Header Ads

Polisi, Masih Adakah Harapan?

Sistem penegakan hukum yang rusak berimbas kepada organisasi penegak.

Di tengah coreng-moreng wajah korps baju coklat ini sebenarnya masyarakat masih berharap kepolisian RI berbenah diri. Toh tidak semua anggota Polri memiliki sikap dan perilaku yang buruk.

Mantan Kabareskrim Susno Duadji menyebut cukup banyak anggota Polri yang baik, kendati mereka tidak dominan. Hanya saja mereka tidak bisa berbuat banyak karena sistem di kepolisian yang mirip militer. Semua berdasarkan komando dan apa yang dikatakan atasan/komandan adalah absolut. Tak heran, bawahan tak berani 'memprotes' atasannya meski mereka didzalimi.

Inilah yang kemudian di awal era reformasi ada desakan untuk mereformasi kepolisian. Langkah yang diambil saat itu adalah memisahkan kepolisian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sayangnya, langkahnya hanya sampai di situ. Reformasi yang didambakan oleh masyarakat belum terwujud.

Munculnya makelar kasus hanyalah satu indikasi bahwa sistem penegakan hukum secara umum di Indonesia buruk. Kare-nanya, menurut Bambang Widodo Umar, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), sistem penegakan hukum harus diperbaiki. Tidak hanya pada institusi Polri tapi juga kejaksaan dan kehakiman. “Sistem itu kan satu sama lain harus saling ketergantungan dan saling mengawasi. Kalau sistemnya itu tidak dibenahi ya markus akan terus subur saja,” jelasnya kepada Media Umat.

Faktor lainnya adalah gaya hidup materialistis. Tak dimungkiri, pola hidup seperti ini meng-hinggapi sebagian besar penduduk bumi. Di benaknya yang terpikir hanya uang dan duit. Di sisi lain, lanjut Bambang, ada kesempatan karena birokrasi pemerintahan banyak lubang-lubangnya. Inilah yang berpe-luang masuknya cara-cara bekerja yang menyimpang dari aturan yang sudah ditentukan.

Sayangnya dalam proses rekrutmen personel faktor moral tidak jadi pertimbangan utama. Faktor ini juga tak menjadi pri-oritas dalam menyeleksi orang yang akan menduduki jabatan yang potensial. “Akibatnya ya seperti sekarang ini orang yang integritas moralnya diragukan tetap saja diberikan jabatan dan kekuasaan,” kata dosen Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia ini.

Fakta ini menunjukkan bahwa reformasi di tubuh Polri yang berlangsung hampir 12 tahun mandek. Buku Biru Reformasi Menuju Polri yang Profesional buku pedoman reformasi Polri, belum diterapkan. Kegagalan ini, menurut Bambang dalam sebuah artikelnya di sebuah koran nasional, tidak lain karena Polri masih sebagai bagian rezim kekuasaan yang menjauhkan diri dari kapasitas kontrol masyarakat.

Reformasi Polri, menurutnya, sebenarnya tidak sekadar menyangkut masalah teknis, tetapi juga menyangkut masalah strategis, yaitu (1) mendudukkan fungsionalisasi kepolisian dalam sistem ketatanegaraan, (2) membenahi dan mengembangkan profesionalisme kepolisian, dan (3) membangun lembaga independen yang kuat untuk mengawasi pelaksanaan tugas polisi sehari-hari di seluruh wilayah tugasnya.

Ia mengusulkan, sudah sa-atnya reformasi Polri ini melibat-kan pakar-pakar dari luar, misalnya dari perguruan tinggi. Percayakan kepada mereka untuk membenahi implementasinya. “Nah, mudah-mudahan bila konsepnya sudah baik, implementasinya juga sesuai konsep, saya rasa semboyan Polri untuk menjadi pengayom dan pelayan rak-yat dapat benar-benar terjadi,” kata mantan polisi yang pangkat terakhirnya kolonel ini.

Optimistis

Berbagai kalangan merasa gembira dengan terbongkarnya kasus mafia hukum di tubuh penegak hukum. Mereka berha-rap ini adalah momentum bagi jajaran penegak hukum, terma-suk kepolisian, untuk mere-formasi diri.

Wakil Komisi III DPR yang membidangi masalah kepolisian Tjatur Sapto Edi mengemukakan rasa optimisnya melihat perkem-bangan yang terjadi. Menurut-nya, bila hukum dibenahi secara radikal maka masalah markus dan sejenisnya akan sangat kecil peluangnya untuk terjadi.

Namun ia mengingatkan, masalah Polri bukan berdiri sendiri, tetapi pasti berhubungan dengan kejaksaan dan lembaga-lembaga lainnya. “Jadi harus dibangun komitmen bersama di berbagai lembaga tadi untuk membenahi hukum secara radi-kal, di antaranya dengan mene-gakkan hukum secara tegas dan bersih. Tidak ada toleransi lagi bagi pelaku penyelewengan,” katanya kepada Media Umat.

Sebaliknya, lanjut Tjatur, perlu ada reward (penghargaan) yang memadai bagi penegak hukum yang berprestasi. Gaji polisi pun perlu dinaikkan de-ngan mengatur kembali numeri-sasinya karena dengan gaji 2-3 juta rupiah bagi penegak hukum saat ini dianggapnya masih terlalu kecil dibandingkan de-ngan kebutuhan hidup sehari-hari yang mengalami pening-katan dan godaan yang begitu besar.

“Namun ketika anggota Polri dan aparat penegak hukum lainnya terlibat penyelewengan hukum sehingga merugikan uang negara milyaran hingga trilyunan rupiah, maksimal hu-kuman mati layak diberikan kepadanya,” tandasnya.

Walhasil, kepolisian akan baik bila didukung oleh sistem yang baik, yang memiliki pandangan hidup yang baik, sistem hukum yang adil, dan itu berasal dari Allah yang Mahabaik dan Mahaadil. Itulah sistem Islam. Mengapa tidak dicoba?.[]

Sumber

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.