Header Ads

Obama Bingung Antara Menganggap Islamis Mesir Sebagai Teman Atau Musuh

Surat kabar Amerika “The Financial Times” mengatakan bahwa pemerintah Presiden AS Barack Obama bingung antara menganggap kaum Islamis di Mesir sebagai teman atau musuh.

Penulis “Philip Stephens” menjelaskan bahwa revolusi Arab telah membuat Barat terkejut, gelisah, dan tidak nyaman. Prancis kehilangan Ben Ali di Tunisia. Sementara AS kehilangan sekutu pentingnya di Mesir. Dan di Mesir AS masih bingung antara menganggap kelompok Islamis yang menang dalam pemilu itu sebagai teman atau musuh.


Penulis Amerika itu menghubungkan antara kebingungan ini dengan bersikeras dukungan Rusia terhadap rezim Suriah di bawah pimpinan Bashar Assad, meskipun terus terjadi eskalasi aksi protes di Suriah, serta Rusia yang menggunakan veto di Dewan Keamanan terhadap resolusi yang mengutuk Assad, yang kemudian dimanfaatkan oleh Bashar Assad dalam mengintensifkan serangannya yang tidak lagi membedakan antara warga sipil dan kelompok bersenjata. Sedang Liga Arab gagal mencapai peralihan kekuasaan dengan damai. Sehingga sekarang, Suriah menuju perang saudara, katanya.

Ia menjelaskan bahwa Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov memberikan kesan bahwa ia menyakini Mohamed Bouazizi di Tunisia, kelompok Islamis di Benghazi, serta para pemuda dan pemudi di Tahrir Square adalam agen intelijen AS, dan mereka digaji. Sementara revolusi terhadap Bashar merupakan episode terakhir dalam konspirasi Amerika.

Stephens mengatakan bahwa Assad merupakan sekutu penting bagi Rusia sejak era Soviet. Dan di pelabuhan Tartus, Suriah ada pangkalan penting bagi angkatan laut Rusia, serta ada sejumlah kontrak besar untuk pasokan senjata antara kedua negara. Juga, ada prinsip non-interferensi yang ditempuh oleh Moskow. Dikatakan bahwa Rusia tengah menampakkan sebagai seorang teman yang sedang menghadapi musuh Suriah, sama seperti kondisi yang terjadi pada zaman Perang Dingin.

Ia mengingatkan bahwa revolusi musim semi Arab telah mendorong kelompok Islamis di Tunisia dan Mesir untuk mencapai kekuasaan. Sedang negara-negara yang tidak terjadi revolusi di dalamnya, namun berlangsung pemilu, juga telah menyebabkan kemajuan kelompok Islamis, seperti halnya di Maroko dan Kuwait. Dan diramalkan akan mengalami kemajuan pula yaitu kelompok Islamis di Libya, Yordania dan Yaman.

Pemerintah AS telah berusaha untuk mendapatkan jaminan dari kelompok Islamis di Mesir untuk tetap mempertahankan kepentingan mereka di wilayah itu, serta mempertahankan semua perjanjian damai setelah disadari bahwa kekuatan dari gerakan Islam di Mesir tengah berakar di antara berbagai segmen masyarakat (islammemo/HTIPress/110212/al-khilafah.org).


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.