Header Ads

Imperialisme Piala Dunia


Sport is a mirror of a mocrocosm of modern capitalist society, an integral part of a system of class domination and exploitation (John Hergreaves)

Berakhir sudah Piala Dunia. Sang pemenang bersama suporternyapun bergembira. Sementara yang kalah bersedih maratapi kegagalan tim idolanya. Sihir piala dunia memang luar biasa. Ratusan ribu orang dari berbagai negara memadati stadion-stadion bola di Afrika Selatan dengan berbagai tingkahnya. Sementara itu jutaan penonton di seluruh dunia menyaksikan detik demi detik setiap pertandingan. Pernak pernik dengan logo piala dunia nyaris ditemukan di mana-mana:makanan, minuman, pakaian, dan produk-produk lainnya. TV –TV di seluruh dunia setiap jam menayangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan bola.

Piala Dunia sukses mengubah pola hidup penikmatnya, menahan kantuk hingga tengah malam, malas-malasan bekerja. Jam kantorpun berubah karena bola. Tidak jarang, sihir bola pun memengaruhi kekhusukan ibadah kita kepada Allah SWT. Telat bangun subuh atau tidak shalat subuh sama sekali. Belum lagi bicara kekhusukan ibadah yang terganggu karena kantuk yang sangat berat. Piala dunia menjadi magnet kemaksiatan seperti judi dan prostitusi.

Piala dunia pun berhasil mengalihkan umat Islam dari persoalan-persoalan utama mereka. Berita serangan Zionis Yahudi terhadap Kapal Mavi Marmara yang membunuh belasan relawan, lenyap ditelan hiruk pikuk Piala Dunia. Pada saat yang sama, Zionis Israel terus memblokade Gaza yang semakin membuat rakyat Palestina terus menderita. Masih saat yang sama, darah umat Islam pun terus mengalir di Irak, Afghanistan dan Pakistan, karena kekejaman tentara imperialis Amerika Serikat dan sekutunya. Suara nyaring terompet Vuvuzela dengan teriakan keras penonton saat gol terjadi, membuat tangis para bayi dan ibu-ibu yang terluka dan ketakutan di tengah dentuman bom-bom buas yang dahsyat pasukan NATO nyaris tidak terdengar. Piala Dunia sukses membuat kita lupa.

Karena sihir bola kita lupa bulan Rajab yang lalu dengan peristiwa Isra’ Mi’rajnya telah berlalu. Kita lupa pada bulan Rajab 89 tahun yang lalu, umat Islam kehilangan pemimpin, pemersatu, pengurus, dan pelindung ummat yaitu Khilafah. Institusi politik penting yang mutlak ada untuk menerapkan syariat Islam sebagai konsekuensi aqidah kita. Perkara penting yang oleh para ulama disebut sebagai a’dzomul wajibat (kewajiban yang paling utama)

Sebaliknya, siapa yang paling diuntungkan dengan Piala Dunia? Jelas bukan umat Islam, bukan bukan rakyat kecil Afrika. Umat Islam lebih banyak menjadi konsumen.Yang paling diuntungkan adalah segelintir pemilik modal. Eddie Cottle dari kelompok lobi Labor Research Service dan salah satu dari pengritik ajang Piala Dunia di Afrika Selatan dengan tegas mengatakan FIFA dan mitra-mitra bisnisnyalah yang paling diuntungkan. Dari pertandingan final 11 Juli 2010 kemarin saja FIFA mendapat keuntungan bersih kurang lebih 3,3 milyar euro (lebih kurang 38,2 trilyun rupiah). Belum lagi keuntungan dari pertandingan sebelumnya plus berbagai kerja sama dengan perusahan-perusahan besar dunia.

Sementara rakyat kecil Afrika Selatan malah terpinggirkan. Nkosinathi Jigega, anggota NGO Street Vendors yang mengurusi para pedagang kaki lima di Port Elizabeth, harus turut menyaksikan bagaimana FIFA tanpa kompromi mengusir para pedagang kecil dari lapangan parkir stadion untuk memberikan tempat bagi sponsor seperti McDonalds dan Coca Cola.

Pasca World Cup 2010 Afrika Selatan kembali dengan segala persoalannya: tingkat pengangguran yang mencapai 25,1 persen, 50 persen penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan, seperempat jumlah penduduknya hidup dari santunan dari negara dan wabah HIV yang menjangkiti 4,79 juta penduduknya.

Lepas dari itu semua, sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan 1431 H. Bulan yang penuh dengan kemulian dan keberkahan. Pada bulan ini amal ibadah kita dilipat gandakan 700 kali lipat. Pada bulan ini juga Allah SWT menjanjikan ampunan dari dosa-dosa kita sebelumnya, kalau kita mendasarkan pada iman dan kesungguh-sungguhan.

Tentu kita lebih pantas berbahagia menyambut bulan Ramadhan ini dibanding Piala Dunia. Saat Piala Dunia kita bisa menahan kantuk untuk menonton bola, tentu saja lebih-lebih lagi untuk beribadah di bulan Ramadhan. Sudah seharusnya kita menghiasi malam-malam kita dengan beribadah: shalat tarawih berjamaah, membaca Alquran, menuntut ilmu. Tentu aneh kalau untuk bola kita bisa mengeluarkan dana yang besar tapi di bulan ramadhan kita malah malas bershodaqah. Sudah seharusnya kita bersungguh-sungguh untuk melakukan itu, untuk meraih kebahagian yang hakiki : ridha Allah, ampunan dan surga-Nya. Selamat tinggal World Cup, Marhaban ya Ramadhan. (Farid Wadjdi)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.