Header Ads

Ismail Yusanto: Boediono Tidak Akan Berani Ngomong Begitu!

Tim Sukses SBY Berboedi berkali-kali menyatakan bahwa Boediono itu bukan ekonom neoliberal dengan alasan dia membolehkan perbankan syariah. Benarkah, bila welcome terhadap perbankan syariah bisa disebut ekonom yang tidak neolib? Umat jangan mau dibohongi. Untuk itulah wartawan mediaumat.com Joko Prasetyo mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto, Selasa (23/6) sore di Jakarta. Berikut petikannya.

Apa benar UU perbankan syariah atau kebijakan yang terkait dengan bank syariah itu merupakan peran besar Boediono?

Kalaulah umpamanya benar bahwa Boediono berperan besar dalam hal itu tetap saja itu tidak bisa dijadikan alasan untuk menangkis bahwa Boediono itu bukan neolib.

Keberadaan bank syariah mencerminkan bahwa Indonesia tidak menerapkan ekonomi neolib?

Perbankan syariah adalah salah satu instrument dari sistem moneter yang berlaku di Indonesia yang menerapkan sistem ekonomi neolib ini. Sehingga keberadaan perbankan syariah itu tidak mempengaruhi apa-apa terhadap kebijakan moneter secara umum.

Apalagi, volume bisnis bank syariah di Indonesia itu masih di bawah 3%. Jadi masih sangat kecil bila dibanding dengan skala usaha perbankan konvensional yang 97%. Sehingga perbankan syariah itu tidak mempengaruhi postur terhadap perbankan Indonesia.

Nah, itu kalau mau dibilang Boediono berperan besara dalam keberadaan perbankan syariah. Tapi kan faktanya tidak begitu. Sesungguhnya orang-orang yang berperan besar adalah inisiator dan pelaku perbankan syariah sendiri yang menginginkan UU semacam itu, yakni Asosiasi Bank Syariah Indonesia atau Asbsindo.

Dalam hal ini Boediono berposisi sebagai orang yang mau tidak mau harus meng-endors atau mengesahkannya. Karena kalau Boediono menolak itu akan menjadi sesuatu yang sangat tidak mengenakan posisinya. Siapapun yang ada di posisinya akan melakukan hal yang sama. Lantaran perbankan syariah sudah menjadi fakta bukan baru gagasan saja. Dan fakta itu makin lama makin membesar dan membutuhkan UU terpisah dari UU perbankan konvensional.

Jadi saya melihat tidak ada yang istimewa dari keberadaan Boediono terkait hal ini. Kecuali kalau Boediono itu dari dulu dikenal sebagai orang yang mengagas bank syariah. Itu baru melawan arus. Nah baru bolehlah diacungi jempol! Faktanyakan tidak.

Bukankah ia juga mengatakan perbankan syariah itu bagus. Apakah ungkapan itu basa-basi?

Mungkin. Tapi dia juga paham dong, secara intelektual bahwa bank syariah itu memang bagus. Jadi siapa pun yang menyatakan bank syariah itu bagus sebenarnya itu pernyataan yang biasa. Tidak ada yang istimewa. Karena memang secara intelektual, secara empirik itu memang bagus!

Justru kalau ada orang yang mengatakan bank syariah jelek itu bodoh. Kalau ekonom ya ekonom bodoh. Keblinger! Sebenarnya yang aneh itu ketika Boediono mengatakan bank syariah itu bagus. Itu dijadikan kredit point buat dia. Padahal itu kan sangat biasa-biasa saja.

Baru sekarang-sekarang ini, saat menjelang pilpres 2009, Boediono dikatakan sebagai orang yang paling berjasa dalam menelurkan UU perbankan syariah. Sebelumnya dia tidak pernah sama sekali dikait-kaitkan dengan perbankan syariah atau satu gagasan ekonomi Islam lainnya. Hatta di UGM sekalipun ia tidak pernah mengajukan gagasan itu.

Lain halnya kalau Boediono mengatakan, “bank syariah itu bagus harus dikembangkan. Bank konvensional jelek harus ditutup”. Nah itu baru kredit poin buat Boediono. Kalau Boediono berani ngomong begitu baru itu namanya berita. Saya yakin dia tidak akan berani ngomong begitu! Karena pernyataan itu hanya akan muncul dari seorang ekonom yang bermotif keimanan bukan neolib.

Jadi motif dalam membangun perbankan syariah itu…?

Ya..motif ya… setidaknya ada dua.mengapa perbankan syariah itu dibangun. Pertama, ada yang mendirikan bank syariah karena motif keyakinan, keimanan bahwa bank syariah ini solusi yang terbaik dan islami yang menjauhkan unsur riba dalam setiap transaksinya. Alasannya, dalam Islam riba atau bunga bank itu haram dan harus dijauhi. Nah, sehingga orang-orang seperti ini lebih memilih bank syariah dan secara tegas menolak bank konvensional.

Kedua, ya motif bisnis an sich. Dalam kacamata ini memang bank syariah tidak terlalu beresiko bahkan dalam hitung-hitungan mereka bank syariah memilik marjin keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skema bank konvensional. Sehingga bank konvensional pun membuka unit syariah.

Dengan alasan yang sama pula hal ini terjadi bukan hanya di Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim. Di negara-negara lain, seperti Inggris, Singapura, Australia, Amerika juga bank konvensional membuka cabang syariah. Bahkan City Bank, itu bank konvensional pertama yang membuka unit syariah. Sekarang ini kan HSBC pun membuka unit syariah.

Agak sedikit menyimpang, namun menarik untuk diungkap. Dalam dialog di Bandung baru-baru ini, Boediono mengatakan butuh mata uang internasional yang baru pengganti dollar karena dollar didominasi oleh satu negara. Tapi ketika disodorkan bahwa uang pengganti itu emas ia menolak juga, dengan alasan mata uang emas itu tetap menimbulkan ketergantungan karena hanya negara-negara tertentu saja yang mempunyai emas.

Apa benar seperti itu, jadi di mana letak keadilan mata uang emas itu, mengingat Islam mewajibkan mata uang itu haruslah emas atau berbasis emas?

Justru kalau tujuannya agar menjadi mata uang internasional emaslah yang paling unggul. Karena ketika emas dijadikan mata uang dengan sendirinya uang emas tersebut menjadi mata uang internasional. Sama sekali tanpa memerlukan adanya political agreement. Lihat mata uang Euro, sekedar untuk berlaku di Eropa saja kan harus ada dulu kesepakatan politik oleh setiap negara yang tergabung dalam Masyarakat Ekonomi Eropa untuk menjadikan itu sebagai mata uang bersama.

Emas tidak perlu begitu. Jadi siapa saja bisa menggunakan mata uang emas, bahkan tidak memerlukan kesepakatan politik internasional sekalipun. Karena emas ini langsung bisa digunakan di sembarang tempat di berbagai negara.

Terus bila dikatakan bahwa negara-negara tertentu saja yang menghasilkan emas atau mempunyai cadangan emas yang besar yang diuntungkan. Ya, memang seperti komoditas lainnya, seperti minyak misalnya. Kan negara yang mempunyai minyak terbesar memiliki keuntungan yang lebih besar. Jadi ada masalah apa? Yang memiliki minyak yang lebih banyak akan diuntungkan, yang memiliki emas lebih banyak akan lebih diuntungkan. Ya, itu hal yang wajar saja. Tidak menggunakan mata uang emas pun. Menggunakan dollar misalnya, tetap saja yang memiliki emas terbanyak akan lebih diuntungkan.

Benarkah bila penemuan emas besar-besaran di sebuah negara akan terjadi inflasi secara global?

Ooh, insya Allah, itu tidak akan mungkin terjadi. Kenapa? Karena emas itu komoditas. Emas tidak akan mengalir dengan sendirinya karena emas akan mengalir bila dipertukarkan dengan barang dan jasa. Bila emas itu ditemukan oleh sebuah negara tentu saja emas tersebut akan diamankan oleh negara tersebut.

Beda dengan mata uang kertas. Bila di-back-up atau disandarkan pada emas berarti mata uang emas. Mata uang kertas kan dicetak tanpa disandarkan pada apa-apa. Itulah yang menyebabkan inflasi secara global seperti yang selalu terjadi pada mata uang kertas yang berlaku saat ini. Uang terus dicetak, harga barang terus naik. Kan begitu.

Jadi kalau emas itu dibelikan barang ya itu sebenarnya pertukaran barang dengan barang. Jika harga barang naik, harga emas pun ikut naik. Jadi emas relatif jauh lebih stabil dibanding mata uang kertas, saham, atau lainnya. Dollar bisa tidak ada artinya apa-apa ketika Amerika bangkrut. Saham juga demikian, bila perusahaan yang mengeluarkan saham itu bangkrut.

Hal itu tidak berlaku bagi emas. Satu contoh sederhana saja. Seribu empat ratus tahun lalu. pada zaman Nabi Muhammad SAW, harga seekor kambing gemuk adalah 1 koin dinar, uang yang terbuat dari emas seberat 4,25 gram emas. Nah, zaman sekarang juga sama! Kambing yang bagus dan gemuk harganya sekitar 1,5 juta rupiah.

Coba tanya ke Antam atau penjual dinar, berapa harga 1 dinar sekarang, jawabannya mesti 1,5 juta rupiah. Padahal Khilafah Islam sudah lebih dari 80 tahun runtuh, tapi dinarnya tetap stabilkan? Coba kalau pakai uang kertas. Pasti harus dikilo dulu baru laku. Seperti halnya menimbang koran bekas. Jadi kalau tidak emas mau mata uang apa yang ingin diajukan sebagai alat tukar yang berlaku secara internasional?

Kesimpulannya?

Jadi neolib itu tidak bisa dilihat dari kata-kata tetapi dapat dilihat dari rekam jejak. Artinya, neolib tidaknya Boediono itu tidak bisa diukur dengan setuju atau tidaknya dia dengan berdirinya perbankan syariah. Tapi neolib tidaknya dia itu bisa dilihat dari apakah dia menganut Mazhab Konsensus Washington atau tidak. Konsensus Washington itu kan intinya pencabutan subsidi, privatisasi, dan liberalisasi perdagangan. Boediono kan kental sekali dengan ketiga hal itu.[] mediaumat.com

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.