Header Ads

"Hari Kemarahan" Anti Gaddafi di Libya Tewaskan 19 Demonstran

Korban tewas dalam bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan di kota-kota Libya Benghazi dan al-Baida pada Kamis kemarin (17/2) meningkat menjadi 19 orang pada saat rezim Muammar Gaddafi berusaha untuk menaungi "Hari Kemarahan" pihak oposisi dengan berdemo di ibukota Tripoli.

Sementara itu, bentrokan kekerasan mengguncang kota barat daya Zenten Libya Tripoli pada hari Kamis kemarin di mana sebuah pos polisi dan kantor komite revolusioner lokal dibakar, surat kabar Quryna mengatakan di situsnya.

Secara terpisah, para pengacara beremo di depan sebuah gedung pengadilan di Benghazi - kota kedua Libya setelah Tripoli - untuk menuntut konstitusi baru bagi negara.

Situs Al-Youm dan Al-Manara, yang melakukan pemantauan di Nicosia, sebelumnya melaporkan sedikitnya empat orang tewas di kota Al-Baida, 200 kilometer (120 mil) timur Benghazi, pada hari Rabu lalu.

"Pasukan keamanan internal dan milisi dari Komite Revolusi Libya menggunakan peluru tajam untuk membubarkan demonstrasi damai yang dilakukan oleh para pemuda Al-Baida," menyebabkan setidaknya empat orang tewas dan beberapa lainnya luka-luka," menurut Libya Watch.

Human Rights Watch mengatakan pemerintah Libya telah menahan 14 aktivis dan penulis yang telah mempersiapkan aksi protes anti-pemerintah, sementara saluran telepon ke bagian negara itu putus.

Satu posting mengatakan bahwa pengunjuk rasa di Ar Rajban, dekat perbatasan dengan Aljazair, membakar sebuah kantor pusat pemerintah daerah. Di Zenten, barat daya Tripoli, pengunjuk rasa berteriak "Kami akan menang atau mati."

Di ibukota, lalu lintas bergerak seperti biasa, bank dan toko-toko terbuka dan tidak ada kehadiran aparat keamanan yang mencolok.

Penduduk Tripoli Rehibi Ahmed mengatakan protes anti-pemerintah itu merupakan aksi yang tidak perlu. "Kita harus berkonsentrasi pada kerja, bersekolah, karena sekarang kami mencoba untuk membangun infrastruktur," katanya menegaskan.

Para analis mengatakan sebuah pemberontakan bergaya Mesir adalah tidak mungkin terjadi di Libya karena pemerintah dapat menggunakan pendapatan minyak mereka untuk kelancaran pembangunan dan membantu banyak masalah sosial.

Libya telah dikontrol ketat selama lebih dari 40 tahun oleh Gaddafi, sekarang pemimpin Afrika yang paling lama berkuasa, dan beruntungnya Libya memiliki kekayaan minyak yang luar biasa. Tapi Libya tetap merasakan riak-riak dari pemberontakan di negara-negara tetangga mereka Mesir dan Tunisia.(fq/aby/eramuslim)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.