Header Ads

Menuju Negara Global Terkemuka

Ungkapan "Sick Man of Europe (orang sakit di Eropa)" umumnya dikaitkan dengan ucapan Tsar Nicholas I dari Rusia tahun 1853, ketika mengomentari Kekhilafahan Utsmani (Ottoman), yang semakin jatuh di bawah kontrol keuangan dari kekuatan kapitalis Eropa dan telah kehilangan hanyak wilayah dalam serangkaian perang. Surat dari Sir George Hamilton Seymour, duta besar Inggris untuk St Petersburg, kepada Lord John Russell  Perdana Menteri Inggris saat itu, berisi kutipan Nicholas I dari Rusia yang mengatakan bahwa Kekhilafahan Utsmani adalah "a sick man, a  very sick Man...”

Padahal di abad sebelumnya Khilafah Utsmani masih disegani oleh bangsa Eropa. Pendulum pengaruh dan kekuasaan mulai bergerak ke Eropa setelah bangsa Inggris berhasil melakukan Revolusi Industri dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt pada tahun 1796. Sampai dengan Perang Dunia II, Inggris menjadi negara nomor satu dunia. Terkenal dengan sebutan The Great Britain atau Britania Raya, sebuah negara kepulauan kecil namun memiliki wilayah koloni terbesar di dunia saat itu.

Pada Perang Dunia II, pendulum pengaruh dan kekuasaan justru meninggalkan Eropa yang hancur akibat perang dan bergerak ke benua Amerika. Amerika Serikat menjadi negara nomor satu mengalahkan Inggris dan negara Eropa lainnya.

Namun belum satu abad Amerika menjadi negara nomor satu, tanda-tanda berakhirnya era imperium Amerika sudah semakin jelas. Siapapun yang memiliki wawasan tentang percaturan politik internasional dapat melihat realitas tersebut dengan terang. Amerika sudah semakin lemah, kelelahan, dan sakit-­sakitan. Jangkauan politik Amerika di dunia semakin terbatas dan seringkali mengalami kegagalan, bahkan ambisi global Amerika pun berani dilawan oleh negara kecil seperti Korea Utara. Amerika sekarang sudah menjadi "New Sick Man of The West”.

Bandingkan antara kedudukan Amerika Serikat saat Perang Dunia II dan kedudukannya di perang Afghanistan dan Irak. Dalam kedua perang terakhir ini tampak sekali betapa tidak efekifnya kekuatan militer dan politik Amerika Serikat yang dikatakan sebagai super power (adidaya) itu. Setiap hari mereka kehilangan dukungan dari sekutu­-sekutunya di NATO, bahkan sejatinya mereka telah gagal memenangkan peperangan di Afghanistan; perang melawan gerakan (Jamaah) perlawanan yang hanya menggunakan persenjataan tahun 1970-an dan orang-orangnva tidak pernah mengikuti pendidikan militer formal.

Peperangan yang berlangsung lebih lama dari Perang Dunia I, Perang Dunia II, maupun perang Vietnam. Jika saja Amerika tidak mendapat dukungan dan bantuan dari penguasa Pakistan, Saudi dan Iran, tentu mereka sudah sejak lama mengalami kekalahan. Para komandan tinggi Amerika niscaya akan mengajukan kompromi kepada Taliban. Sebelumnya Amerika juga mengalami kekalahan memalukan di Somalia, demikian pula Amerika gagal melindungi sekutu­-sekutunva di Georgia dalam perang Ossetia Selatan.

Di sisi lain perekonomian Amerika mengalami kebangkrutan. Perang Irak dan Afghanistan telah menguras keuangan negara Paman Sam ini, ditambah lagi krisis keuangan tahun 2008 telah menghancurkan industri jasa keuangan Amerika. Pada bulan September 2010 lalu, telah kolaps bank Amerika yang ke-300. Dari tahun 2007-2010, perekonomian Amerika telah mengalarni defisit hingga lebih dari 16 trilyun dollar AS. Amerika juga menjadi salah satu negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di dunia, yaitu 17 persen, sebuah angka pengangguran tertinggi selama 45 tahun temkhir. Saat ini utang negara adidaya Amerika Serikat mencapai batas atas yaitu $ 14.300.000.000.000 ($14.3 trilliun), sehingga utang per kapita penduduk AS termasuk tertinggi di dunia. Setiap warga AS mempunyai utang 13 kali lebih besar dari pendapatan mereka.

Dari aspek moral Amerika adalah bangsa yang bangkrut. Angka penderita AIDS di Amerika merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Pada saat yang sama, AS adalah negara dengan
pendapatan tertinggi dari apa yang disebut "pornografi remaja".

Amerika pun telah mengobarkan perang yang tak berujung yakni perang melawan Islam di balik kedok "War on Terrorism". Dalam perang ini Amerika tidak berperang melawan kekuatan militer formal, melainkan melawan milisi-milisi bersenjata seperti Taliban dan kelompok perlawanan di Irak. Meski demikian, kita harus ingat bahwa Amerika adalah satu­satunya negara global yang belum pernah memenangkan perang melawan kelompok bersenjata, termasuk melawan gerilyawan komunis Vietnam.

Catatan yang paling penting dari perang yang dikobarkan Amerika ini adalah perang yang bersifat ideologis. Perang melawan sebuah ideologi yang berlandaskan pada sebuah kesaksian Laa Ilaaha illa Allah, Muhammadur Rasulullah. Seperti yang diungkapkan oleh George W Bush yang menjuluki perang ini dengan istilah Crusade atau perang Salib.

Kesadaran kaum Muslimin bahwa umat ini sedang dalam bahaya, mendorong kaum Muslimin untuk mencari perlindungan dari Amirul Mukminin di bawah naungan Negara Khilafah Islamiyah. Sebuah survey yang dilakukan oleh University of Maryland, 2009, tentang opini publik global diperoleh hasil 81 persen kaum Muslimin merindukan tegaknya kembali Negara Khilafah Islamiyah.

Melihat kenyataan seperti diuraikan di atas, maka pertanyaan yang muncul adalah apakah arah pendulum pengaruh dan kekuasaan akan kembali bergerak kepada kaum Muslimin? Mungkinkah segera terwujud sebuah negara utama nomor wahid atau negara global terkemuka baru atas dasar ideologi Islam? Untuk mendapatkan sebuah penilaian objektif mengenai realitas global yang akan segera terwujud ini, maka dapat dianalisis berbagai faktor-faktor utama yang dibutuhkan guna mewujudkan sebuah negara nomor satu di dunia tersebut. Bila faktor-faktor krusial tadi secara faktual terdapat di negeri-negeri Islam, maka dunia akan menjadi saksi atas tegaknya kembali Negara Khilafah Islamiyah.

Potensi Ideologi dan Politik Internasional

Situasi internasional terbentuk dari interaksi antara negara-negara berpe­ngaruh di dunia. Dinamikanya mengikuti langkah politik yang diambil di antara negara.negara yang efektif di panggung internasional. Meski ada banyak negara yang aktif dalam kancah internasional, akan tetapi hanya sedikit di antara mereka yang termasuk negara efektif. Oleh karena itu situasi internasional selalu berubah seiring dengan naik dan turunnya kekuatan dan pengaruh di antara negara-negara efektif tadi.

Satu negara bisa menjadi lemah dan perannya digantikan oleh negara lain yang menguat. Perang adalah satu cara untuk mengubah situasi politik internasional dengan cepat. Suatu negara bisa menjadi lemah karena perang, sehingga mengubah pengaruh dan interaksi antar negara-­negara. Dalam masa damai pun memungkinkan perubahan yang gradual, satu negara melemah sementara yang lainnya menguat. Namun demikian peperangan merupakan cara yang lebih efektif untuk merekayasa perubahan situasi internasional.

Untuk menjadi sebuah negara aktif atau negara berpengaruh, atau negara besar bahkan negara pemimpin terke­muka tidak selalu ditentukan oleh faktor kekuatan militer semata. Barat memiliki pandangan yang tidak meyakinkan tentang kriteria negara besar dan negara berpengaruh, mereka mendasarkan pada kekuatan militer, politik dan ekonomi.

Kenneth Waltz (1983) pelopor teori neo-realis dalam ilmu hubungan inter­nasional menggunakan lima kriteria untuk menentukan apakah sebuah negara termasuk negara besar (great power) yaitu: besarnya populasi dan wilayah, dukungan sumber daya, kemampuan ekonomi, stabilitas dan kompetensi politik, serta kekuatan militer. Selain itu, Barat lebih memilih menggunakan istilah superpower untuk menyebut negara yang memiliki posisi dominan dalam percaturan internasional, di mana Lyman Miller, seorang peneliti dari Hoover Institution dan staf pengajar di National Security Affairs di US Naval Postgraduate School, Monterey, California mengatakan bahwa “komponen dasar suatu negara super power adalah kekuatan militer, ekonomi, politik dan kebudayaan". Bahkan Profesor Paul Dukes mengatakan hahwa negara super power harus “mampu menjalankan sebuah strategi global, termasuk kemungkinan strategi untuk menghancurkan dunia”. Menilik pandangan Barat tersebut tampak sekali semangat imperialisme dan kolo­nialisme melekat kuat pada maknanya.

Pengertian yang tepat adalah kekuatan satu negara tidak hanya bersandar pada keperkasaan militer, tetapi juga ditemukan oleh kekuatan materi, pemikiran. moral serta kekuatan yang bisa dimobilisasi dari luar batas-batas geografisnya. Dengan demikian kekuatan suatu negara mencakup juga ideologi atau nilai-nilai universal yang diembannya ke seluruh penjuru dunia disamping kekuatan ekonomi dan militer. Selain itu pula kelihaian dalam menjalankan aksi-aksi politik dan diplomasi. Kekuatan ideologi, militer, dan ekonomi mem­punyai potensi digunakan untuk meraih dan mempertahankan berbagai kepen­tingan negara, maupun untuk memantap­kan status negara dipercaturan politik internasional.

Dalam konteks pembicaraan mem­bangun sebuah negara global terkemuka, maka tabiat dari negara global berbeda dengan negara regional. Negara global harus mengelola berbagai isu dan kepentingan dari seluruh penjuru dunia serta menaruh perhatian dan menjalin hubungan di berbagai sudut dunia. Sebagai konsekuensinya, seluruh permu­kaan bumi menjadi panggung aktivitas politiknya. Dari sini kita melihat faktor utama yang paling menentukan untuk menjadi negara global terkemuka adalah ideologinya sehingga pesan-pesan univer­sal yang ingin disampaikan didengar dan diikuti oleh bannyak negara lain di dunia. Ideologi inilah yang akan memandu kebijakan-kebijakan negara dalam urusan militer, politik dan ekonomi.

Sebagai contoh kekuatan ideologi telah menjadikan kerajaan Inggris, sebuah negara kepulauan kecil yang luas daratannya hanya 1,4 persen dari luar permukaan bumi dengan populasi pen­duduknya yang sedikit, ternyata negara kecil ini mampu menguasai lokasi-lokasi strategis di berbagai benua. Hampir-­hampir tidak ada yang mengancam kekuasaannya hingga pertengahan abad 20. Contoh lainnya dengan ideologi yang berbeda adalah negara Madinah, sebuah negara kota awalnya tapi mampu memiliki kekuasaan yang sangat besar hampir separuh permukaan bumi tunduk di bawah naungan sistem dan ideologi Islam.

Potensi ideologi inilah yang akan membuat sebuah negara mampu menjadi kekuatan global baru di kancah pertarungan politik internasional. Oleh kerena itu penting mempelajari politik Internasional kontemporer sehingga dapat memahami alasan para pemimpin Barat mengkhawatirkan tegaknva kembali Khilafah Islamiyah.

Amerika Serikat

Sejak PD II bemkhir, kejayaan kerajaan Inggris turut berakhir. Sudah dapat dipastikan pula pasca PD II kekuatan AS mengungguli kekuatan negara-negara lain. Amerika memegang kendali atas situasi internasional bersandar pada kekuatan militer dan ekonomi, sedangkan ideologi yang diernbannya sebenarnya tidak berbeda dengan Inggris atau negara Eropa lainnya namun keunggulan militer dan ekonomi inilah yang membuat Amerika berada di depan negara-negara lain.

Namun demikian, setelah 50 tahun berlalu, kini AS tidak ada lagi menikmati keunggulan sebaigaimana yang selalu mereka rasakan sebelum invasi ke Irak. Invasi AS ke Irak dan Afghanistan telah mempengaruhi kekuatan AS dan menguras kekayaan mereka. Ditambah lagi krisis ekonomi global yang dipicu dari krisis kredit perumahan di AS semakin memperburuk kedudukan AS di dunia, sampai-sampai AS menggunakan cara sosialis-yakni intervensi negara di sektor ekonomi-agar tidak jatuh lebih dalam lagi. Langkah itu pun tetap tidak mampu menghentikan keruntuhan ekonominya.

Akibat kemerosotan yang dialami AS, berbagai tantangan muncul dari para negara pesaingnya — dari kalangan kapitalis —  telah meningkat, baik dari sisi ukuran maupun ruang lingkupnya. Akan tetapi, negara-negara pesaing itu tidak akan mengancam supremasi AS, karena mereka tidak membangun sendiri visi ideologinya.

Jerman dan Jepang

Meski keduanya memiliki perekonomian kuat, namun tidak akan menguasai dunia karena mereka telah menghentikan ambisi globalnva setelah Perang Dunia II.

India

Negara India lebih banyak memainkan perannya sebagai pelayan Amerika, sambil mengambil manfaat guna meraih tujuan-tujuan regionalnya.

Rusia

Meski melancarkan strategi anti AS, namun Rusia hanya berusaha menjadi kekuatan regional dan penjaga "halaman belakangnya".

Cina

Kekuatan regional Cina sudah ada sejak 5000 tahun lalu, juga memiliki perekonomian yang luar biasa dan kekuatan militer yang perkasa. Namun negara ini tidak akan mampu memimpin dunia karena tidak mempunyai ambisi global, ketidakmampuan Cina mengatasi "Proyek AS" dalam masalah Taiwan dan pemberian otonomi khusus Hongkong menambah panjang daftar ketidakmampuan Cina menjadi kekuatan global.

Inggris dan Perancis

Dua negara Eropa terdepan dalam memainkan politik luar negerinva di kancah pertarungan politik Internasional. Inggris yang pernah menjadi negara nomor satu dunia, masih memiliki keinginan untuk kembali menjadi negara global terkemuka, namun kekuatan Inggris sudah sangat lemah dibandingkan di masa lalu setelah Amerika berhasil mengalahkannya di kawasan Timur Tengah dan memotong sumber-sumber kekayaan Inggris dari daerah koloni­koloninya. Inggris menjadi lemah dan tidak bisa menghadapi AS secara terbuka. Namun Inggris masih terus memainkan peranan politiknya agar bisa memelihara jajahannya, sekalipun parsial dengan mengikuti rencana-rencana AS, seperti yang dilakukan dalam perang teluk di Irak dan di Libya sekarang.

Adapun Perancis mencoba meng­ambil peran internasionalnya di daerah yang pernah menjadi jajahannya seperti Lebanon, Tunisia, Aljazair dan sebagian wilayah Afrika Utara. Namun untuk menantang Amerika secara langsung Perancis tidak memiliki kekuatan yang cukup.

Selain itu kedua negara ini belum akan menjadi kekuatan global baru menggantikan Amerika Serikat karena ideologi yang diemban keduanya sama dengan yang diemban oleh Amerika. Harus dipahami bahwa sebuah kekuatan global yang baru bisa muncul jika negara tersebut menganut ideologi alternatif, ideologi yang berbeda dengan ideologi negara global yang sedang mendominasi.

Khilafah Islamiyah

Ancaman paling potensial yang akan meruntuhkan Amerika dan peradaban Barat yang rusak justru datang dari negara Khilafah Islamiyah. Para pemimpin Barat sudah mampu mengindera kekuatan dahsyat ideleologi Islam yang akan diemban oleh khilafah bila sudah tegak kembali. Oleh karena itu mereka berusaha mencegah kemunculan negara ideologi ini di tengah-tengah mereka.

Berbagai jurnal akademik, hasil penelitian, pernyataan politik, garis kebijakan pemerintahan Barat, opini publik global, laporan lembaga think tank, maupun laporan intelijen selama 10 tahun terakhir ini telah berulang kali menyimpulkan bahwa tengah terjadi proses perubahan yang berjalan perlahan, sangat mendasar dan dengan daya jangkau luas. Perubahan yang dimaksud tidak lain ada­lah kebangkitan pemikiran dan politik di dunia Islam.

Banyak peneliti di antaranya Alec Rasizade (2003). M.R. Woodward (2004), Thomas R. Mc Cabe (2007), J. O'Loughlin (2009), Mustafa Aydin, Eynar Ozen (2010), Rachel Rinaldo (2010), dan Sanjida O'Connel (2010) menyimpulkan dalam penelitian mereka bahwa "Kebang­kitan Islam dan Khilafah merupakan sebuah keniscayaan."

Sekalipun bersifat non fisik, per­juangan penerapan syariah Islam di bawah naungan khilafah menjadi tan­tangan ideologi terbesar yang dihadapi oleh AS dan Barat.

Mantan wakil presiden AS, Dick Cheney (23/2/2007), menyatakan dengan gamblang: "Mereka mempunyai tujuan utama untuk mendirikan sebuah kekhilafahan, yang wilayahnya meliputi Spanyol, melintasi Afrika Utara, Timur Tengah dan Asia Selatan, hingga ke Indonesia dan (khilafah) itu tidak akan berhenti di sana". Selain itu, mantan Menteri Luar Negeri Inggris Charles Clarke, dalam pidatonya di hadapan lembaga Think tank AS, The Heritage Foundation, mengatakan: "tidak boleh ada negosiasi tentang rencana penegakan kembali khilafah; tidak boleh ada negosiasi tentang penerapan hukum- hukum Syariat".

Dalam pidatonya pada konvensi Tentara Amerika ke-89 (28/8/2007), Presiden Bush berbicara mengenai "ekstremis" yang harus dilawan Amerika. Dia berbicara dalam konteks sensasional bahwa "ekstremis” adalah "keinginan untuk menjejalkan visi gelap yang sama sepanjang Timur Tengah dengan mene­gakkan kekhilafahan radikal dan penuh kekerasan yang wilayahnya membentang dari Spanyol ke Indonesia.” These extremists hope to impose that same dark vision across the Middle East by raising up a violent and radical caliphate that spans from Spain to Indonesia,” tegasnya. Ancaman potensial yang berasal dari negara khilafah berulang kali disampaikan oleh pemerintahan Bush, dan itulah salah satu alasan di balik invasi AS ke Irak dan Afghanistan.

Akhirnya, berdasar realita yang terjadi di panggung politik Internasional, berbagai pernyataan yang keluar dari mulut tokoh-tokoh Barat dan tumbuhnya kesadaran politik dan ideologi kaum Muslimin di dunia Islam, maka bukan suatu yang tidak mungkin Negara Khilafah Islamiyah akan menjelma menjadi negara global yang terkemuka dan istimewa di abad 21.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.