Pemerintah Wajib Renegosiasi Kontrak Freeport
Renegosiasi kontrak pertambangan sah-sah saja dilakukan pemerintah Indonesia. Terlebih, kontrak awal Freeport yang disepakati tahun 1967 tidak lagi adil bagi rakyat.
Hal ini disampaikan Direktur Center For Petroleum and Energy Economics Studies, Muhammad Kurtubi kepada detikFinance, Sabtu (11/2/2012).
"Boleh saja pemerintah diminta pihak Dubes (Amerika Serikat) atau manapun menghormati kontrak karya. Tapi kontrak awal 1967, dirasakan sangat tidak adil," jelasnya.
Renegosiasi kontrak yang dilakukan Presiden SBY pun dinilai sudah tepat, meski belum ada progres yang signifikan. Untuk itu Kurtubi berharap, pemerintah bisa lebih tegas. "Itu harus ada tindakan tegas dari pemerintah," paparnya.
Sebelumnya, Duta Besar AS untuk Indonesia Scot Marciel mengatakan kontrak karya pertambangan janganlah dirusak karena berdampak buruk pada iklim investasi dalam negeri.
Dengan niat pemerintah ini, Marciel menilai investor agak berfikir ulang untuk berinvestasi lebih besar di Indonesia. "Kami berharap kesucian kontrak tetap dipertahankan. Ini penting bagi setiap pemerintah. Tapi bukan berarti tidak bisa ada penyesuaian. Namun harus mempertimbangkan iklim investasi," kata Marciel kemarin di kantornya.
Namun bagi Kurtubi, azas keadilan harus menjadi prioritas. Caranya dengan renegosiasi kontrak. Pemerintah harus berani menawarkan kontrak baru dengan besaran royalti yang lebih besar.
"Besaran royalti harus mengikuti aturan terbaru dari pemerintah. Kalau pakai awal, terlalu kecil. Emas contohnya hanya 1%. Itu tidak adil bagi rakyat, siapapun Presidennya," timpalnya.
"Cara kedua, supaya pihak kontraktor bersedia mendivestasikan sahamnya atau menjual sebesar 51% kepada Pemerintah Indonesia, termasuk Pemerintah Daerah (Pemda). Ini seperti yang dilakukan Newmont Nusa Tenggara," imbuh Kurtubi. (detikfinance/120212/al-khilafah.org)
Hal ini disampaikan Direktur Center For Petroleum and Energy Economics Studies, Muhammad Kurtubi kepada detikFinance, Sabtu (11/2/2012).
"Boleh saja pemerintah diminta pihak Dubes (Amerika Serikat) atau manapun menghormati kontrak karya. Tapi kontrak awal 1967, dirasakan sangat tidak adil," jelasnya.
Renegosiasi kontrak yang dilakukan Presiden SBY pun dinilai sudah tepat, meski belum ada progres yang signifikan. Untuk itu Kurtubi berharap, pemerintah bisa lebih tegas. "Itu harus ada tindakan tegas dari pemerintah," paparnya.
Sebelumnya, Duta Besar AS untuk Indonesia Scot Marciel mengatakan kontrak karya pertambangan janganlah dirusak karena berdampak buruk pada iklim investasi dalam negeri.
Dengan niat pemerintah ini, Marciel menilai investor agak berfikir ulang untuk berinvestasi lebih besar di Indonesia. "Kami berharap kesucian kontrak tetap dipertahankan. Ini penting bagi setiap pemerintah. Tapi bukan berarti tidak bisa ada penyesuaian. Namun harus mempertimbangkan iklim investasi," kata Marciel kemarin di kantornya.
Namun bagi Kurtubi, azas keadilan harus menjadi prioritas. Caranya dengan renegosiasi kontrak. Pemerintah harus berani menawarkan kontrak baru dengan besaran royalti yang lebih besar.
"Besaran royalti harus mengikuti aturan terbaru dari pemerintah. Kalau pakai awal, terlalu kecil. Emas contohnya hanya 1%. Itu tidak adil bagi rakyat, siapapun Presidennya," timpalnya.
"Cara kedua, supaya pihak kontraktor bersedia mendivestasikan sahamnya atau menjual sebesar 51% kepada Pemerintah Indonesia, termasuk Pemerintah Daerah (Pemda). Ini seperti yang dilakukan Newmont Nusa Tenggara," imbuh Kurtubi. (detikfinance/120212/al-khilafah.org)
Tidak ada komentar