Header Ads

Kejahatan Amerika

Hope (harapan) dan change (perubahan). Itulah yang kini ada di benak sebagian masyarakat dunia ketika Barack H. Obama, terpilih menjadi orang nomor satu di Amerika Serikat (AS). Sejak pidato utama pada 2004 dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat, senator junior Illionis ini dinobatkan bukan hanya sebagai ‘penyelamat’ Partai Demokrat, tetapi juga integritas politik AS. Bahkan masyarakat menganggap Obama—yang merupakan African American pertama yang terpilih sebagai Presiden Harvard Law Review ini—sebagai ‘impian’ yang mewakili AS.

Dengan semboyan The Change We Need dan Yes We Can, peraih nilai magna cum laude dari Sekolah Hukum Harvard ini mampu menyihir masyarakat AS. Ketika pelantikannya sebagai presiden AS pada 20 Januari 2008, perhatian masyarakat dunia kepadanya pun sangat besar. Di AS sendiri, baru kali ini tiga hingga lima juta warga AS menghadiri acara inagurasi Presiden. Ini terbesar sepanjang sejarah AS, bahkan dunia. Sebab, pelantikan presiden AS sebelumnya paling banter hanya dihadiri sekitar 1,5 juta warga. Semua berharap, Obama bisa memberikan perubahan dunia, khususnya bagi AS yang kini tengah dilanda ‘sakit berat’ krisis finansial.


Sikap Jahat AS Tak Berubah

Banyak pihak, bukan hanya masyarakat AS saja tetapi juga masyarakat dunia, menaruh harapan perubahan pada Obama sesuai dengan slogan kampanyenya. Ini karena sebagai negara adidaya pengaruh AS sangat signifikan bagi dunia. Pengaruh AS yang paling terasa bagi dunia adalah dalam masalah krisis ekonomi.

Krisis ekonomi yang berawal dari krisis finansial dengan terjadinya kasus subprime mortgage telah mendorong perekonomian AS ke dalam jurang resesi. Jumlah pengangguran di AS makin meningkat, bahkan tertinggi dalam 7 tahun terakhir sejak terjadi serangan 11 September 2001. Pada 2008, jumlah pengangguran melonjak dari 32 ribu orang menjadi 516 ribu orang. Jumlah pengangguran yang melebihi 500 ribu orang mengindikasikan resesi tengah terjadi.

Posisi utang pemerintah AS mencapai 10 triliun dolar AS, utang konsumen sebesar 11,4 triliun dolar AS, dan utang perusahaan AS berkisar 18,4 triliun dolar AS. Total utang AS berjumlah 40 triliun dolar AS. AS juga lebih banyak mengimpor ketimbang mengekspor sehingga terjadi defisit perdagangan sebesar 1 triliun dolar AS.

Resesi di AS kini merambah ke negara-negara lain, tidak hanya negara berkembang, tetapi juga negara maju. Di Indonesia dampak krisis ekonomi sudah terasa, dengan menurunnya jumlah permintaan ekspor ke negeri Paman Sam tersebut.

Di AS, dengan kondisi yang sulit seperti itu, Pemerintahan Obama harus mengeluarkan tambahan anggaran cukup besar untuk stimulus ekonomi. Karena itu, kini banyak orang menunggu sejauh mana Barrack Obama bersama timnya mengambil kebijakan untuk menyelamatkan ekonomi AS. Pasalnya, kebijakan domestik atau luar negeri AS akan banyak mempengaruhi negara-negara lain.

Apakah kebijakan Pemerintah AS akan berubah setelah dipegang Obama? Dalam pidato di Senat Amerika, Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri AS yang baru mengatakan, “Kita harus menggunakan apa yang disebut smart power, suatu perangkat yang lengkap yang dilakukan dengan kekuasaan yang kami miliki. Dengan smart power, diplomasi akan menjadi garda depan politik luar negeri kami.”

New York Times melaporkan bahwa Hillary Clinton menggambarkan smart power sebagai, “Ini artinya penggunaan semua perangkat yang bisa mempengaruhi diplomatik, ekonomi, militer, hukum, politik dan budaya untuk mendapatkan apa yang Anda inginkan.”

Setelah menganggap kepemimpinan Bush gagal, smart power memang menjadi cara baru bagi Obama untuk memperbaiki rusaknya reputasi mereka di mata dunia. Karena itu, Pemerintah AS kini berupaya mengefektifkan kebijakan luar negeri dengan taktik baru tersebut.

Namun, jika menengok track record presiden-presiden AS, baik berasal dari Partai Republik atau Demokrat, AS di bawah Obama tidak akan berubah secara signifikan. Ini tercermin dari pidato Obama di Council on Foreigh Relation, Chicago 12 Juli 2004. Obama yang ketika itu belum menjadi Presiden AS mengatakan, “Di setiap wilayah di muka bumi ini, kebijakan luar negeri kita harus mendukung idealisme tradisional AS; demokrasi dan hak-hak asasi manusia, perdagangan bebas, adil, serta pertukaran budaya; juga pendirian berbagai lembaga yang menjamin pemerataan kesejahteraan di dalam ekonomi pasar.”

Selanjutnya Obama mengungkapkan, “Kesamaan kepentingan di dunia akan memulihkan pengaruh kita serta merebut hati dan pikiran demi mengalahkan terorisme dan menyebarkan nilai-nilai AS ke seluruh dunia.” (Lisa Rogak, Obama in His Own Words)

Dari apa yang diungkapkan Obama sangatlah jelas, bahwa arah kebijakan Pemerintah AS tidak akan berubah. “Presiden boleh datang dan pergi, kebijakan mungkin berubah, tetapi tidak akan ada perubahan yang benar-benar nyata (real change),” kata Taji Mustafa, perwakilan media Hizbut Tahrir Inggris seperti dikutip Khilafah.Com.

Dengan segala perangkat kapitalisnya, Pemerintah AS selalu berupaya melebarkan sayap mereka ke negara-negara lain. Dengan cara itulah, negara AS selalu mencari cara untuk mempertahankan dominasi di dunia dan terus melanjutkan agenda eksploitasi kapitalisnya.


Kejahatan Ekonomi

Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy mengatakan, berdasarkan dokumen yang dimiliki, Obama akan tetap berpegang pada National Security Strategy of USA, September 2002 sebagai manifesto ekonomi politik, politik luar negeri dan militer AS. Mereka bahkan telah menerbitkan American Project 2020, termasuk telah memproyeksi perebutan energi hingga 2040.

Kepentingan nasional AS yang bakal dibela mati-matian adalah minyak dan gas bumi, karena sejak lama AS sangat bergantung pada minyak dan gas asing. AS adalah negara yang mengonsumsi minyak dan gas terbesar di dunia, yakni sekitar 23,9% (minyak) dan 22,6% (gas). Bahkan terkait konsumsi dan produksi, AS defisit sekitar 66,67% (minyak) dan 16,17% (gas).

Kepentingan nasional AS berikutnya adalah Israel. Sebab, negara tersebut merupakan pangkalan militer AS yang paling strategis di Timur Tengah dan sangat vital bagi AS. Selama ini, Timur Tengah merupakan pemasok minyak dunia yang jumlahnya mencapai 30,8% dan 12,1% produsen gas dunia. Selain itu, Timur Tengah juga memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, yakni sekitar 61% dan memiliki 41,3% cadangan gas dunia.

Untuk memuluskan intervensi di dunia, terutama negara-negara berkembang termasuk Indonesia, Pemerintah AS tetap akan mengandalkan dua lembaga: Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Lihat saja bagaimana pertemuan G20 di Washington yang menegaskan tetap memegang komitmen mekanisme pasar. Begitu juga pertemuan APECs di Lima-Peru yang konsisten melanjutkan liberalisasi pasar.

Melalui konsep neo-liberalis, Pemerintah AS berupaya menjajah negara-negara berkembang dengan gaya baru. Lembaga keuangan multilateral IMF dan Bank Dunia terus mendorong transaksi utang luar negeri kepada negara-negara berkembang. Cara itu untuk melanggengkan kepentingan AS dalam menguasai perekonomian nasional.

Sebagai anggota IMF dan Bank Dunia bersama 184 negara, AS memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan dua lembaga itu karena sistem pengambilan keputusan berdasarkan besarnya kepemilikan saham. Pemerintah AS memiliki saham di Bank Dunia sebesar 16,4% dan di IMF sekitar 17,10%. Padahal pengambilan keputusan setiap kebijakan di kedua lembaga itu membutuhkan persetujuan 85% suara. Praktis seluruh keputusan di IMF dan Bank Dunia berada di tangan AS. Wajar saja kedua lembaga ini digunakan sebagai alat kepentingan AS.

Dalam konsep neo-liberal setidaknya ada lima poin utama yang terus diperjuangkan AS sebagai negara pengemban utamanya. Pertama: mendorong kebebasan pasar. Untuk mencapai tujuan itu, AS berupaya membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Kemudian mereka akan membuka sebesar-besarnya perdagangan internasional dan investasi, mengurangi upah kerja dan penghapusan hak-hak pekerja.

Kedua: memangkas pengeluaran publik untuk pelayanan sosial; misalnya subsidi untuk sektor pendidikan, kesehatan, ‘jaring pengaman’ masyarakat miskin; bahkan pengurangan anggaran untuk infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih. Dengan cara ini peran pemerintah makin berkurang. Di lain pihak, mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak (tax benefits) untuk kalangan bisnis.

Ketiga: paket kebijakan deregulasi. Melalui kaki tangannya, Mafia Berkeley, yang bercokol di negara-negara berkembang, Pemerintah AS akan mengurangi peraturan-peraturan pemerintah yang dianggap mendistorsi pasar dan bisa mengurangi keuntungan pengusaha; membuat kebijakan yang meliberalisasi seluruh kegiatan ekonomi, termasuk penghapusan segala jenis proteksi; membuat aturan yang memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar.

Keempat: privatisasi. Cara ini dianggap paling efektif menjual perusahaan milik negara kepada investor swasta. Dengan berlindung di balik alasan efisiensi, sasaran utama privatisasi adalah perusahaan plat merah strategis dan mengurusi hajat hidup orang banyak.

Kelima: menghapus konsep barang-barang publik dan menggantinya dengan “tanggung jawab individual”. Meski puluhan juta orang terdepak ke bawah garis kemiskinan, IMF dan Bank Dunia tetap memaksa Pemerintah Indonesia memangkas pengeluaran pemerintah untuk sektor sosial (subsidi), melakukan deregulasi ekonomi dan menjalankan privatisasi perusahaan milik negara. Pemerintah didesak pula untuk melegitimasi upah rendah.

Menurut Kusfiardi, Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU), seluruh kebijakan tersebut dilakukan untuk melayani kepentingan investor asing, yaitu perusahaan-perusahaan besar di negara pemegang saham utama lembaga ini.


Kejahatan Politik

Dalam kebijakan politik, di bawah kepemimpinan Barack Obama, Pemerintah AS juga tidak akan keluar dari khittah politik luar negeri. Mereka akan tetap menjaga dominasinya atas berbagai wilayah di dunia ini untuk kepentingan politik dan ekonomi AS. Jadi, Obama tidak akan berbeda dengan presiden sebelumnya. Misalnya, sejak lama Obama mengambil posisi untuk mendukung pemerintahan Israel garis keras dan membuat pernyataan yang sesungguhnya tidak banyak berbeda dari Bush. Obama juga telah menyatakan untuk tetap memberikan dukungan penuh terhadap hubungan AS-Israel, termasuk dalam bidang militer dan bantuan ekonomi. Ia juga akan terus mendukung kebijakan AS untuk mencapai solusi pembentukan ’dua negara’, dengan Yerusalem sebagai ibukota Israel. Dalam siaran pers Pembaruan Kepemimpinan Amerika, 12 Juli 2004 (Lisa Rogak, Obama in His Own Words), Obama mengatakan, “(AS harus) menggunakan kewenangan moral dan kredibilitas membantu Timur Tengah mencapai perdamaian. Komitmen pertama dan mustahil ditawar adalah keamanan Israel, sekutu sejati kita di Timur Tengah dan satu-satunya demokrasi. Kita harus konsisten dan melibatkan Uni Eropa serta negara-negara Arab untuk mendesak reformasi di dalam masyarakat Palestina.”

Adnan Khan, aktivis Hizbut Tahrir Inggris mengungkapkan, dalam kasus Irak, Barack Obama menentang perang di Irak dan strategi penambahan pasukan. Bahkan mendukung penarikan mundur pasukan AS secara bertahap dalam tempo 16 bulan sejak menjabat. Sebaliknya, Obama juga menentang penarikan mundur secara total dan mendukung upaya reposisi kekuatan militer AS di Irak. Upaya menentang adanya penentuan tanggal tertentu sebagai batas akhir penarikan pasukan AS, membuktikan Obama masih membutuhkan keberadaan kekuatan militer untuk mendukung pelaksanaan kebijakannya di Timur Tengah. Obama juga menekankan bahwa sebagian besar kekuatan militer AS harus tetap siaga di tempat strategis seperti di Kuwait, kalau tidak di Irak itu sendiri.

Begitu juga sikap Obama dalam masalah Afganistan. Obama secara gamblang dan berulang mengatakan akan meningkatkan keterlibatan AS di Afganistan, menambah jumlah pasukan, memperluas daerah operasi militer dan melancarkan serangan lintas batas secara sistematis. Pemerintah AS telah memprioritaskan membangun rezim agen di Kabul sehingga Afganistan tetap terkontrol dalam kepentingan AS. Tujuannya adalah mempertahankan aset strategis di Asia Tengah seperti sumber energi dan infrastruktur pembangunan jalur pipa minyak. “Saya selalu merasa kita sudah melakukan hal yang tepat di Afganistan. Kerisauan saya hanyalah bahwa kita mengalihkan perhatian dari Afganistan ke Irak. Saya kira, saya akan melakukan hal yang lebih baik dalam menstabilkan negara itu ketimbang yang sudah kita lakukan, dengan memberikan bantuan kepada rakyat Afgan. Kita semua harus mendukung rakyat Afganistan dan memastikan siap membantu mereka untuk mewujudkan berbagai hal,” ungkap Obama dalam debat Senat Illionis di Jaringan Radio Illionis 12 Oktober 2004.

Dalam masalah Pakistan, Obama telah mengumumkan bahwa pemerintahannya akan memperluas ‘Perang Melawan Teror’ secara sistematis, menggencarkan serangan darat dan udara secara besar-besaran di Pakistan serta menargetkan setiap desa dan kota yang diduga melindungi simpatisan perlawanan Afgan. Semua indikasi mengarah pada Pakistan yang akan menjadi ajang perang AS dalam ekspansi imperiumnya. Langkah itu diperlukan Obama untuk memenangkan perang regional ini.

Begitu juga terhadap Iran. Barack Obama telah menjelaskan kebijakannya yang mendukung kebijakan multilateral ketimbang unilateral (keputusan sepihak) dan campur tangan militer, terutama dalam menghadapi program nuklir. Dia mendukung diplomasi personal yang agresif dan akan menemui pemimpin Iran tanpa prasyarat. Namun, Obama juga tidak akan menafikan kemungkinan penggunaan aksi militer untuk menguasai ladang minyak dan gas bumi Iran apabila diperlukan.

Adanya pergeseran taktik dari penjajahan militer ke penjajahan politik, ekonomi dan budaya sebetulnya bukan hal yang baru bagi AS dan para kroni penjajahnya. Bagi mereka yang terpenting adalah semaksimal mungkin bisa mengeksploitasi dan mengambil keuntungan dari negara-negara yang lebih lemah. Semua itu untuk kepentingan perusahaan-perusahaan dan kaum kapitalis di belakang mereka.

Secara budaya, Barat khususnya AS akan menggunakan media massa untuk membawa pandangannya dan mengekspor ide-ide itu kepada dunia Islam. Secara ekonomi, Pemerintah AS berupaya mengeruk habis kekayaan negeri-negeri Muslim. Melalui lembaga keuangan internasional yang bekerjasama dengan agen-agennya penguasa di negara berkembang, mereka membuat kebijakan yang menguntungkan kapitalis.

AS tahu bahwa ia tidak bisa mengalahkan Dunia Islam dengan cara-cara militer saja. AS berusaha untuk menggunakan segala cara yang mereka bisa lakukan. Itulah watak AS. [Yulianto]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.