Terungkap, Inggris Berlakukan Tes Keperawanan bagi Perempuan Asia
Perempuan asal Asia yang ingin pindah dan tinggal di Inggris ternyata harus menjalani "tes keperawanan" setibanya di bandara Heathrow. Hal ini terungkap dari dokumen-dokumen yang ditemukan oleh dua akademisi asal Australia, Marinella Marmo dan Evan Smith.
Kedua akademisi dari Flinders University Law School, Adelaide itu menuntut pemerintah Inggris untuk menyatakan permohonan maaf secara terbuka atas kebijakan yang diberlakukan pada era '70-an itu karena telah mempermalukan dan melecehkan kaum perempuan.
Dari dokumen milik Kementerian Dalam Negeri tersebut diketahui, sedikitnya 80 perempuan asal India dan Pakistan yang ingin berimigrasi ke Inggris karena akan menikah, menjalani pemeriksaan keperawanan yang dilakukan oleh staf imigrasi bandara.
Praktek ini ternyata sudah dianggap biasa pada masa itu, tapi kemudian dilarang pada Februari 1979 setelah sebuah koran nasional memberitakan tentang seorang perempuan India yang menjalani pemeriksaan keperawanan oleh seorang dokter laki-laki di bandara Heathrow.
Awalnya, Kementerian Dalam Negeri Inggris membantah adanya insiden itu. Namun pemerintahan Partai Buruh di Inggris kala itu membenarkan bahwa insiden memang terjadi, tapi mengklaim hanya ada dua kasus dalam kurun waktu tujuh tahun.
Dokumen yang dipublikasikan Surat kabar Guardian menunjukkan bahwa tes keperawanan bagi kaum perempuan asal Asia ini juga menjadi hal yang umum, khususnya di kantor-kantor komisi tinggi Inggris di India dan Pakistan. Menurut dokumen-dokumen itu, para pejabat senior Kementerian Luar Negeri Inggris melaporkan 73 kasus yang terjadi di New Delhi dan 9 kasus yang terjadi di Bombay, antara tahun 1976 dan 1979.
Tuntutan dua akademisi asal Australia yang meminta pemerintah Inggris membuat permohonan maaf secara resmi atas praktek ini mendapat dukungan dari organisasi Joint Council for the Welfare of Immigrants (JCWI), yang juga terlibat dalam penanganan kasus ini pada tahun 1979.
Sementara juru bicara lembaga perbatasan Inggris Raya mengatakan, bahwa kebijakan yang diberlakukan 30 tahun yang lalu itu jelas sebuah kebijakan yang salah dan pemerintah Inggris harus mempertanggungjawabkannya secara hukum, serta lebih menghormati hak-hak asasi para imigran. (ln/telegraph/eramuslim.com)
Kedua akademisi dari Flinders University Law School, Adelaide itu menuntut pemerintah Inggris untuk menyatakan permohonan maaf secara terbuka atas kebijakan yang diberlakukan pada era '70-an itu karena telah mempermalukan dan melecehkan kaum perempuan.
Dari dokumen milik Kementerian Dalam Negeri tersebut diketahui, sedikitnya 80 perempuan asal India dan Pakistan yang ingin berimigrasi ke Inggris karena akan menikah, menjalani pemeriksaan keperawanan yang dilakukan oleh staf imigrasi bandara.
Praktek ini ternyata sudah dianggap biasa pada masa itu, tapi kemudian dilarang pada Februari 1979 setelah sebuah koran nasional memberitakan tentang seorang perempuan India yang menjalani pemeriksaan keperawanan oleh seorang dokter laki-laki di bandara Heathrow.
Awalnya, Kementerian Dalam Negeri Inggris membantah adanya insiden itu. Namun pemerintahan Partai Buruh di Inggris kala itu membenarkan bahwa insiden memang terjadi, tapi mengklaim hanya ada dua kasus dalam kurun waktu tujuh tahun.
Dokumen yang dipublikasikan Surat kabar Guardian menunjukkan bahwa tes keperawanan bagi kaum perempuan asal Asia ini juga menjadi hal yang umum, khususnya di kantor-kantor komisi tinggi Inggris di India dan Pakistan. Menurut dokumen-dokumen itu, para pejabat senior Kementerian Luar Negeri Inggris melaporkan 73 kasus yang terjadi di New Delhi dan 9 kasus yang terjadi di Bombay, antara tahun 1976 dan 1979.
Tuntutan dua akademisi asal Australia yang meminta pemerintah Inggris membuat permohonan maaf secara resmi atas praktek ini mendapat dukungan dari organisasi Joint Council for the Welfare of Immigrants (JCWI), yang juga terlibat dalam penanganan kasus ini pada tahun 1979.
Sementara juru bicara lembaga perbatasan Inggris Raya mengatakan, bahwa kebijakan yang diberlakukan 30 tahun yang lalu itu jelas sebuah kebijakan yang salah dan pemerintah Inggris harus mempertanggungjawabkannya secara hukum, serta lebih menghormati hak-hak asasi para imigran. (ln/telegraph/eramuslim.com)
Tidak ada komentar