Header Ads

Benarkah Hizbut Tahrir Mendorong Berijtihad Tanpa Ilmu?

Benarkah Hizbut Tahrir Mendorong Berijtihad Tanpa Ilmu?
Ada sebagian orang yang suka mencela HT (Hizbut Tahrir, red), salah satunya karena menurut mereka HT itu ngawur, yakni mendorong seseorang berijtihad tanpa ilmu. Diantara mereka ada yang menulis, “Ijtihad dan taklid merupakan fenomena keagamaan umat Islam yang eksistensinya diakui oleh agama dan dibuktikan oleh sejarah. Ijtihad hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari ulama terkemuka saja yang telah memenuhi sekian banyak persyaratan dalam hal keilmuan dan keagamaan. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama salaf. Hanya saja Taqiyuddin an-Nabhani memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini” Lalu ia mengutip pernyataan Syeikh Taqiyuddin di dalam kitab at-Tafkir, “Sesungguhnya apabila seseorang telah mampu melakukan istimbath (penggalian hukum dari sumbernya, yakni al-qur’an dan hadits), maka ia adalah mujtahid. Oleh karena itu, sesungguhnya ijtihad dan istinbath itu mungkin dilakukan oleh semua orang dan mudah dicapai oleh siapa saja. Terlebih lagi, saat ini sudah anyak buku-buku bahasa Arab dan buku syariah Islam di hadapan manusia”.



Kemudian ia mencela dan menafsirkan sendiri pernyataan Syeikh Taqiyuddin dengan mengatakan bahwa “pernyataan tersebut sangat berpotensi membuka pintu ijtihad dengan tanpa ilmu dan tanpa mengetahui syarat-syarat ijtihad serta sangat berpotensi menimbulkan kekacauan dalam urusan agama dengan banyaknya orang-orang yang berfatwa tanpa didukung oleh ilmu pengetahuan agama yang memadai”.

Sebenarnya pernyataan ini sangat jauh dari apa yang dimaksud oleh Syeikh Taqiyuddin sendiri. Pernyataan ini merupakan pemutar-balikan dari pernyataan beliau atau menyimpulkan sesuatu di luar konteksya.

Di sini, akan dibahas permasalahan seputar IJTIHAD dan tentu saja sikap HT dalam hal ini. Siapa saja boleh tidak setuju dengan HT. Itu hal yang sangat lumrah. Tetapi memutar-balikkan pernyataan HT dalam rangka menjauhkan masyarakat tentu bukan sikap adil, yakni sikap yang harus dimiliki oleh orang berilmu yang mukhlis.

Karena agak banyak, mohon membaca dengan pelan-pelan dan sabar.

Untuk mebahas permasalahan ijtihad ini, akan dibagi menjadi tiga pembahasan: Pertama, tentang definisi dan fakta ijtihad. Kedua, tentang urgensinya ijtihad pada setiap zaman. Ketiga, tentang persyaratan ijtihad. Keempat, tentang fakta klasifikasi manusia berdasarkan kemampuan berijtihad. Dengan mengkaji hal ini, maka insya Allah kita akan mampu mendudukkan permasalahan secara proporsional.

*****

Pertama, tentang definisi dan fakta ijtihad.

Ijtihad secara bahasa bemakna mengerahkan segenap kemampuan untuk merealisasi atau mewujudkan sesuatu. Misalnya, bersungguh-sungguh dalam belajar atau bekerja, maka secara bahasa dinamakan ijitihad.

Sedangkan ijtihad secara istilah adalah mengerahkan segenap kemampuan secara maksimal dalam rangka menentukan (ghalabatudz dzan atau menduga kuat) hukum syariah dari dalil-dalil syariah yang ada, yaitu al-qur’an, hadits atau yang ditunjukkan oleh keduanya.

Dari definisi tadi, paling tidak ada tiga poin penting dalam ijtihad menurut syariah. 1). Dalam mengkaji atau menggali hukum, seseorang harus sampai pada level maksimal yang bisa ia usahakan, bukan dengan santai-santai atau ala kadarnya apalagi menggampangkan sesuatu. Jadi, ijtihad merupakan capaian maksimal yang mampu ia kaji. 2). Ijtihad itu adalah bersungguh-sungguh dalam menggali suatu hukum syariah yang dzanni, bukan dalam hal yang lain. Orang yang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan matematika, misalnya, dalam istilah syariah tidaklah disebut sebagai ijtihad. 3). Hukum syariah tersebut harus digali dari sumber-sumber hukumnya, yaitu al-qur’an, hadits, atau yang ditunjukkan oleh keduanya yaitu ijma’ shohabat dan qiyas syar’i. Maka orang yang menggali hukum, tetapi dari filosof barat, misalnya, maka aktivitas ini tidak bisa disebut sebagai ijtihad. Sebab, ia tidak menggalinya dari sumber-sumber syariah. Itulah yang dinamakan ijtihad dalam definisi syariah.

Ijtihad ini dilakukan karena:

1). Terkadang dalil syariah itu dalam redaksi yang umum.

Al-quran dan hadits sebagai sumber dalil syariah memang diyakini mencakup dan mengatur seluruh aspek kehidupan. Tidak ada satu pun yang tidak ada hukumnya. Namun tidak dipungkiri al-qur’an dan hadits terkadang berupa garis-garis besar (khuthuth aridloh) sehingga butuh ijtihad untuk menentukan hukum suatu perbuatan atau benda secara spesifik. Misalnya, bagaimana hukum memakan burger? Jika kita cari di dalam al-qur’an dan hadits, tidak ada yang menyebut secara langsung dengan nama burger. Meski demikian, dalam Islam tidak bisa dikatakan bahwa makan burger tidak ada hukumnya. Nah, untuk memahami hukum makan burger, kita harus mengkaji dari dalil-dalil yang membahas tentang makanan. Proses inilah yang dinamakan ijtihad.

2). Terkadang dalam suatu permasalahan terdapat banyak dalil yang dzan, baik dalalah-nya (maksud atau arti dari suatu dalil mengandung multi-tafsir) atau tsubut-nya (dari aspek sumbernya, misalnya tentang hadits doif).

Terkadang sumber-sumber hukum Islam mengandung multi-tafsir (dzan) baik dari aspek sumbernya (dzanniyus tsubut) dan dari aspek arti dari sebah teks (dzanniyud dalalah). Sekedar contoh untuk yang mengandung multi-tafsir (dzan) dari aspek sumbernya (tsubut) adalah: bagaimana status hukum sesuatu, sementara dalil yang ada adalah hadits do’if?

Sedangkan contoh teks yang artinya multi-tafsir (dzan) adalah ayat: “...atau salah seorang diantara kalian keluar dari tempat buang hajat atau kalaian telah menyentuh perempuan, jika setelah itu kalian tidak mendapatkan air, maka tayammumlah” QS. An-Nisa 43). Diantara yang membatalkan wudlu adalah menyentuh (laamastum) wanita. Apa yang dimaksud menyentuh? Di sini terjadi multi-tafsir (dzan), ada sebagaian ulama yang memahami sebagai sentuhan kulit (sebagai arti yang dekat), tetapi ada sebagian ulama yang memahami sebagai berhubungan badan (sebagai arti yang jauh). Nah, proses memahami dalil-dalil yang multi-tafsir ini dinamakan ijtihad.

3). Terkadang dalam suatu permasalahan terdapat banyak dalil yang tampak bertentangan.

Terkadang juga, dalam satu masalah ada banyak sekali dalil dari al-qur’an dan hadits, dan terkadang antara satu dengan yang lain tampak berlawanan. Sebetulnya, secara hakikat tidak ada dalil yang berlawanan. Hanya saja, pemahaman kita yang terbatas, karena terkadang kita tidak memahami hakikat keseluruhan dalil, baik dari aspek latar belakang munculnya suatu dalil, atau maksud sesungguhnya dari suatu dalil, sehingga tampak berlawanan.

Para ulama menyatakan bahwa jika ada dalil-dalil yang tampak berlawanan, jika memungkinkan adalah mengamalkan semua dalil yang ada. Ini yang dinamakan al-jam’u. Namun, jika tidak memungkinkan maka harus dilakukan at-tarjih. Dalam hal ini, berarti ada dalil yang dimenangkan (al rajih) dan ada dalil yang dikalahkan (al marjuh).

Dalam kasus seperti ini, bagaimana memahami hukum sesuatu berdasarkan dalil-dalil yang ada, yang tampak berlawanan, proses ini dinamakan ijtihad.

Dengan demikian, menurut para ulama, ijtihad hanya dilakukan dalam permasalahan yang dzan. Ijtihad itu tidak perlu dilakukan saat ada dalil yang sangat jelas (qoth’i) dan langsung menunjuk pada suatu peristiwa (benda atau perbuatan) yang juga sangat jelas. Dalam hal ini, ada kaidah “La ijtihaada inda wuruudi an-nash (tidak ada ijtihad saat terdapat nash yang sangat jelas)”.

*****

Kedua, tentang urgensinya ijtihad pada setiap zaman.

Ijtihad ini sangat penting untuk dilakukan, bahkan pada setiap zaman, karena permasalahan yang ada di tengah-tengah manusia terus berkembang seiring dengan perkembangan dan dinamika masyarakat.
Padahal, umat Islam dituntut untuk selalu berhukum dalam segala sesuatu dengan hukum syariah. Allah swt berfirman: “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan Allah” QS. Al maidah 49. Segala hal yang dilakukan manusia di dunia ini, di akhirat nanti akan diminta pertanggung-jawaban oleh Allah swt, meskipun perbuatan tadi hanya sekecil biji dzarah. Konsekuensinya, manusia harus selalu taat dengan hukum Allah swt, dan hal itu tak mungkin dilakukan kecuali dengan memahami hukum Allah swt tentang suatu benda atau perbuatan. Proses memahami hukum Allah swt dari sumber-sumber hukum inilah yang dinamakan ijtihad.

Sekedar contoh, dahulu di zaman Nabi tidak ada kartu kredit atau kartu debit, bagaimana hukum menggunakan kedua kartu tersebut? Untuk menemukan jawabannya kita harus merujuk pada dalil-dalil al-quran dan hadits yang berkaitan dengannya, dan darinya kemudian ditarik kesimpulan atas hukum penggunaan kedua kartu tersebut. Proses menentukan hukum ini dinamakan dengan ijtihad.

Ijtihad ini sungguh sangat penting, sebab tanpa adanya ijtihad yang benar, maka kita tidak akan dapat mengetahui hukum Allah swt atas suatu tindakan atau suatu benda. Padahal, tindakan yang kita lakukan atau benda yang kita gunakan, nanti akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah swt.

Alhamdulillah, di tengah-tengah umat, ada ulama yang sadar atas tanggung-jawab keilmuannya. Dengan ilmunya yang sangat luas, mereka dengan sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh mengkaji (berijtihad) hukum-hukum syariah Islam, lalu hukum-hukum hasil ijtihad beliau ditulis dalam beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu jilid kitab. Tentu, kita sangat berhutang atas jasa para ulama yang mukhlis tersebut. Mereka melakukan semua itu tanpa imbalan, tetapi semata-mata hanya mengharap ridlo Allah swt sebagai tanggung-jawab ilmu mereka.

Namun, apakah para ulama terdahulu sudah membahas semua masalah kehidupan manusia? Kita harus katakan, bahwa hasil-hasil ijtihad ulama itu sangat komprehensif dan mencakup hampir semua aspek kehidupan dengan spektrum yang sangat luas. Hampir-hampir semua masalah sudah mereka kaji dan mereka tuangkan di dalam kitab-kitab mereka sebagai peninggalan (at-turats) yang tak ternilai harganya.

Akan tetapi, harus diakui, realitas kehidupan pada setiap zaman, selalu ada saja hal yang baru yang tidak ditemui pada zaman sebelumnya. Oleh karena itu, menutup pintu ijtihad dengan suatu anggapan semua masalah sudah ada jawabannya, adalah bertentangan dengan realitas kehidupan itu sendiri. Sekedar contoh sederhana, bagaimana hukum adzan dan membaca al-qur’an menggunakan rekaman video? Hal ini merupakan sesuatu yang mungkin terasa sangat biasa bagi orang zaman sekarang, tetapi mungkin tak terbayang sedikit pun pada zaman Imam Syafi’i.

Untuk menjawab hal ini diperlukan ijtihad. Ini sekedar contoh sangat sederhana, tentu saja masih ada beribu-ribu dan berjuta-juta masalah baru yang hadir setiap saat akibat perkembangan dan dinamika masyarakat.

Adanya ijtihad merupakan suatu keniscayaan. Menutup pintu ijtihad, meskipun itu adalah sebagai upaya kehati-hatian agar orang-orang yang tak berilmu tidak melakukan ijtihad secara sembarangan, tetapi dampak yang ditimbulkan dari keputusan ini tak kalah dahsyathnya. Akibat dari keputusan penutupan pintu ijtihad adalah adanya ribuan dan jutaan masalah kehidupan yang tak ada jawabannya menurut syariah Islam. Akibatnya, umat Islam melakukan sesuatu atau menggunakan suatu benda tanpa mengetahui hukumnya. Lalu beranggapan Islam tidak sempurna karena tidak memberi jawaban atas problematika kehidupan. Dan sebagai solusi, akhirnya umat Islam merujuk para filosof dan pemikir barat sebagai solusi atas problematika kehidupan yang pelik. Sementara itu, al-qur’an dan hadits hanya dijadikan kebanggaan dan disimpan di rak-rak buku agar tidak kotor. Islam hanya digunakan untuk masalah ibadah mahdzah seperti: sholat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain, atau yang berikatan dengan pernikahan, talak dan lain sebagainya. Sementara untuk mengatasi masalah kehidupan, umat Islam merujuk pada ideologi Kapitalisme atau Sosialisme.

Oleh karena itu, keputusan paling bijak adalah membuka diri dari kenyataan bahwa memang masalah terus berkembang, lalu mendorong umat untuk mencari ilmu setinggi-tingginya dan mendorong mereka untuk mengkaji suatu permasalahan kehidupan yang ada sebaik-baiknya dan sedetil-detilnya, sehingga diketahui hukum atas berbagai problematika menurut hukum syariah. Pada saat sama, selalu mengingatkan mereka agar harus benar-benar hati-hati, teliti dan selalu ikhlas dalam mengkaji hukum, sehingga tidak terjadi tindakan sembrono dalam berijtihad. Dan tentu saja, orang-orang yang tidak memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni dilarang untuk melakukan ijtihad, karena ijtihad memang bukan pekerjaan sembarangan yang dapat dilakukan oleh semua orang.

*****

Ketiga, tentang persyaratan ijtihad.

Ijtihad itu memang bukan perkara mudah. Paling tidak ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan ijtihad, yaitu:

1). Mengetahui nash-nash syariah yang berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas (ma’rifatu an- nushush asy syar’iyyah al-muta’alliqoh bil mas’alah).

Dalam memahami nash-nash syariah, ia harus benar-benar memahami ilmu al-qur’an dan ilmu hadits, mislanya asbabul nuzul (sebab turunnya ayat) atau asbabul wurud (sebab munculnya hadits). Juga harus memahami berbagai jenis hadits: shahih, hasan, doif-nya hadits dan lain sebagainya.

Seorang mujtahid harus benar-benar memahami manthuq dan mafhum, memahami ‘am dan khas, muthlaq dan muqoyyad, bayan dan mubayyan, nasikh dan mansukh, ta’adul dan tarjih, paham berbagai qaidah syara’, paham tentang haqiqoh dan majaz, termasuk haqiqah urfiyyah, haqiqah syar’iyyah, dan lain sebagainya.

Dalam hal ini seorang mujtahid harus mengetahui dan menghadirkan semua nash (dalil) yang berkaitan dengan masalah, baik al-qur’an atau hadits. Lalu semua dalil yang ada harus dipahami dengan kaidah-kaidah ijtihad yang benar.

2). Mengetahui fakta masalah yang akan dihukumi (ma’rifatu waaqi’atal mas’alah al-murad istinbathal hukmi laha).

Selain memahami aspek dalil, seorang mujtahid juga harus benar-benar memahami fakta sesuatu yang akan dihukumi. Misalnya saat mau menentukan hukum BPJS, harus benar-benar memahami apa dan bagaimana BPJS itu secara detil dan komprehensif. Jika tidak, bisa jadi seorang mujtahid tadi salah menilai.

Misalnya lagi, saat seorang mujtahid mau menentukan hukum bursa saham, maka ia harus benar-benar paham tentang bursa saham tadi secara detil dan komprehensif. Ia tidak boleh memahami hanya sepotong-sepotong, apalagi hanya berdasar katanya si A, atau hanya opini. Kesalahan memahami fakta bisa berdampak kesalahan ijtihad yang sangat fatal.

Untuk keperluan ini memang tidak harus disyaratkan bahwa ia harus seorang ekonom. Tetapi, ia harus benar-benar memahami kasus yang akan dihukumi. Dalam hal ini ia bisa bertanya kepada orang yang benar-benar paham tentang masalah itu secara detil dan komprehensif.

3). Mencurahkan kemampuan secara maksimal dalam menghukumi masalah dengan dalil-dalil yang ada.

Seorang yang berijtihad, harus mengerahkan segala daya upaya yang ia miliki untuk memahami semua dalil yang ada, memahami fakta secara komprehensif dan memberikan keputusan hukum atas fakta tadi. Kemampuan yang ia curahkan haruslah kemampuan maksimal. Sampai pada suatu kondisi, keputusan yang diperoleh itulah kesimpulan terbaik yang dapat ia usahakan.

Selain ia harus mencurahkan segenap daya upaya, seorang mujtahid juga tidak boleh memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Ia melakukan itu hanya benar-benar mengharap ridlo Allah swt. Misalnya, dalam memutuskan hukum BPJS maka tak boleh ia dalam posisi membela atau mengkritik BPJS. Ia harus mengkaji dalil apa adanya, mengkaji fakta apa adanya, dan memutuskan hukum apa adanya sesuai dengan pemahaman maksimal yang dapat ia lakukan.

Inilah ijtihad dan proses ijtihad.

Jadi, untuk melakukan ijtihad, memang harus ada banyak sekali ilmu yang harus dikuasai. Lebih dari itu, seseorang harus melakukannya dengan sangat serius dan benar-benar ikhlas karena Allah swt. Dengan demikian, ijtihad memang tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ijtihad hanya bisa dilakukan oleh ulama yang benar-benar ulama, bukan sekedar orang yang mendapat gelar ulama.

*****

Keempat, tentang fakta klasifikasi manusia berdasarkan kemampuan berijtihad.

Dengan penjelasan di atas, maka tampak bahwa ijtihad itu bukan sembarangan. Oleh karena itu, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh orang sembarangan. Ijtihad, hanya bisa dilakukan oleh ulama yang benar-benar memahami ilmu-ilmu Islam secara komprehensif, dan memahami berbagai masalah secara komprehensif, serta juga mau mencurahkan pikirannya secara maksimal dalam rangka menarik hukum tentang sesuatu yang akan dihukumi.

Oleh karena itu, maka secara alamiah, klasifikasi manusia itu ada yang mampu berijtihad (yang dinamakan mujtahid), dan ada orang yang tak mampu berijtihad (yang dinamakan muqollid).

Mujtahid sendiri juga memiliki tingkatan-tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi adalah MUJTAHID MUTLAK. Yaitu mujtahid yang berijtihad dalam hampir semua masalah, dan mereka memiliki metode ijtihad tersendiri. Dalam hal ini, misalnya Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Hambali, dan lain-lain. Sebenarnya, mujtahid mutlak tidak hanya empat, tetapi yang paling terkenal di dunia Islam adalah empat mujtahid tersebut. Jadi, saat seorang ulama melakukan ijtihad dalam hampir semua masalah dan beliau memiliki metode ijtihad tersendiri (ushul fiqih tersendiri), maka beliau adalah mujtahid mutlak, baik beliau diakui atau tidak oleh manusia lain pada zamannya. Untuk obyektivitas, kita bisa mengkaji karya-karyanya, bukan dari opini orang terhadapnya.

Tingkatan di bawahnya adalah MUJTAHID MADZHAB. Mujtahid madzhab adalah mujtahid yang berijtihad dalam hampir semua masalah, tetapi mereka tidak memiliki metode ijtihad tersendiri. Dalam hal ini, mereka menggunakan metode ijtihad dari mujtahid mutlak sebelumnya. Misalnya dalam hal ini adalah Imam Ghazali. Dalam ijtihadnya, Imam Ghazali menggunakan metode ijtihad Imam Syafi’i. Contoh lain Syeikh Ibnu Taimiyah. Dalam ijtihadnya beliau menggunakan metode ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal. Meski demikian, terkadang antara mujtahid mutlak dan mujtahid madzhab terjadi perbedaan kesimpulan hukum, meskipun menggunakan metode ijtihad yang sama.

Tingkatan di bawahnya lagi adalah MUJTAHID MASALAH. Artinya, seorang mujtahid hanya melakukan ijtihad dalam masalah-masalah tertentu yang mereka kuasai. Misalnya, mereka hanya fokus berijtihad dalam masasalah ibadah mahdzah, atau fokus pada masalah ekonomi, atau hanya fokus masalah Imamah (pemerintahan) dan lain sebagainya.

Demikian pula orang yang mengikuti, juga ada tingkatan-tingkatannya. Yang pertama adalah MUQALLID MUTTABI’. Muqallid muttabi’ adalah orang yang mengikuti hukum yang digali oleh seorang mujtahid setelah mereka mengkaji dan merasa puas dengan dalil-dalil dan metode yang dilakukan oleh mujtahid tersebut. Jadi, muqallid muttabi’ tidak hanya mengikuti, tetapi mereka juga mengkaji proses ijtihad yang dilakukan oleh seorang mujtahid.

Tingkatan di bawahnya lagi adalah MUQALLID ‘AM. Muqallid ‘am merupakan muqallid yang mengikuti mujtahid tanpa mengethaui dalil atau proses penggalian hukum. Pokoknya ia merasa tidak tahu tentang dalil, lalu ia mengikuti mujtahid yang menurutnya ilmunya sangat luas dan mujtahid yang ikhlas dalam berijtihad. Muqallid ‘am ini sebenarnya adalah tingkatan paling rendah dalam klasifikasi manusia berdasarkan ijtihad-taqlid.

Meski demikian, di masyarakat yang paling banyak adalah muqallid ‘am. Tentu ini sesuatu yang alamiah. Namun, di zaman fitnah seperti sekarang ini, orang-orang dalam tingkatan ini justru merasa bangga dengan posisinya sebagai awam. Dan yang agak mengherankan, terkadang mereka merendahkan dan menghina para ulama, bahkan para mujtahid mutlak. Astagfirullahal adzim... Coba kita lihat, terkadang ada para pengikut Imam Ibnu Taimiyah menghina Imam Syafi’i, dan sebaliknya terkadang para pengikut Imam Syafi’i menghina Imam Ibnu Taimiyah... Apakah tidak lebih bijak, kita sebagai orang awam (muqallid ‘am) menyadari keawaman kita dan menghargai para ulama kita, meski yang kita ikuti berbeda dengan ulama tersebut....?

Karena muqallid ‘am ini tidak tahu dalil dan metode ijtihad, maka jika ketemu dengan orang lain yang juga muqallid ‘am tetapi kebetulan berbeda, maka yang terjadi bukan diskusi, tetapi berkelahi. Kata-kata yang muncul dari mulutnya hanya sumpah serapah, bahkan kalau perlu ber-mubahalah. Inilah yang kadang terjadi. Apalagi di media sosial, saat orang menyampaikan sesuatu tanpa harus berpikir tanggung-jawab atas yang disampaikannya.

*****

Inilah pembahasan tentang definisi dan fakta ijtihad; tentang urgensi ijtihad pada setiap zaman; tentang persyaratan ijtihad; dan tentang fakta klasifikasi manusia berdasarkan kemampuan berijtihad.
Jadi, ijtihad itu memang sangat penting dan harus selalu ada pada setiap zaman, sehingga kita tetap mengetahui hukum Allah swt dalam permasalahan tertentu. Meski demikian, ijtihad tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Ijtihad hanya bisa dilakukan oleh orang yang berilmu luas dan mau mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk berijtihad. Inilah yang sebenarnya disampaikan oleh Syeikh Taqiyuddin dalam kitab-kitab beliau, misalnya dalam kitab at-Tafkir, kitab Mafahim Hizbut Tahrir, dan Kitab Syakhsiyyah Islamiyyah jilid I dan III. Namun sayangnya, ada sebagian orang yang memotong penjelasan beliau, dan menafsirkan pernyataan beliau sesuai dengan kehendaknya sendiri.
Ijtihad merupakan sesuatu yang sangat sulit, tetapi bukan mustahil. Sekedar perbandingan, membuat pesawat terbang, tentu ini sesuatu yang juga sangat sulit, tetapi tidak mustahil dilakukan, jika kita memang berusaha dengan sungguh-sungguh dan serius.

Patut untuk diperhatikan, saat kita tidak mampu melakukan ijtihad, hal itu TIDAK BERARTI BAHWA ORANG LAIN JUGA TIDAK MAMPU. Kita tidak boleh menilai orang lain seperti kita. Dunia itu sungguh sangat luas. Karena itu, kita tidak boleh menilai orang lain dari dunia kita sendiri, yang bisa jadi sangat sempit. Apalagi jika ketidak-mampuan kita berijtihad, mendorong kita untuk mengolok-olok ulama lain yang memang memiliki kapasitas berijtihad. Jika demikian, betapa arogannya kita? Betapa piciknya sikap kita?

Hal terpenting saat ini, mari kita mencari ilmu setinggi-tingginya dan kita dorong saudara kita juga agar menuntut ilmu setinggi-tingginya. Setelah itu, ilmu tersebut kita amalkan untuk kemaslahan umat. Dengan demikian, insya Allah kondisi umat akan berubah semakin baik, dan kita berharap suatu saat kita akan meraih kembali predikat khairu ummah. Amin....

Wallahu a’lam.

Oleh M Choirul Anam
https://web.facebook.com/choirul.anam.94617/posts/744980678961301

[www.al-khilafah.org]






Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.