Header Ads

Aneh... Menerima Miras Dianggap Demokratis, Menolaknya Dianggap Menentang Hukum

Langkah Mendagri Gamawan Fauzi, mencabut Perda Larangan Miras kian membutkikan kebobrokan sistem demokrasi. Jargon demokrasi yang terkenal dengan semboyan Suara rakyat, suara Tuhan tampaknya hanya pemanis. Karena pada gilirannya, demokrasi justru bungkam ketika rakyat bersuara untuk kemaslahatan umat. Lantas betulkah Demokrasi mendahulukan rakyat?


Pernyataan itu ditegaskan Ustadz Fauzan Al Anshari, Ketua Lembaga Pengkajian Syariat Islam, terkait keputusan pemerintah pusat dalam mendahulukan Kepres ketimbang Perda.

“Demokrasi memang aneh, jika vox populi (suara rakyat) nya ingin melarang miras dan menegakkan Syariat dianggap tidak demokratis, tapi jika vox populi-nya menghendaki miras dilegalkan justru dianggap demokratis. Ini kan lucu, katanya suara terbanyak?” katanya kepada Eramuslim.com. Selasa, (10/01/2012).

Sebelumnya memang berkembang selentingan bahwa agenda pelarangan miras sama saja dengan arah menuju formalisasi Syariat Islam di Indonesia. Sejumlah daerah memang telah menerbitkan perda larangan penjualan miras. Antara lain adalah Kota Tangerang (Perda Nomor 7/2005), Kabupaten Tangerang (Perda Nomor 11/2010) dan Kabupaten Indramayu (Perda Nomor 15/2006).

Larangan-larangan itu pun ditempuh melalui cara 'demokratis' yang sudah ditetapkan pemerintah pusat yakni melalui pengesahan di tingkat DPRD. Namun anehnya, pemerintah pusat pula yang membatalakan keputusannya. Inilah logika aneh dalam pemerintahan demokrasi.

“Di Tangerang dan di beberapa daerah lainnya sudah menempuh jalan demokratis untuk melarang miras, yaitu lewat proses di DPRD masing-masing. Tapi kok kenapa yang melarang justru orang Jakarta yang tidak berkecimpung di wilayah itu. Ini kan aneh?” singgung Ustadz Fauzan kepada pemerintah pusat.

Sebelumnya, kepada wartawan, Kepala Biro Hukum Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh Zudan mengatakan, pencabutan ini dilakukan karena perda-perda tersebut melanggar aturan yang lebih tinggi. Yakni, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.

Pihak Kemendagri menafsirkan bahwa melalui Keppres tersebut, peredaran alkohol hanya dibatasi dan tak boleh dilarang secara total di wilayah kabupaten/kota tertentu. “Beberapa perda yang dibatalkan itu, melarang peredaran minuman beralkohol secara keseluruhan,” kata Zudan, di Kantor Kemendagri. (Pz/eramuslim)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.