Tak punya IMB, sejumlah masjid terancam digusur
Karena tidak memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dan sertifikat tanah, sekitar 750 ribu masjid juga lebih dari satu juta mushala terancam untuk mengalami penggusuran, Republika melansir pada Sabtu (7/5/2011).
Angka tersebut diperoleh dari hitung-hitungan Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Sementara itu, DMI mengaku belum memiliki data mengenai jumlah masjid yang telah digusur. “Kita sampai saat ini tidak ada data mengenai itu, karena kerap disembunyikan oleh pemerintah daerah,” ujar Natsir Zubaedi, Sekretaris Jenderal DMI, Sabtu (7/5). Namun begitu, ia menyebutkan dalam sepuluh tahun terakhir di Daerah Khusus Ibukota (DKI) ada lebih dari dua puluh masjid yang pernah digusur.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Amidhan menyatakan pemerintah harus turun tangan untuk mengatasi masalah penggusuran masjid yang semakin sering terjadi. Kasus terakhir yang mencuat ke publik adalah penggusuran Masjid al Ikhlas di Medan, Sumatera Utara. Menurutnya, kasus seperti ini memiliki kekuatan sosial kultural yang tinggi sehingga jika tidak cepat diatasi dikhawatirkan akan terjadi perdebatan serius di kalangan umat islam.
Kekuatan cultural inilah yang seharusnya penting untuk diperhatikan oleh pemerintah. “Pemerintah harus bijaksana menyikapi hal ini. Kasus seperti ini sangat sensitif dan rentan menyebabkan konflik,” ujarnya saat dihubungi Republika. Amidhan mengatakan, memang dari segi Islam penggusuran tersebut tidak masalah dilakukan. Bahkan meski status tanah yang digunakan untuk membangun masjid adalah tanah wakaf.
“Masjid pada dasarnya hanya tempat sujud, atau sejengkal tanah yang dijadikan tempat sujud,” ujarnya Namun begitu, penggusuran tersebut harus dilihat dulu dari segi kepentingannya. Ia berpendapat, penggusuran boleh dilakukan untuk membangun fasilitas publik atau kepentingan umum yang sifatnya jauh lebih penting atau mendesak.
Selain itu, untuk menghindari konflik, sebaiknya sebelum dilakukan penggusuran terlebih dahulu harus direncanakan pembangunan atau bahkan membangun terlebih dahulu ganti dari masjid yang hendak dirobohkan. “Jika memang ingin menggusur, harus dibangun dulu gantinya. Jangan asal main gusur saja,” tegasnya. Terlebih jika itu tanah wakaf. Ia menekankan jika pengganti dari bangunan yang digusur tersebut harus representatif atau paling tidak memiliki nilai yang sama.
Dalam kasus perobohan Masjid Al Ikhlas di Medan, menurutnya pemerintah harus segera mencari solusi yang terbaik agar hal ini tidak berlarut-larut. Terlebih lagi, pengganti dari masjid yang dirobohkan hanyalah sebuah mushola yang hanya mampu menampung 100 jamaah. Hal itu tentu saja tak sebanding dengan Masjid Al Ikhlas yang mampu menampung 800 jemaah didalamnya. “Kalau perlu mengeluarkan uang Negara tidak apa-apa, asal tidak menyebabkan konflik di masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Achmad, ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) provinsi Jawa Tengah, berpendapat penggusuran masjid tersebut tetap tidak diperbolehkan dalam hukum Islam. “Bagaimanapun, masjid adalah tempat sujud. Bukan hanya nilai fisiknya saja yang perlu diperhitungkan, tetapi juga antisipasi reaksi masyarakat,” tegasnya.
Ia juga mencontohkan adanya masjid di daerah Universitas Dipenogero yang pernah juga mau digusur untuk dibangun sebuah pusat perbelanjaan. Menurutnya, hal itu tetap tidak boleh dilakukan meskipun diganti dengan tempat yang lebih baik. “Biasanya untuk menyembah Tuhan, kini diganti untuk tempat-tempat yang kurang baik penggunaannya,” katanya.
Untuk mencegah hal seperti itu terjadi lagi, ia berencana melakukan program penertiban pada seluruh masjid yang ada di Jawa Tengah. Penertiban itu dilakukan dengan cara membuat pengadaan sertifikat masjid dan mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Selama ini menurutnya banyak masjid yang belum memiliki IMB. Hal tersebut membuat masjid mudah digusur oleh pihak-pihak tertentu.
Sementara itu, Achmad mengaku khawatir, permasalahan ini tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi juga ditempat lain. Dengan adanya kedua program itu, setidaknya ada pencegahan dan antisipasi yang dilakukan oleh pihak terkait seperti dewan masjid.
Natsir juga menilai seharusnya pemerintah lebih menggalakkan adanya pembangunan tempat-tempat ibadah di tempat-tempat publik seperti di rest area. Menurutnya, sekarang sudah banyak rest area yang sudah menerapkan standar pelayanan maksimal (SPM) dengan membangun tempat ibadah sebagai salah satu fasilitas bagi masyarakat. Hal itu menurutnya dapat dijadikan solusi untuk mengurangi dampak penggusuran masjid yang selama ini kerap terjadi. (arrahmah.com)
Angka tersebut diperoleh dari hitung-hitungan Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Sementara itu, DMI mengaku belum memiliki data mengenai jumlah masjid yang telah digusur. “Kita sampai saat ini tidak ada data mengenai itu, karena kerap disembunyikan oleh pemerintah daerah,” ujar Natsir Zubaedi, Sekretaris Jenderal DMI, Sabtu (7/5). Namun begitu, ia menyebutkan dalam sepuluh tahun terakhir di Daerah Khusus Ibukota (DKI) ada lebih dari dua puluh masjid yang pernah digusur.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Amidhan menyatakan pemerintah harus turun tangan untuk mengatasi masalah penggusuran masjid yang semakin sering terjadi. Kasus terakhir yang mencuat ke publik adalah penggusuran Masjid al Ikhlas di Medan, Sumatera Utara. Menurutnya, kasus seperti ini memiliki kekuatan sosial kultural yang tinggi sehingga jika tidak cepat diatasi dikhawatirkan akan terjadi perdebatan serius di kalangan umat islam.
Kekuatan cultural inilah yang seharusnya penting untuk diperhatikan oleh pemerintah. “Pemerintah harus bijaksana menyikapi hal ini. Kasus seperti ini sangat sensitif dan rentan menyebabkan konflik,” ujarnya saat dihubungi Republika. Amidhan mengatakan, memang dari segi Islam penggusuran tersebut tidak masalah dilakukan. Bahkan meski status tanah yang digunakan untuk membangun masjid adalah tanah wakaf.
“Masjid pada dasarnya hanya tempat sujud, atau sejengkal tanah yang dijadikan tempat sujud,” ujarnya Namun begitu, penggusuran tersebut harus dilihat dulu dari segi kepentingannya. Ia berpendapat, penggusuran boleh dilakukan untuk membangun fasilitas publik atau kepentingan umum yang sifatnya jauh lebih penting atau mendesak.
Selain itu, untuk menghindari konflik, sebaiknya sebelum dilakukan penggusuran terlebih dahulu harus direncanakan pembangunan atau bahkan membangun terlebih dahulu ganti dari masjid yang hendak dirobohkan. “Jika memang ingin menggusur, harus dibangun dulu gantinya. Jangan asal main gusur saja,” tegasnya. Terlebih jika itu tanah wakaf. Ia menekankan jika pengganti dari bangunan yang digusur tersebut harus representatif atau paling tidak memiliki nilai yang sama.
Dalam kasus perobohan Masjid Al Ikhlas di Medan, menurutnya pemerintah harus segera mencari solusi yang terbaik agar hal ini tidak berlarut-larut. Terlebih lagi, pengganti dari masjid yang dirobohkan hanyalah sebuah mushola yang hanya mampu menampung 100 jamaah. Hal itu tentu saja tak sebanding dengan Masjid Al Ikhlas yang mampu menampung 800 jemaah didalamnya. “Kalau perlu mengeluarkan uang Negara tidak apa-apa, asal tidak menyebabkan konflik di masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Achmad, ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) provinsi Jawa Tengah, berpendapat penggusuran masjid tersebut tetap tidak diperbolehkan dalam hukum Islam. “Bagaimanapun, masjid adalah tempat sujud. Bukan hanya nilai fisiknya saja yang perlu diperhitungkan, tetapi juga antisipasi reaksi masyarakat,” tegasnya.
Ia juga mencontohkan adanya masjid di daerah Universitas Dipenogero yang pernah juga mau digusur untuk dibangun sebuah pusat perbelanjaan. Menurutnya, hal itu tetap tidak boleh dilakukan meskipun diganti dengan tempat yang lebih baik. “Biasanya untuk menyembah Tuhan, kini diganti untuk tempat-tempat yang kurang baik penggunaannya,” katanya.
Untuk mencegah hal seperti itu terjadi lagi, ia berencana melakukan program penertiban pada seluruh masjid yang ada di Jawa Tengah. Penertiban itu dilakukan dengan cara membuat pengadaan sertifikat masjid dan mengurus Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Selama ini menurutnya banyak masjid yang belum memiliki IMB. Hal tersebut membuat masjid mudah digusur oleh pihak-pihak tertentu.
Sementara itu, Achmad mengaku khawatir, permasalahan ini tidak hanya terjadi di satu tempat, tetapi juga ditempat lain. Dengan adanya kedua program itu, setidaknya ada pencegahan dan antisipasi yang dilakukan oleh pihak terkait seperti dewan masjid.
Natsir juga menilai seharusnya pemerintah lebih menggalakkan adanya pembangunan tempat-tempat ibadah di tempat-tempat publik seperti di rest area. Menurutnya, sekarang sudah banyak rest area yang sudah menerapkan standar pelayanan maksimal (SPM) dengan membangun tempat ibadah sebagai salah satu fasilitas bagi masyarakat. Hal itu menurutnya dapat dijadikan solusi untuk mengurangi dampak penggusuran masjid yang selama ini kerap terjadi. (arrahmah.com)
mestinya pemerintah harus lebih bijak dalam memandang suatu kasus...bahwa didalam hukum kita ada GBHN, UUD '45, ada KUHP, KEPPRES,dll...
BalasHapusmakin hancur lah bumi kita,,kalaw rumah allah di gusur......
BalasHapus