Header Ads

Yusril Ihza Mahendra: Sistem Buruk,Orang Baik Dipaksa Jadi Orang Jahat

Jakarta - Maraknya korupsi dan kebencian masyarakat atas tindak pidana tersebut  telah dimanfaatkan rezim yang berkuasa untuk menghancurkan lawan politik pemerintah. Mantan Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra bahkan menyebut tuduhan korupsi, tidak ada bedanya dengan tuduhan subversif yang dikenakan pemerintahan Soeharto pada lawan politiknya ketika itu.

“Orang mudah dianggap musuh dan dicari-cari kesalahannya. Kalau zaman Soekarno, kalau ada orang yang berbeda, dia akan sebut orang itu kontrarevolusi. Kalau zaman Soeharto akan disebut subversif. Kalau zaman sekarang, akan dituduh korupsi,” kata Yusril saat dikunjungi kelompok yang menamakan dirinya “Dewan Penyelamat Negara” di Kantornya di Jakarta, belum lama ini.

Kata Yusril, penegakan pasal subversif pada zaman Soeharto dilaksanakan melalui kopkamtib. Unit itu kini berubah nama. Ia menilai KPK dan Kejaksaan menjadi alat bagi pemerintah untuk menekan pihak yang tak disukai.

“Kalau tidak senang, dia akan cari-cari kesalahannya. Tapi, siapa sih manusia yang tidak pernah salah? Tapi, kalau temannya bersalah, KPK dan Kejaksaan hanya diam saja. Itu yang terjadi sekarang ini,” cetusnya.

Yusril tak memungkiri, praktek suap harus diberantas. Namun, yang mengkwatirkannya, isu korup dijadikan model untuk memukul lawan-lawan politik. Sama halnya ketika Soekarno menggunakan isu kontra revolusi untuk melumpuhkan semua lawan-lawan politiknya. “Orang Masyumi dan Partai Sarikat Indonesia ditangkapi dan ditahan sekian lama tanpa diadili dengan tuduhan kontra revolusi tadi.”

Begitu kontra revolusi hilang, tidak laku lagi, Soeharto menggunakan isu subversif dan cap PKI. Siapa saja bisa dituduh subversif, kopkamtib bisa menahan dan menagkap orang dengan seenaknya.  Zaman Soeharto berakhir, isu subversif dan stigma PKI tidak laku lagi, lalu diciptakan isu KKN yang disertai merubah UU Korupsi dengan begitu kerasnya. Stigma korup pun dipakai rezim sekarang untuk menghantam lawan-lawan politiknya.

“Saya tidak pernah percaya sepenuhnya penanganan kasus korupsi. Sebuah  penelitian yang dilakukan fakultas hukum UI tentang pengadilan tipikor mengungkapkan, dari 100 perkara yang ada, tak satu pun yang bebas, semua dihukum. 80 persen dari keputusan itu, berupa hakim ad hoc. Ini seperti subversi ketika zaman Soeharto dulu,” tandasnya.

Persoalannya kemudian, lanjut Yusril, seseorang bukan lagi salah atau tidak, ada bukti atau tidak ada bukti, ada landasan hukum yang kuat atau tidak. Tapi apakah orang itu akan dijadikan target atau tidak. Ketika orang dijadikan target, maka akan dicari kesalahannya.

“Seorang pejabat itu ketika harus mengambil keputusan, tidak sepenuhnya  100 % benar. Mungkin hanya 95% yang benar, sedangkan lima persennya bisa saja tidak tepat. Nah, kalau seorang pejabat telah dijadikan target, sudah pasti dengan mudah diobok-obok. Jika tidak dijadikan target, ya santai saja.”

Sudah jelas, seseorang yang ada  bukti keterlibatannya dalam kasus korupsi, tapi tidak pernah diperiksa. Tapi ada yang cuma bermodalkan surat keleng, malah diperiksa KPK. Begitu juga, saat Wikileaks mengeluarkan dokumen rahasia soal keterlibatan seorang dalam perkara korupsi, KPK tidak bertindak. Jadi,  persolannya, bukan lagi salah atau tidak, tapi jadi target atau tidak.




SBY Gagal

Itulah sebabnya para tokoh yang tergabung dalam “Dewan Penyelamat Negara” mulai mengkhawatirkan, negara ini akan menjadi negara gagal. Sebuah harian ternama, mengindikasikan, Indeks Prestasi Pemerintah SBY hanya 31 persen. Ini bukti pemerintah telah gagal. Ironisnya masih tetap berkuasa.

“Secara politik, roda pemerintahan semakin tidak jelas pijakannya. Negara ini tak ubahnya negeri antah barantah. Bandingkan dengan Brasil, yang telah keluar dari persoalan utang. Sedangkan pemerintah SBY yang telah memasuki tahun ke delapan, hasilnya tidak jelas,” kata seorang tokoh Dewan Penyelamat Negara.
Diakui Yusril ketika masih menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan HAM. Ia sebetunya ingin  membangun sebuah sistem yang kuat di republik ini. Menurutnya, negara harus diperintah oleh sistem, bukan oleh orang sebenarnya. Kendati, ada hubungan satu sama lain. Jika sistem dibangun kuat, kita bisa mengatasi masalah KKN, seperti yang dihadapi sekarang ini.

Yusril bependapat, dalam sebuah sistem yang baik, orang jahat itu akan dipaksa menjadi orang baik. Tapi sebaliknya dalam sistem yang buruk, orang baik dipaksa menjadi orang jahat. Sebagai contoh, Kalau kita pergi ke Singapura, kita tiba-tiba menjadi baik. Tapi bukan berarti, kita orang baik. Sistem pemerintahan di Singapura lah yang memaksa kita menjadi orang baik.

“Begitu juga, bukan berarti di Jerman tidak ada korup, mentalnya bisa saja sama korup, tapi ketika masuk ke dalam sistem yang kuat dan baik, maka nawaitu untuk korup menjadi tidak bisa terlaksana. Jadi sistem itulah yang menjaga. Adapun tugas negara adalah membangun sistem. Sementara tugas para ulama adalah menjaga moralitas pribadi. Ada kombinasi antara keduanya,” kata Yusril. (voa-islam.com)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.