Header Ads

Naikkanlah Harga BBM, Rakyat Akan Terima!

Ternyata tidak semua orang Indonesia marah dengan kenaikan harga BBM. Meski mayoritas orang mencak-mencak, ada segelintir orang — selain pemerintah tentunya – yang tidak marah, bahkan membela keputusan pemerintah.

Pembelaan mereka bisa kita bedakan dalam dua kategori; pertama, yang menggunakan alasan teknis. Kedua, yang menggunakan alasan sosial hingga alasan teologis. Mereka yang menggunakan alasan teknis percaya bahwa Indonesia memang sudah menjadi negara net-importir BBM. Tingginya konsumsi BBM di tanah air membuat pemerintah mau tidak mau harus mengimpor BBM.

Soal gugatan perusahaan tambang asing yang mencapai di atas 70 persen lebih menguasai sumberdaya migas nasional, mereka beralasan ini justru sebagai otokritik bagi bangsa karena SDM Pertamina tidak sanggup mengelola migas nasional. Mereka juga berasumsi kalau sumberdaya alam dikuasai Pertamina maka akan terjadi monopoli yang selanjutnya sebagaimana perusahaan-perusahaan pemerintah pada umumnya yang bobrok manajemennya akan membuat kebijakan migas yang jauh dari efesien. Maka sudah sepantasnya dilakukan swastanisasi di sektor migas.

Yang menarik, ada juga yang berdalih dengan alasan sosial-teologis. Di jejaring sosial misalnya ada yang dengan santainya menuliskan status: BBM naik?…insyaAllah rizki saya tetap dijamin Allah, bukan dijamin pemerintah atau khalifah.

Ada juga yang mengatakan kenaikan BBM justru seharusnya membuat rakyat kreatif mencari terobosan transportasi alternatif yang murah, seperti misalnya beralih ke bike to work.

Persoalan Teknis

Saya tidak akan berpanjang kalam di sini ihwal persoalan teknis eksplorasi minyak bumi nasional. Pada malam Rabu (20/3) alhamdulillah saya berkesempatan nonton Jakarta Lawyer’s Club di TVOne soal kenaikan BBM. Betapa kalangan teknokrat dan ekonom, termasuk anggota DPR seperti pengamat perminyakan Kurtubi dan ekonom Kwik Kian Gie mengkritik habis carut marutnya persoalan migas di tanah air. Yang menyenangkan kritik mereka bukan semata luapan emosi tapi base on theory and data. Pak Kwik misalnya terus menyoroti lifting cost minyak bumi nasional yang tidak ‘gaib’ hingga logika buntung pemerintah yang selalu bilang ‘tekor’ saat harga minyak dunia naik. “Tapi kabar gembiranya tidak pernah diberikan kepada rakyat,” protes Kwik. Bukankah kalau harga minyak dunia naik berarti Indonesia sebagai penghasil minyak dunia juga kecipratan rejeki nomplok? Lalu ke mana larinya ‘rejeki nomplok’ itu? Kenapa rakyat tidak kebagian?

Belum lagi peran BP Migas yang dikritik pedas oleh pakar perminyakan Kurtubi karena justru menjadi makelar perminyakan, membatasi peran Pertamina, dan tidak ada kontrol terhadapnya. “Binatang macam mana yang tidak ada pengawasnya?” kritik Kurtubi dengan suara melengking. Kurtubi juga mengingatkan bahaya UU Migas 22/2001 terhadap pengelolaan migas nasional.

Di kubu pemerintah dan Partai Demokrat, nyaris tidak ada bantahan teknis terhadap berondongan kritikan tersebut. Menteri ESDM Jero Wacik hanya menjawab dengan jawaban standar normatif dan full defense terhadap pemerintahan SBY. “Tidak mungkin pemerintah berbohong” atau “Tidak mungkin pemerintah menyengsarakan rakyat” adalah jawaban yang menunjukkan kalau dia sebagai Menteri ESDM justru tidak punya kapasitas untuk mengurusi bidangnya.

Malah muncul ‘lawakan’ lucu dari seorang peserta yang hadir dari kubu pemerintah bahwa menaikkan harga BBM adalah untuk mensejahterakan rakyat. Komentar ini langsung ditimpali oleh ekonom Kwik Kian Gie, “Kalau memang menaikkan BBM untuk kesejahteraan rakyat, kenapa tidak dinaikkan setinggi-tingginya?”. Titik.

Sampai di sini harusnya penonton tercerahkan. Bahwa kenaikkan harga BBM bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah. Bukan sekedar karena hukum supply & demand. Karena permintaan BBM meningkat maka otomatis harganya akan naik karena stok-nya terbatas. Tapi ada carut-marut dalam kebijakan migas nasional. Ada keserakahan para decision maker alias pemerintah juga DPR, dan ada intervensi asing yang begitu ‘telanjang’ untuk menyedot sebanyak-banyaknya migas di bumi pertiwi ini.

Persoalannya, apakah semua warning para pakar perminyakan dan perekonomian yang kritis itu akan bergema di telinga rakyat?

Nampaknya belum. Acara sebagus itu masih kalah rating dengan sinetron Cinta Cenat Cenut atau Binar Bening Berlian, atau sitkom OVJ apalagi gerombolan anak-anak alay di Dahsyat , Inbox dan yang sejenisnya.

Masyarakat kita umumnya tidak mau pusing dengan carut marutnya kondisi bangsa. Bagi mereka yang penting bisa makan dan sehat. Kalaupun harga BBM naik, tidak masalah. Maka seperti keyakinan Sutan Batoeghana, “Berapapun harganya, pasti akan dibeli!”

Ya, politisi Demokrat itu pede karena sudah tahu tabiat mayoritas rakyat Indonesia yang pasrah bongko’an dengan sabdo pandito ratu-nya. Karena rakyat Indonesia selalu punya alasan sosial-teologis untuk mau disengsarakan oleh para pemimpinnya. Naikkanlah harga BBM, jangan khawatir, rakyat tidak akan bergolak. [al-khilafah.org]

Oleh Iwan Januar

Sumber

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.