Header Ads

Ambn Membara, Ulah Siapa?

Oleh : Mujiyanto


Ambon kembali membara. Gara-gara kematian seorang tukang ojek, dua kelompok yang dulu berhadap-hadapan dalam konflik 1999 tersulut kemarahannya. Selama sehari, tepat 11 September 2011, Kota Ambon rusuh.

Hingga kini belum jelas benar, mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Memang aparat kepolisian melalui Mabes Polri telah menegaskan bahwa tukang ojek bernama Darvin Saiman meninggal karena kecelakaan. Namun bisa jadi penjelasan itu tak memuaskan pihak Darvin karena adanya beberapa kejanggalan di tubuh korban.

Muncul berbagai isu. Tidak hanya di Maluku tapi sampai ke Jakarta. Ada provokasi yang ingin membenturkan pihak-pihak yang berseberangan. Siapa mereka? Hingga kini pun belum diketahui.

Tapi korban sudah kadung jatuh. Setidaknya tujuh orang tewas dalam kerusuhan itu dan ratusan lainnya luka-luka. Itu belum termasuk harta benda yang rusak dan terbakar.

Kerusuhan itu mengingatkan semua pihak bahwa bara perpecahan di Ambon memang belum padam. Perjanjian Malino yang pernah ditandatangani tahun 2002 ternyata hanya berlaku sementara. Artinya, perjanjian itu tidak menyelesaikan akar persoalan konflik Ambon. Malah setelah itu integrasi yang di-harapkan muncul justru gagal karena masing-masing pihak justru melokalisasi kelompok mereka dalam kantong-kantong pemukiman.

Faktor pemicu utama berbagai konflik yang pernah terjadi sebelumnya, sebenarnya bukan masalah agama. Agama lebih sering dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Banyak di antara pemicunya adalah masalah solidaritas kelompok secara buta, premanisme, kepentingan politik atau ekonomi, ketidakadilan, perasaan terpinggirkan, ketimpangan ekonomi, dll.

Ada pula faktor depresi karena tingginya tekanan hidup akibat himpitan ekonomi. Juga kesenjangan dan ketidakadilan ekonomi. Semua perasaan itu terakumulasi. Ketika ada yang memantik di 'bara' ini, mereka mudah terpicu dan melampiaskan marahnya kepada pihak-pihak yang dianggap meminggirkan dan merugikan mereka. Muncullah kerusuhan sosial.

Potensi konflik itu diperparah lagi dengan makin suburnya ikatan primordialisme, kepentingan dan kelompok di negeri ini. Parahnya lagi proses demokrasi, pemilihan langsung dan proses politik menciptakan kubu-kubu dan kelompok-kelompok yang saling bersaing, mengikis kohesi sosial yang ada di masyarakat.

Bahkan dalam beberapa konflik justru dipicu langsung oleh proses demokrasi khususnya pilkada. Walhasil, masyarakatlah yang dirugikan dan harus menanggung derita. Sayangnya, konflik-konflik tak jarang dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu atau bisa jadi demi asing. Tentu bukan sebuah kebetulan kalau di beberapa daerah yang kerap mengalami kerusuhan terdapat kelompok-kolompok separatis yang ingin memisahkan diri dari Indonesia, seperti di Papua dan Maluku.

Dalam berbagai kasus, umat Islam sering kali justru mengalami diskriminasi. Meskipun menjadi korban, justru umat Islam kerap disalahkan dan dijadikan kambing hitam. Sementara pihak yang merugikan umat Islam malah berlagak sebagai korban.

Kejadian Ambon ini seharusnya menyadarkan umat Islam bahwa seperti inilah situasi yang akan terus dialami kaum Muslim bila hidup di dalam sistem sekuler terutama di daerah-daerah yang secara demografis relatif sama atau didominasi non Muslim.

Sangat penting bagi umat memiliki kesadaran politik dan ideologi agar tidak termakan oleh provokasi dan rekayasa yang mengantarkan pada terjadinya konflik di masyarakat. Kesadaran semacam itu hanya akan dimiliki umat ketika umat menjadikan Islam sebagai ideologinya dan menjadikan politik Islam yang berporos pada pemeliharaan urusan umat sebagai tolok ukur dalam menilai dan memandang perpolitikan yang ada.

Hanya saja kalau umat Islam diserang, itu persoalan lain. Jika itu terjadi, tidak ada pilihan lain kecuali umat Islam harus mempertahankan diri dengan jihad seperti yang terjadi pada tahun 1999 di Ambon.

Solusi Islam

Sistem sekuler-kapitalis tak mampu melahirkan integrasi sosial yang hakiki. Sistem ini telah gagal total. Sebagai gantinya, tidak ada pilihan lain kecuali sistem Islam. Sejarah mencatat keberhasilan Islam melebur masyarakat dan membangun integrasi sosial dalam masyarakat yang heterogen sesama belasan abad.

Dalam membangun integrasi sosial, Islam telah menghilangkan sekat perbedaan diantara manusia karena ikatan primordial, ashabiyah, suku bangsa, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, dsb. Islam memandang bahwa ikatan semacam itu adalah ikatan jahiliyah yang menyebabkan kesengsaraan bagi umat manusia dan harus ditanggalkan.

Sebagai gantinya, Islam menempatkan akidah sebagai pemersatu umat manusia. Dari sinilah terbangun ikatan ukhuwah Islamiyah dengan landasan keimanan. Perwujudan dari ukhuwah Islamiyah itu adalah adanya syariat untuk menjaga kehormatan dan keamanan sesama Muslim.

Ikatan Islam ini tidak saja menjaga kehormatan sesama Muslim, tapi juga melindungi non Muslim yang bergabung dalam masyarakat Islam sebagai kafir dzimmi. Kaedah syara' mengatakan bahwa kafir dzimmi memiliki hak dan kewajiban setara dengan kaum Muslim secara adil.

Islam pun memperlakukan semua warga sama di depan hukum. Islam juga mengharuskan ketegasan dan keadilan dalam menerapkan hukum. Karena perlakuan tak sama di depan hukum akan menghancurkan masyarakat.

Islam juga akan mengelola kekayaan dan mendistribusikannya secara adil kepada semua individu rakyat baik Muslim maupun non Muslim. Setiap individu rakyat akan mendapatkan jaminan pemenuhan kebutuhan pokoknya baik sandang, pangan dan papan, dan juga kebutuhan dasarnya baik pendidikan, pelayanan kesehatan dan keamanan. Semua orang juga akan bisa mendapatkan pelayanan yang sama. Apakah tidak rindu dengan sistem yang seperti ini?


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.