Header Ads

Ketua KPK Baru: Antara Harapan & Kecemasan

Oleh: Harits Abu Ulya
Leader CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Hari Jumat sore (2/12/2011) saya membaca berita pemilihan ketua KPK oleh DPR, Abraham Samad menggeser Busro Muqodas. Wow.!voting DPR membuat saya tercengang kaget.Karena perkiraan saya untuk sementara cukuplah seorang Abraham Samad menjadi bagian dari jajaran pimpinan KPK, tapi bukan top leader KPK (ini tidak bermaksud mengecilkan dan atau under estimate tehadap A Samad).Akhirnya beberapa kawan aktifis kirim pesan singkat (sms) ke saya menanyakan bagaimana prospeks pemberantasan korupsi kedepan. Sebelum tulisan ini saya buat, saya juga sempat update status saya di FB dengan singkat mengartikulasikan bacaan saya atas terpilihnya Abraham Samad;” Geger KPK;harap-harap cemas dengan ketua baru,saya kenal A Samad sosok "Pemberani".Tapi untuk urus maling-maling besar masih perlu "piranti" lainya.Biar skandal penguasa Lalim kebuka.”.



Saya pribadi selama “belajar” di Makasar-Sulsel punya pengalaman panel dengan A Samad dalam sebuah diskusi publik mendedah isu skandal korupsi. Dari sana saya bisa mengenal lebih dekat sosok ketua KPK baru ini termasuk prespektif beliau dalam masalah korupsi dan rekam jejaknya dalam mengadvokasi beberapa kasus yang menimpa “wong cilik”. Dari sini saya mencoba ingin berbagi makna “harapan dan kecemasan” kepada pembaca sekalian dengan terpilihnya ketua KPK baru. Benarkah akan bisa membawa perubahan untuk negeri tercinta ini? Atau eksistensinya juga tidak memberikan pengaruh signifikan, seperti dalam sebuah maqolah “wujuduhu ka adamihi-adanya sama dengan tidak adanya”

Sah saja rakyat punya impian dan harapan, apalagi rakyat yang melek politik. Kapan Indonesia bersih dan bebas dari korupsi? Kapan  mashur seantero jagad bukan karena skandal korupsi? Tapi Indonesia menjadi negara besar yang memiliki visi dengan ideologi besar dan urusan domestiknya mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.Rakyat paham, begitu besar uang mereka di rampok oleh si penjahat berkerah putih waktu demi waktu. Akibatnya alokasi uang belanja untuk rakyat berubah mengalir ke kantong-kantong pribadi dan kelompok melalui jalur kekuasaan.Wajar, begitu lahir ketua KPK baru kemudian harapan direnda sedemikian rupa. Sosok ketua baru yang relatif muda usia (kelahiran 1966), sikapnya yang pemberani (tampak disaat uji kelayakan didepan DPR), dan dikenal bukan orang partai manapun yang berkuasa saat ini, plus ia seorang penggiat anti korupsi saat di daerah Sulsel sekaligus punya pengalaman sebagai advokat. Rakyat mau KPK tidak tebang pilih dalam memberantas korupsi, kalau perlu jika Presiden RI (SBY) terlibat harapanya KPK juga berani melibas sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.Rakyat sudah terlalu lama di cekoki berita saban hari, tidak pernah lepas dari kasus korupsi tapi seolah-olah minus solusi dari institusi yang punya kewenangan untuk mengamputasi problem yang akut ini.Inilah harapan, tapi dibalik harapan ada sisi kecemasan yang tidak bisa di abaikan begitu saja. Dan saya rasa, wilayah ini yang lebih komplek dan tampak dominan terbaca. Ketua KPK dan jajaran pimpinannya adalah produk politik, dan dari hulu inilah kita bisa menguji sejauh apa visibilitas harapan dengan terpilihnya ketua baru.

Kalangan politisi (missal;PDIP) dalam voting 100% menjatuhkan pilihan kepada Abraham Samad baik di voting putaran pertama dan kedua. Alasan yang terungkap; Abraham adalah satu-satunya sosok yang jauh dari pusaran kekuasaan yang ada saat ini. Karenanya diharapkan bisa kerja maksimal  dan tidak memiliki hambatan secara politis. Dan tentu ada alasan yang berbeda bagi partai koalisi dengan setgabnya ketika memutuskan pilihan suara bagi Abraham Samad atau ke calon lainya.Alasan di atas rasanya belum bisa memuaskan logika publik. Rakyat masih segar ingatannya, DPR sebagai lembaga politik dengan fungsi (bangar) merumuskan dan menentukan APBN telah berubah menjadi dapur (sarang utama) korupsi di lakukan.Selama ini berapa ratus orang anggota dewan menjadi tersangka dan terpidana dalam kasus korupsi? Oleh karena itu logika publik belum terpuaskan dengan soal; apakah mungkin DPR memilih ketua KPK yang akan “mengantung dan menghabisi” diri mereka sendiri? Dan apakah DPR akan berdiam diri dan tidak melakukan manuver politik dengan cara membuat regulasi yang akan membatasi gerak dan daya tempur KPK untuk melawan koruptor? Mengingat DPR juga terbukti menjadi dapur dan sarang para koruptor.Ketua KPK lahir dari mekanisme politik dagang sapi, interpendensi tidak bisa di nihilkan begitu saja. Karena Indonesia sudah baku dan mengakar dengan bangunan politik “kong kalikongnya”.

Apalagi bicara lebih jauh, piranti untuk memberantas korupsi tidak hanya KPK. Ada kejaksaan, kepolisian dan lembaga peradilan. Sekalipun secara khusus ada pengadilan tipikor, dan KPK di huni oleh orang-orang yang katanya terbaik dari para jaksa penuntut dan wilayah peradilan di isi hakim-hakim tipikor yang terbaik. Semua itu juga bukanlah jaminan, karena realitas menunjukkan bahwa struktur hukum yang didalamnya ada aktor penegakan hukum seperti polisi dan jaksa  begitu mudahnya mendapat pengaruh dari pemilik modal pada semua level. Begitu juga subtansi hukum, dan budaya hukum yang sendi-sendinya sudah hancur. Atau meminjam pandangan Abraham Samad; tatanan hukum di Indonesia yang laksana sarang laba-laba, yang hanya mampu menjerat dan menghukum orang-orang kecil, namun akan rontok apabila akan menyentuh orang besar atau dekat dengan kekuassan. “Pengadilan seolah sudah menjadi pasar untuk jual beli hukum, sehingga hanya akan berpihak pada mereka yang punya uang dan atau dekat dengan kekuasaan.

Seorang Abraham Samad memang sosok pemberani (orang Bugis-Makasar bilang; “rewa”), tapi KPK bukan hanya seorang Abraham. Di sana ada sistem dan subsistem dan ia bekerja didalamnya, bagitu juga ada sistem diluar KPK yang tidak bisa ia kendalikan (sistem peradilan tipikor). Dan ada lembaga politik (DPR) yang bisa merecoki kapan saja jika dia menjadi sasaran tembak KPK. Jika top leader KPK sosoknya pemberani tentu ini tidak otomatis akan merubah performan orang-orang KPK di semua lini. Sekalipun kita harus akui, peran ketua sangat sentral mengatur ritme dan strategi “pertempuran” dan mengambil keputusan yang akan ditanggung oleh semua lini di KPK.

Inilah fakta yang mencemaskan, seorang Abraham Samad sang ketua KPK adalah produk politik dari sebuah sistem politik Demokrasi. Sementara publik sadar, Demokrasi  sebagai sistem politik baik di Barat maupun di Indonesia tidak bisa lepas dari pakem “ money to power, power to money”. Dan sistem inilah sebenarnya yang menjadi hulu (pabrik) kejahatan demi kajahatan (korupsi) merampok uang rakyat melalui jalur kekuasaan. Sekali lagi pertanyaan yang harus di jawab adalah; Apakah mungkin produk politik, para penguasa dan pejabat politik yang ada berani menghasilkan kebijakan politik (produk politik) yang akan menghabisi diri mereka sendiri? Fakta sudah menunjukkan bahwa hal tersebut “imposible”. Untuk menjadi pejabat dan penguasa mereka dengan modal besar (duit), begitu duduk dikursi kekuasaan yang mereka lakukan adalah mengembalikan modal. Begitu juga untuk menjadi anggota dewan (DPR), wajar kalau kemudian sistem politik demokrasi hanya menjamin kemakmuran para penguasa, pejabat dan kroni-kroninya. Kemakmuran rakyat dengan sistem politik demokrasi menjadi ilusi dan mimpi siang bolong.

Karenanya saya mencemaskan sosok Abraham Samad, akan menjadi korban berikutnya dari tangan-tangan jahad yang terlibat langsung atau tidak langsung dari pusaran kekuasaan negeri ini.Karena kejahatan yang ia hadapi bersama krunya adalah kejahatan yang lahir dari dua faktor utama; Pertama,individu yang tidak memiliki integritas dan visi dan paradigma yang jelas dalam hidup. Kedua, sistem kita merupakan produk sistem politik demokrasi yang bobrok (money to power, power to money). Terkait sistem hukum sanksi, otomatis material hukum dari sana tidaklah cukup menyelesaikan persoalan secara tuntas.

Karenanya dalam sebuah kesempatan, diskusi panel di Aula STIA LAN ahad 22/11/2010 dengan tema “Mengurai Benang Kusut Korupsi di Indonesia”. Selain  saya, Abraham juga ada nara sumber lainya seperti Al Ustadz KH. Sanusi Baco (Ketua MUI Sul-Sel), Bapak Laode Abdul Gani, SH, MH (Akademisi Unhas), sampai kepada kesimpulan perlunya reposisi sistem dang ganti orang-orang yang amanah.Bahkan seorang Abraham konsisten pada pendapatnya; “bahwa saat ini bukan lagi reparasi atau tambal sulam di sana-sini. Apa yang terjadi di negeri ini adalah karena kerusakan sistem yang terbukti gagal memberikan keadilan. Maka harus ada perbaikan hukum secara menyeluruh dan sistem sanksi yang tegas bagi para koruptor.

Untuk pak Abraham Samad, jika membaca tulisan ini perlu saya katakan sebagai kawan dan saudara yang mencintai anda karena Allah SWT; menurut prediksi saya, anda akan menemukan relefansi paradigma anda tentang bobroknya sistem di negeri ini. Dan anda akan semakin yakin perubahan fundamental revolusioner itu yang dibutuhkan untuk memperbaiki negeri ini termasuk membersihkan kejahatan korupsi. Dan saat ini anda duduk sebagai ketua KPK, hari demi hari anda akan diuji dan akan menyauh kebenaran dari sebuah konsep dan paradigma perubahan bahwa Indonesia tidak butuh reformasi (tambal sulam) tapi butuh revolusi!.Saya berharap; “anda orang baik yang tidak salah tempat” dan dipilih oleh DPR dengan asumsi yang sebenarnya “mereka tidak mau ketua KPK adalah orang yang berpengalaman dan punya jurus-jurus jitu menggebuk tikus-tikus rakus di kekuasaan” dan itu artinya “maling membuat muslihat demi menjaga kepentingan perut dan kekuasaanya”. Wallahu a’lam bishowab


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.