Header Ads

Deni Daruri: Korupsi Marak Karena Adopsi UU Barat

Jakarta - Maraknya korupsi di negeri ini tidak lepas dari celah-celah Undang-Undang dari Barat yang diberlakukan di negeri ini. Semua aturan main negeri ini banyak mengadopsi Undang-Undang yang sebelumnya juga ada masalah. Sehingga sekedar menghukum mati pelaku korupsi tidak akan menyelesaikan masalah.

“Saya tidak percaya hukuman separah apapun, atau bahkan hukuman mati akan menyelesaikan masalah korupsi di negeri ini,” ujar Presiden Direktur Center for Banking Crisis (CBC) Ahmad Deni Daruri, Ahad (20/6) pagi di Jakarta.

Pimpinan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengkritisi masalah kebijakan moneter, fiskal, dan perbankan itu menyatakan tidak ada UU yang asli lahir berdasarkan dari ide bangsa yang mayoritas Muslim ini. Celakanya, justru UU yang diadopsi dari Barat itu ternyata yang membuat korupsi semakin marak. Misalnya berbagai UU tentang perbankan, moneter, ekonomi, dan pasar modal.

“Saya sudah temukan, kasus-kasus korupsi itu bersumber dari sejumlah UU tersebut, di pasal-pasal UU seperti itulah sumber kemunculan sarang-sarang korupsi!” ujarnya dalam acara talkshow Halqah Islam dan Peradaban (HIP) ke-21 yang diselenggarakan setiap bulan oleh Hizbut Tahrir Indonesia itu.

Contoh, UU Bank Sentral itu awalnya meniru The Fed. (Bank Sentralnya Amerika) waktu adanya Wijoyo, dkk. “Persis sama, hanya beberapa pasal dirubah untuk kepentingan rezim Orde Baru saat itu,” paparnya.

Kemudian terjadilah kasus BLBI yang merugikan uang negar lelih dari 600 trilyun pada 1998. Namun tidak ada satu pun pejabat negara yang dapat ditindak secara hukum dalam masalah ini.

UU pun dirubah dan meniru Bank Central Jerman. Tetapi tetap saja muncul masalah, yakni kasus Bank Century yang merugikan uang negara 6,7 trilyun. Lagi-lagi aparat terkait kasus tersebut lepas dari jerat hukum. Sekarang, rencananya UU Bank Indonesia itu akan dirubah lagi dengan diajukannya RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK ini merupakan tiruan dari Australia dan Inggris.

UU Pasar Modal juga begitu, itu diambil dari UU Pasar Modalnya Amerika. UU Moneteri juga sama, UU Pencucian Uang dari Amerika juga. Jadi instrumen UU sebagai pelaksana kesepakatan negara dengan rakyat itu dari adopsi semua.

Jadi dari segi moneter perbankan, awal mula korupsi adalah karena mengadopsi UU dari Barat tadi yang sudah menyebabkan kasus korupsi di sana, dan di Indonesia baru muncul belakangan.

Negeri Korup

Dalam talkshow yang dihadiri sekitar 250 peserta itu, Deni pun menyatakan kekecewaannya sehingga tidak lagi mempercayai institusi pembuat dan penegak hukum. Puncak ketidakpercayaan Deni terjadi setelah terjadi akrobat hukum yang dipertonton DPR, Kepolisian, Kejaksaan dan KPK itu.

“Kalau saya pribadi sudah tidak percaya lagi kepada DPR. Karena fakta Skandal Century itu sangat jelas kok. Jelas dokumennya, ada tanda tangan pejabatnya!” papar Deni yang kecewa lantaran ending dari Skandal Century adalah membentukan Sekretiat Gabungan yang akan mengambangkan skandal Century.

Padahal ketika menjadi staf ahli DPR terkait kasus Century. Selama dua bulan Deni telah berupaya semaksimal mungkin memberikan masukan dan pemahaman anggota Pansus Hak Angket DPR agar bisa memahami kasus Century secara menyeluruh dari A sampai Z.

Sehingga dalam sidang paripurna DPR disimpulkanlah bahwa dalam kasus Century ada indikasi tindak pidana korupsi. Namun itu bukannya dijadikan kekuatan politik yang akan mendukung kekuatan hukum untuk memproses siapa saja yang terlibat, malah dijadikan alat tawar menawar kepentingan sehingga dibentuklah Sekretariat Gabungan itu.

Kekecewaan Deni pun bertambah-tambah ketika melihat kekompakkan yang ditunjukan oleh tiga institusi penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan KPK. “Kemarin, saya sangat kecewa, ketiga lembaga yang dalam sejarah baru pertamakali kompak, menyatakan tidak ada tindak pidana korupsi!” sesalnya.

Polisi masih mencari uang yang di luar negeri, kejaksaan bilang tidak ada tindak korupsi bahkan bilang tidak ada kerugian negara. Padahal menurut UU tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang boleh menyatakan tentang ada tidaknya kerugian negara itu hanya BPK bukan kejaksaan.

Kalau memang tidak ada tindak pidana korupsi maka jangan bicara asset recovery (pengembalian aset). “Polri menyatakan ada uang 12 trilyun di Hongkong dan Swiss itu bisa ditarik, itu bohong!” ujarnya.

Memang, sebenarnya uang yang dibawa kabur Robert Tantular dan kawan-kawan.

itu ada, keberadaan uang itukan ditemukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). PPATK menyatakan uang itu ada di Swiss, Hongkong, dll.

Tetapi sekarang tuduhan terhadap Robert itu bukannya korupsi tetapi salah satu tindak pidana perbankan, yakni LC fiktif. Tuduhan pidana perbankan dan pencucian uang itu maksimal hanya15 tahun penjara, dan denda 15 milyar saja. Sehingga bila tuduhannya bukan tindak pidana korupsi aset negara itu tidak akan kembali.

“Jadi sampai kapan pun polisi terus mengatakan ada peluang, kita bisa cari, itu bohong semua karena selama tidak ada tuduhan tindak pidana korupsi ya tidak ada asset recovery!” ujarnya.

Jadi kalau mau uang kita balik, tetapkan dahulu Robert Tantular sebagai tertuduh pidana korupsi. Begitu juga dua temannya Robert yang saat ini hanya kena tuduhan money laundering harus dituduh terlebih dahulu sebagai pelanggar pidana korupsi.

“Kepada KPK sekarang saya sudah tidak percaya lagi, usut Century tidak berani, sampai sekarang terus saja menyatakan belum, padahal saya hanya dua bulan sudah menemukan indikasi pihak-pihak yang terlibat!” tandasnya dalam talkshow yang bertema Quo Vadis Penegakkan Hukum Indonesia, Fatamorgana Negeri Korup-Sekuler? itu. (mediaumat.com)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.