Polisi Diskriminatif, Lagi-lagi TVOne Yang Punya Hak Ekslusif
Banda Aceh – TVOne tampaknya mempunyai hubungan sangat dekat dengan pihak kepolisian, entah apa yang membuat mereka begitu istimewa, sehingga kepolisian menyediakan akses yang sedikit lebih "leluasa" kepada salah satu stasiun TV berita nasional tersebut dibanding dengan media-media cetak dan elektronik lainnya.
Setelah beberapa kali mendapatkan ijin melakukan peliputan eksklusif penggerebegan orang-orang yang diduga sebagai teroris di beberapa tempat beberepa waktu sebelumnya, kini TVOne juga mendapat akses eksklusif yang tidak diberikan kepada media lain dalam peliputan operasi pengejaran terhadap sekelompok orang bersenjata di pegunungan Aceh Besar.
Perlakuan yang agak diskriminatif ini takpelak menuai protes dari para awak media lain.
Seperti diberitakan sebuah situs berita online ACEHKITA.COM, dalam peliputan yang terjadi hari ini (kemarin-red), pasukan Kepolisian yang melakukan operasi pemburuan teroris di Pegunungan Aceh Besar, Kamis (4/3) diduga berlaku diskriminasi terhadap wartawan. AJI memprotes tindakan polisi ini.
Menurut situs berita tersebut, dari sekian banyak jurnalis berbagai media baik lokal, nasional, dan internasional yang meliput operasi tak satupun dari mereka yang dizinkan masuk, kecuali hanya kru TVOne yang diizinkan ikut bersama mereka. Dan tidak ada alasan jelas terhadap pembatasan liputan ini.
Jufrizal, seorang reporter TV lokal di Aceh kepada acehkita.com, menuturkan, penerapan akses pilih kasih oleh polisi ini kentara terlihat. Mulanya, semua wartawan hanya berkumpul di pos pertama aparat di Desa Batei Lhei, Lamkabeu, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar, sejak pagi. Tak jauh dari sana, tadi dilaporkan sempat terdengar letupan senjata.
Wartawan berkumpul di situ karena tidak mendapat akses liputan ke lokasi penyergapan. Namun, tiba-tiba, aparat kepolisian langsung mengajak kru sebuah televisi swasta nasional yang saat itu juga bersama romobongan wartawan lain untuk masuk ke mobil mereka. Seketika, mobil Kijang Innova milik polisi itu langsung tancap gas.
Wartawan yang ditinggalkan bingung dan memprotesnya. Tapi, polisi tak mengungkapkan alasan yang jelas, kenapa hanya satu media saja yang dizinkan masuk. Mereka pun diusir dari sana. “Kami akhirnya disuruh pergi dari sana, gak dikasih masuk,” tutur Jufrizal sambil menyatakan, sejumlah rekan-rekannya kecewa berat atas bentuk diskriminasi ini.
Kini, kata dia, sebagian jurnalis sudah balik ke Banda Aceh dan sebagiannya masih bertahan di sana.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh juga menyesalkan dan mengecam tindakan aparat Kepolisian yang pilih kasih dalam memberi akses liputan ini. “Ini diskriminasi terhadap wartawan,” kata Mukhtaruddin Yacob, ketua AJI.
“Kalau memang tidak dizinkan masuk ya semuanya nggak dikasih. Ini kenapa harus pilih kasih,” tanyanya.
Menurutnya, penutupan akses liputan hanya bisa dilakukan jika membahayakan rahasia negara. “Tapi ini kenapa ada yang dikasih ada yang nggak. Ini kan sama saja membuat publik bertanya-tanya ada apa di balik operasi itu,” kata Mukhtaruddin.
Ia menduga, pihak Kepolisian sudah melanggar pasal 18 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang mengatur tentang sanksi bagi pihak yang menghalangi kerja Pers. “Siapa yang melanggar pasal ini bisa dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun atau denda hingga Rp500 juta,” jelas Mukhtar.
AJI Banda Aceh, kata dia, akan memprotes secara resmi Kepolisian terhadap tindakan aparat terhadap wartawan di sana. [ACEHKITA/voa-islam.com]
Setelah beberapa kali mendapatkan ijin melakukan peliputan eksklusif penggerebegan orang-orang yang diduga sebagai teroris di beberapa tempat beberepa waktu sebelumnya, kini TVOne juga mendapat akses eksklusif yang tidak diberikan kepada media lain dalam peliputan operasi pengejaran terhadap sekelompok orang bersenjata di pegunungan Aceh Besar.
Perlakuan yang agak diskriminatif ini takpelak menuai protes dari para awak media lain.
Seperti diberitakan sebuah situs berita online ACEHKITA.COM, dalam peliputan yang terjadi hari ini (kemarin-red), pasukan Kepolisian yang melakukan operasi pemburuan teroris di Pegunungan Aceh Besar, Kamis (4/3) diduga berlaku diskriminasi terhadap wartawan. AJI memprotes tindakan polisi ini.
Menurut situs berita tersebut, dari sekian banyak jurnalis berbagai media baik lokal, nasional, dan internasional yang meliput operasi tak satupun dari mereka yang dizinkan masuk, kecuali hanya kru TVOne yang diizinkan ikut bersama mereka. Dan tidak ada alasan jelas terhadap pembatasan liputan ini.
Jufrizal, seorang reporter TV lokal di Aceh kepada acehkita.com, menuturkan, penerapan akses pilih kasih oleh polisi ini kentara terlihat. Mulanya, semua wartawan hanya berkumpul di pos pertama aparat di Desa Batei Lhei, Lamkabeu, Kecamatan Seulimum, Aceh Besar, sejak pagi. Tak jauh dari sana, tadi dilaporkan sempat terdengar letupan senjata.
Wartawan berkumpul di situ karena tidak mendapat akses liputan ke lokasi penyergapan. Namun, tiba-tiba, aparat kepolisian langsung mengajak kru sebuah televisi swasta nasional yang saat itu juga bersama romobongan wartawan lain untuk masuk ke mobil mereka. Seketika, mobil Kijang Innova milik polisi itu langsung tancap gas.
Wartawan yang ditinggalkan bingung dan memprotesnya. Tapi, polisi tak mengungkapkan alasan yang jelas, kenapa hanya satu media saja yang dizinkan masuk. Mereka pun diusir dari sana. “Kami akhirnya disuruh pergi dari sana, gak dikasih masuk,” tutur Jufrizal sambil menyatakan, sejumlah rekan-rekannya kecewa berat atas bentuk diskriminasi ini.
Kini, kata dia, sebagian jurnalis sudah balik ke Banda Aceh dan sebagiannya masih bertahan di sana.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh juga menyesalkan dan mengecam tindakan aparat Kepolisian yang pilih kasih dalam memberi akses liputan ini. “Ini diskriminasi terhadap wartawan,” kata Mukhtaruddin Yacob, ketua AJI.
“Kalau memang tidak dizinkan masuk ya semuanya nggak dikasih. Ini kenapa harus pilih kasih,” tanyanya.
Menurutnya, penutupan akses liputan hanya bisa dilakukan jika membahayakan rahasia negara. “Tapi ini kenapa ada yang dikasih ada yang nggak. Ini kan sama saja membuat publik bertanya-tanya ada apa di balik operasi itu,” kata Mukhtaruddin.
Ia menduga, pihak Kepolisian sudah melanggar pasal 18 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang mengatur tentang sanksi bagi pihak yang menghalangi kerja Pers. “Siapa yang melanggar pasal ini bisa dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun atau denda hingga Rp500 juta,” jelas Mukhtar.
AJI Banda Aceh, kata dia, akan memprotes secara resmi Kepolisian terhadap tindakan aparat terhadap wartawan di sana. [ACEHKITA/voa-islam.com]
Tidak ada komentar