Header Ads

Benarkah DPR/MPR Suara Kebenaran?


Untukmu yang duduk sambil diskusi
Untukmu yang biasa bersafari
Di
sana, di gedung dpr
Wakil rakyat kumpulan orang hebat
Bukan kumpulan teman teman dekat
Apalagi sanak famili


Di hati dan lidahmu kami berharap
Suara kami tolong dengar lalu sampaikan
Jangan ragu jangan takut karang menghadang
Bicaralah yang lantang jangan hanya diam




Di kantong safarimu kami titipkan
Masa depan kami dan negeri ini
Dari sabang sampai merauke


Saudara dipilih bukan dilotre
Meski kami tak kenal siapa saudara
Kami tak sudi para juara
Juara diam, juara he'eh, juara ha ha ha......


Wakil rakyat seharusnya merakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Jangan tidur waktu sidang soal rakyat
Wakil rakyat bukan paduan suara
Hanya tahu nyanyian lagu "setuju......"


- Iwan Fals -


Berebut kepentingan pada saat Rapat Paripurna DPR mengenai skandal bailout (pengucuran dana talangan) Bank Century sangat mencolok terutama partai penguasa dan beseta partai koalisi yang masih loyal. Berebut kepentingan diantara mereka sangat kental sekali justru seharusnya wakil rakyat merakyat? Meskipun akhirnya rapat paripurna Pansus Century memilih opsi C dengan 325 suara. Opsi C mengatakan, bailout Century bermasalah. Sedang koalisi yang digalang SBY kalah suara, hanya meraih 212. Presiden SBY diminta harus mengalah menyusul hasil Paripurna Century yang menyatakan Bailout Century bermasalah. SBY harus mengorbankan Menkeu Sri Mulyani, jika tidak mau terlibat perang dingin terus dengan DPR. Sebenarnya kalau berbicara kepentingan rakyat, ya berarti berbicara dan berusaha bagaimana agar uang sebesar 6,7 triliun itu bisa kembali dan yang bertanggung jawab dihukum.

Kebenaran dan suara rakyat dalam sistem demokrasi dianggap paling bisa mendekati kebenaran, karena bersumber pada kedaulatan suara rakyat. Suara rakyat dianggap suara Tuhan. Sistem ini juga dianggap paling aspiratif karena selalu mendasarkan kepada suara rakyat. Namun dalam kasus Century, justru dua hal ini dilanggar. Kasus Century dengan secara gamblang menunjukkan kepada kita hakikat buruk system demokrasi dan praktik-praktik kotornya.

Kebenaran berdasarkan fakta yang seharusnya dicari oleh siapapun dan menjadi dasar pertimbangan utama diabaikan begitu saja. Meskipun berbagai bukti dan argumentasi sudah terungkap dalam rapat-rapat Pansus yang melelahkan, klaim atas nama suara rakyatpun dipertanyakan. Demokrasi selalu mengklaim bahwa system ini paling aspiratif karena berdasarkan kepada suara rakyat yang diwakili oleh anggota DPR/MPR. Klaim suara mayoritas sistem demokrasi memang patut dipersoalkan. Realitanya, yang berkuasa sering kali adalah pemimpin partai dan pemilik modal. Hasilnya, banyak kebijakan partai politik di DPR atau pemerintahan yang justru memberatkan rakyat dan lebih menguntungkan pemilik modal. Rakyatpun tidak pernah ditanya apakah setuju terhadap kenaikan BBM, privatisasi listrik, komersialisasi pendidikan lewat BHP. Demokrasi menjelma menjadi tirani minoritas (pemilik modal, pemimpin partai) atas nama mayoritas. Prinsip penting demokrasi ini menjadi sebuah iluasi yang tidak ada realitnya. Praktik kotor demokrasi seperti ini sudah seharusnya semakin menyadarkan kita tentang kebobrokan dari sistem ini. Sistem yang menjadikan hawa nafsu, kekuasaan, dan harta sebagai panglima tertinggi, tidak akan pernah memberikan kebaikan pada rakyat. Hakikat demokrasi yang sebenarnya adalah proses penetapan hukum di tengah-tengah manusia berdasarkan kehendak rakyat secara mayoritas. Ide demokrasi yang dikembangkan oleh Voltaire dan Montesquie dalam konteks kenegaraan ini sebenarnya telah menetapkan manusia sebagai pembuat hukum (Musyarri’), bukan Al Khaliq. Dalam format negara demokrasi, akan dianggap tidak demokratis kalau hukum yang ditetapkan berdasarkan hukum Tuhan. Oleh karena itu, ide demokrasi ini sebenarnya adalah proses pemisahan agama dari negara (fashluddin ‘an dawlah). Falsafah Barat, the grand process of modernization, berpijak pada pemisahan masyarakat politik dari agama dan dari strukutur agama (uneklesastikal structure).

Hakikat demokrasi seperti diatas sebenarnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap seluruh dalil yang qath’i tsubut (pasti sumbernya) dan qath’i dalalah (pasti pengertiannya) yang mewajibkan kaum muslim untuk mengikuti syariat Allah. Dam menlak segala sistem hukum yang bertentangan dengan syariat-Nya. Kehati-hatian kita agar tidak terjerumus ke dalam apa yang dianggap kafir, dzalim, fasik oleh Allah merupakan sebuah keniscayaan. Jika seorang menerima hakikat demokrasi, seraya mengesampingkan hukum Allah atau membenamkan hukum Allah sebagai sebuah keusangan karena takut dikatakan tidak demokratis, maka pandangan ini dapat menjerumuskannya kedalam kekafiran, kedzaliman atau kefasikan. Itulah paling tidak yang dapat kita pahami dari firman Allah Swt.: “Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut wahyu yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”(QS. Al Maidah[5]:44) pada ayat “Siapa pun yang tidak memutuskan perkara menurut wahyu yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir.”(QS. Al Maidah[5]:45)

Sehingga menerima dan kegiatan menyebarkan paham demokrasi adalah bathil dalam pandangan Allah Swt sebagian kaum muslimin meyakini bahwa musyawarah adalah substansi dari demokrasi. Bahkan, mereka mengatakan bahwa jauh sebelum demokrasi di lahirkan masyarakat barat, Islam terlebih dahulu menancapkan prinsip-prinsip kehidupan yang demokratis. Dengan menafikan pengertian karakter dari demokrasi itu sendiri, demokrasi dipahami secara sederhana sebagai proses pemilihan yang melibatkan banyak orang untuk mengangkat seorang pemimpin. Menurut mereka adanya pemilu, meminta pendapat rakyat, menegakkan ketetapan mayoritas, multi partai politik, kebebasan pers, mengeluarkan pendapat, otoritas pengadilan adalah bagian kehidupan demokrasi yang substansinya sudah ada didalam kehidupan Islam. Padahal literatur-literatur yang membahas teori-teori politik dan demokrasi tidaklah memberikan pengertian yang sesederhana pemahaman di atas. Secara mendasar, teori demokrasi adalah pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat (as siyadatu lir ra’iyyah). Para pemimpin yang diangkat dalm sistem demokrasi terikat dengan kontrak sosial untuk melaksankan aspirasi rakyat. Adanya kritik, koreksi bahkan pemecatan pemimpin dalam sistem demokrasi semuanya terkait dengan aspirasi rakyat.

Kembali kepada syariah Islam adalah jalan terbaik bagi kita . Syariah Islam, sistem aturan kehidupan yang berasal dari Allah SWT yang Maha Sempurna, Maha Pengasih dan Penyayang pastilah akan memberikan kebaikan kepada manusia. Ukuran kebenaran juga menjadi jelas yakni halal dan haram berdasarkan nash syari’i. Bukan pertimbangan hawa nafsu manusia yang seringkali sarat dengan keserakahan, dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, perbedaan waktu dan tempat. Pemerintah yang dibangun Islam meletakkan kedaulatan di tangan syariat (as siyadah li asy-syar’i). Pemimpin yang diangkat oleh publik di dalam Islam melaui proses baiat adalah bertugas menyelenggarakan pengaturan urusan publik (ri’ayah asyu’uni an-nas) sesuai dengan hukum Islam. Adanya aktiftas mengoreksi penguasa (muhasabah li al hukam) sebagai bagian dari aktifitas amar ma’ruf nahi mungkar tidak bisa disamakan dengan aktifitas kritik atau koreksi, apalagi aksi oposisi didalam demokrasi. Sebab, amar ma’uf nahi mungkar bertujuan untuk meluruskan penguasa agar kembali pada hukum-hukum Islam, sedangkan aktifitas kritik pada sistem demokrasi bertujuan mengembalikan kedaulatan agar kembali kepada rakyat. Bahkan, gerakan oposisi pada sistem demokrasi sering ditujukan untuk menjatuhkan pemerintah yang sah (dan hal ini tidak diperbolehkan di dalam Sistem Islam selama penguasa tersebut tidak melakukan kekufuran yang nyata, sebagaimana hadist Rasulullah saw. dari Ubadah bin Shamit: “Dan hendaklah kami tidak merampas kekuasaan dari yang berhak, kecuali [sabda rasul] apabila kalian melihat kekufuran yang nyata yang dapat dibuktikan di sisi Allah.” (HR. Bukhari muslim)).

Sementara itu, demokrasi dan musyawarah sama sekali tidak ada hubungan apa pun. Keduanya memiliki akar pemikiran dan praktek yang berbeda. Demokrasi adalah suatu pandangan hidup tersendiri yang memiliki sistem kehidupan tertentu, sementara musyawarah adalah metode pengambilan pendapat. Bila dalam sistem demokrasi keputusan mutlak seluruhnya pada suara mayoritas, maka dalam Islam tidak demikian. Keputusan yang membutuhkan ijtihad, strategi dan pemikiran mendalam diserahkan kepada para mujtahid dan para pakar yang bersangkutan, untuk dipilih pendapat yang terkuat dan paling mendekati kebenaran. Pada kasus Perang Badar, misalnya, Rasulullah saw. hanya mengambil pendapat Khubab ibn Mundzir ra. dan tidak meminta pendapat dari seluruh anggota legiun Perang Badar. Sementara itu, perkara yang bersifat teknis, seperti pemilihan kepala negara atau ketua organisasi, diserahkan kepada suara mayoritas. Sehingga analogi musyawarah sebagai substansi demokrasi adalah bathil pula adanya.

Jadi DPR/MPR bukan suara kebenaran !!!

By: Chandra Purna Irawan

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.