah swt. Bahkan ghuluw ini dapat merusak agama, sebagaimana rusak-nya umat-umat terdahulu.

Di dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah saw bersabda:
إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ
“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw di dalam agama, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, dalam al-Musnad, 1/215 dan 347, Ibnu Majah no. 3064, an-Nasa’i dalam al-Mujtaba, 5/268, Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah, no. 98, dan selain mereka).

*****

Benarkah HT bersikap ghuluw di dalam masalah Khilafah?

HT memahami bahwa Khilafah adalah kewajiban berdasarkan dalil-dalil dari al-qur’an, hadits shohih dan ijma’ shohabat. Karena itu, HT berdakwah untuk mengingatkan umat Islam agar mereka semua bersatu dan berjuang menegakkan kewajiban ini. Tentang dalil dari al-qur’an dan hadits sudah sering saya bahas di postingan-postingan sebelumnya.

Kewajiban mengangkat Khilafah juga berdasarkan ijma’ shohabat. Pada saat Rasulullah saw wafat, pada saat itu, ada banyak hal krusial yang harus diselesaikan umat Islam. 1). Bagaimana mengurusi jenazah Rasulullah saw? 2. Bagaimana nasib pasukan Usamah yang diberangkatkan Rasulullah saw sebelum wafatnya, apakah diteruskan atau ditarik? 3. Bagaimana respon terhadap beberapa suku yang murtad dari Islam? sebab telah diketahui pada masa akhir hayat Rasulullah saw banyak suku yang masuk Islam hanya karena pertimbangan keamanan atau yang lain, karena itu pada saat Rasulullah saw wafat mereka murtad lagi. 4. Siapa yang akan memimpin masyarakat pasca wafatnya Rasulullah saw?

Empat hal di atas merupakan masalah krusial yang harus diselesaikan. Hanya saja, mana dahulu yang harus diselesaikan?

Apakah masalah jihad pasukan Usamah yang harus didahulukan? Karena jihad adalah puncak ajaran Islam? Tetapi masalahnya, siapa yang memutuskan?

Apakah masalah orang-orang murtad harus diselesaikan dulu? Sebab, ini masalah akidah, yakni sesuatu yang paling mendasar dari Islam. Tetapi, masalahnya, siapa yang memutuskan?

Apakah mengurus jenazah Nabi? Sebab jenazah di dalam Islam itu wajib disegerakan berdasarkan banyak dalil yang telah kita ketahui. Apalagi ini adalah jenazah Nabi, jenazah manusia paling mulia di muka bumi.

Ternyata, yang dipilih oleh para sahabat untuk diselesaikan pertama kali adalah masalah kepemimpinan umat Islam pasca wafatnya Rasulullah saw. Para sahabat berkumpul di Tsaqifah Bani Sa’idah untuk membicarakan siapa yang akan mengganti Rasulullah saw sebagai pemimpin di masyarakat dan mengambil keputusan dalam berbagai hal di masyarakat. Setelah berdiskusi panjang, akhirnya para sahabat memilih Abu Bakar ra sebagai pemimpin umat Islam, atau sebagai Khalifah. Setelah itu, kemudian jenazah Nabi saw diurus sampai sempurna, lalu masalah satu-demi satu diselesaikan berdasarkan keputusan seorang Khalifah, yaitu Abu Bakar ra. Demikian pula yang terjadi pasca wafatnya Abu Bakar dan seterusnya....

Karena itulah Syeikh Ibnu Hajar al-Haitamiy al-Makkiy dalam kitab Ash-Showa’iqul Mukhriqoh, jilid 1 hal 25 mengatakan bahwa mengangkat Khalifah merupakan kewajiban terpenting. Beliau mengatakan:
اِعْلَمْ أَيْضًا أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانَ اللهِ تَعَالَى عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ الْإماَمِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اشْتَغَلُوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ وَاخْتِلَافِهِمْ فِي التَّعْيِيْنِ لَا يُقْدَحُ فِي الْإجْمَاعِ الْمَذْكُوْرِ
“Ketauhilah (juga) bahwa sesungguhnya para shahabat ra telah ijma’ (sepakat) bahwa sesungguhnya mengangkat Imam setelah lewatnya masa kenabian itu wajib, bahkan mareka menjadikan kwajiban tersebut sebagai kewajiban yang paling penting, dimana mereka lebih menyibukkan (diri mereka) dalam pengangkatan imam tersebut dibanding memakamkan Rasulullah saw, sedangkan perbedaan mereka (para sahabat) dalam penetapan siapa yang ditunjuk tidaklah merusak ijma’ yang disebutkan (di atas)”.

Hal yang sama diungkapkan oleh banyak sekali ulama, baik ulama salaf maupun kholaf. Misalnya Imam 'Alauddin Al-Kasani Al-Hanafi, dalam kitab Bada'iush Shanai' fii Tartibis Syarai', juz 14, halaman 406 berkata:
“.. وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛ لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ، وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، ...
“…dan karena sesungguhnya mengangkat imam agung itu adalah fardhu. Tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq mengenai masalah ini. Khilafah sebagian kelompok Qadariyyah sama sekali tidak perlu diperhatikan, berdasarkan ijma' shahabat ra atas perkara itu, serta kebutuhan terhadap Imam yang agung tersebut; serta demi keterikatan dengan hukum; dan untuk menyelamatkan orang yang didzalimi dari orang yang dzalim; memutuskan perselisihan yang menjadi sumber kerusakan, dan kemaslahatan-kemaslahatan lain yang tidak akan terwujud kecuali dengan adanya Imam…”

Tentang kewajiban Khalifah, Imam Fakhruddin Ar-Razi, dalam kitab Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, saat beliau menjelaskan surat al Ma’idah beliau mengatakan “Para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam tertentu untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta'ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan sanksi atas pencuri dan pelaku zina. Maka, adalah keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan sanksi (hudud) atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas pelaku kriminal yang merdeka kecuali oleh Imam (Khalifah). Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan ketika tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali ketika adanya Imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan adanya Imam, dan ketika kewajiban itu masih dalam batas kemampuan mukallaf, maka (adanya) Imam adalah wajib. Oleh karena itu, seketika itu juga, kewajiban mengangkat seorang Imam adalah sesuatu yang bersifat qath'i” (Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, juz 6 hal. 57).

Kemudian waktu terus berjalan, zaman berganti zaman, terkadang ada Khalifah yang adil, terkadang ada Khalifah yang kurang adil. Tetapi, lepas dari semua kualitas Khalifah yang beraneka ragam, tetapi umat Islam selelu dipimpin oleh satu Khalifah dan hukum yang diterapkan adalah hukum Islam. Sampai akhirnya, musibah besar itu datang. Khilafah, institusi pelaksana syariah dan pemersatu umat itu diruntuhkan oleh konspirasi Inggris dan Mushtofa Kemal pada tahun 1924 M.

Sejak saat itu, syariah tidak bisa diterpakan kecuali hanya dalam urusan individu dan keluarga. Sementara syariah dalam urusan kemasyarakatan tak bisa dilaksanakan. Kewajiban jihad hujumi tak bisa dilaksanakan, haramnya riba dilanggar, sanksi pencuri tak bisa ditegakkan, sanksi pezina tak bisa diterapkan, orang murtad tak bisa diberi sanksi, pajak yang diharamkan Allah justru dilembagakan, zina yang diharamkan Allah swt justru dilokalisasi, hukum-hukum syariah tentang pengelolaan sumber daya alam diganti dengan kapitalisme, hukum Allah swt diaganti dengan kesepakatan masyarakat (demokrasi), persatuan Islam tak bisa direalisasi, berbagai problematika umat tak ada keputusannya, umat Islam dibantai dimana-mana tak ada yang menjaga, perempuan-perempuan musilmah diperkosa tak ada yang bertanggung-jawab, masjid-masjid di bakar tak ada yang mempertahankan, dan lain-sebagainya.

Intinya, tanpa Khilafah, sebagaian besar syariah Allah swt dalam masalah kemasyarakatan tak bisa dilaksanakan, kecuali hanya sedikit sekali. Maka tak salah jika para ulama mengatakan bahwa tidak adanya Khalifah adalah ummul jara’im (sumber dari segala sumber musibah). Umat tak ada yang menyatukan, umat tak ada yang melindungi, dan syariah dalam hal publik tak ada yang melaksanakan.

Dalam kondisi seperti ini, kemudian Syeikh Taqiyuddin terpanggil untuk dakwah dan menghimpun orang-orang yang memiliki kesadaran yang sama akan pentingnya dan wajibnya Khilafah ini dalam suatu organisasi dakwah yang bernama Hizbut Tahrir. Apakah merupakan dosa besar jika para aktivis Hizbut Tahrir berjuang untuk mengembalian kemulian Islam dan umatnya? Apakah merupakan dosa besar (karena ghuluw) jika syabab Hizbut Tahrir berjuang dengan sungguh-sungguh atas permasalahan yang besar ini?

Jika demikian, jika memperjuangkan syariah dan Khilafah adalah dosa besar karena ghuluw fid diin, apakah kita hanya diam saja dengan syariah Islam yang diabaikan dan umat yang dibantai? Ya Allah, kami berlindung dari sikap seperti ini.

Mungkin ada yang mengatakan, ya boleh-boleh saja memperjuangkan syariah dan Khilafah, tetapi harus dengan ilmu? Pertanyaan: Memangnya perjuangan syariah dan Khilafah selama ini tidak pakai ilmu? Puluhan kitab yang ditulis Syeikh Taqiyuddin dan ribuan kitab lainnya, apakah itu tidak ilmu? Ilmu apa yang dimaksud? Janganlah hanya karena kita belum mengetahuinya, lalu kita menilai berdasarkan hawa nafsu....

Mungkin ada yang mengatakan, ya boleh-boleh saja memperjuangkan syariah dan Khilafah, tetapi jangan keterlaluan? Dari pernyataan ini, justru muncul bertanyaan balik: keterlaluan seperti apa yang dimaksud? Apakah orang yang berjuang dengan sungguh-sungguh untuk menegakkan klimah Allah swt itu keterlaluan?

Memang harus diakui, meskipun kata “serius” dan “ghuluw” itu sangat berbeda secara filosofi dan praktik, tetapi bagi orang yang tak bertanggung jawab, kata “serius” dan “ghuluw” itu sering dipertukarkan. Hal ini seperti kata “toleran” dan “plin-plan”, atau seperti “berpendirian” dan “keras kepala”, atau seperti “orang yang rajin” dan “orang yang mencari muka”, dan lain-lain. Kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang sangat berbeda baik secara filsoofi maupun praktik, tetapi sering ditukar-tukar oleh orang tak bertanggung-jawab untuk kepentingannya sendiri.

Terakhir, kami tidak bisa melarang Anda membenci HT. Itu hak Anda. Toh, pertanggung-jawaban di akhirat nanti sendiri-sendiri. Tetapi, jika diijinkan memberikan nasihat sebagai sesama muslim: janganlah kita ghuluw dalam membenci sesuatu, termasuk kepada Khilafah adan HT. Ketahuilah bahwa HT berdakwah dan berjuang, tidak ada maksud lain, kecuali agar umat Islam bersatu di bawah komando satu Khilafah, sehingga dengan demikian umat ini kembali memperoleh predikat khoira ummah.

Apakah perjuangan seperti ini ghuluw?

Wallahu a’lam bish showab.

Oleh M Choirul Anam
https://facebook.com/choirul.anam.94617/posts/745886448870724

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.