Seputar Barang Bajakan dan Hak Cipta
Apa hukum memperjual belikan barang bajakan?
Pendahuluan
Istilah
bajakan yang dimaksud adalah memperjual belikan barang (baik berupa
buku, kaset, cd soft ware dsb) tanpa ijin pemilik hak cipta. Sehingga
istilah ini sebenarnya tidak pernah muncul kecuali setelah munculnya
seperangkat aturan baik nasional maupun internasional tentang pengaturan
hak kekayaan intelektual (HKI).
Kenyataanya banyak kaum muslimin yang ‘terperangkap’ pada pemikiran barat-kapitalis ini. Akibatnya, mereka
melakukan kesalahan dalam menetapkan status hukum. Sebagai contoh
seorang ustadz saat ditanya tentang status hokum menggunakan barang
bajakan maka beliau mneyatakan:
Pada
akhir-akhir ini sering terjadi pelanggaran terhadap hak cipta dalam
bidang ilmu, seni, dan sastra (intelectual property). Pelanggaran pada
hak cipta terutama yang berupa pembajakan buku-buku, kaset-kaset yang
berisi musik dan lagu, dan film-film dari dalam dan luar negeri, sudah
tentu menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, tidak hanya menimpa
kepada para pemegang hak cipta (pengarang penerbit, pencipta musik/lagu,
perusahaan film, dan perusahaan rekaman kaset, dan lain-lain),
melainkan juga negara yang dirugikan, karana tidak memperoleh pajak
penghasilan atas keuntungan yang diperoleh dari pembajak tersebut.
Pembajakan
terhadap intelektual property (karya ilmiah, dan lain-lain) dapat
mematikan gairah kreatifitas para pencipta untuk berkarya, yang sangat
diperlukan untuk kecerdasan kehidupan bangsa dan akselerasi pembangunan
negara. Demikian pula pembajakan terhadap hak cipta dapat merusak
tatanan sosial, ekonomi dan hukum di negara kita. Karena itu tepat
sekali diundangkannya undang-undang No.6 tahun 1982 tentang hak cipta
yang dimaksudkan untuk melindungi hak cipta dan membangkitkan semangat
dan minat yang lebih besar untuk melahirkan ciptaan baru di bidang ilmu,
seni dan sastra.
Dari ‘keterjebakan’ ini kemudian ditetapkan status hokum dengan menggunakan dalil-dalil antara lain:
1.
al-Qur’an Surat Al-Baqoroh:188 “Dan janganlah sebahagian kamu memakan
harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil….”
2.
Hadits Nabi riwayat Daruqutni dari Anas (hadits marfu’) : “tidak halal
harta milik seorang muslim kecuali dengan kerelaan hatinya.”
3. Hadits Nabi:
“Nabi bertanya, ‘apakah kamu tahu siapakah orang yang bangkrut (muflis, Arab) itu?’ jawab mereka (sahabat): ‘orang yang bangkrut di kalangan kita ialah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali’. Kemudian Nabi bersabda: ‘sebenarnya orang bangkrut (bangkrut amalnya) dari umatku itu ialah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti shalat, puasa dan zakat. Ia juga membawa berbagai amalan yang jelek, seperti memaki-maki, menuduh-nuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang. Lalu amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah dizalimi/dirugikan dan jika hal ini belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah dizalimi itu ditransfer kepada si zalim itu, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.”
“Nabi bertanya, ‘apakah kamu tahu siapakah orang yang bangkrut (muflis, Arab) itu?’ jawab mereka (sahabat): ‘orang yang bangkrut di kalangan kita ialah orang yang sudah tidak punya uang dan barang sama sekali’. Kemudian Nabi bersabda: ‘sebenarnya orang bangkrut (bangkrut amalnya) dari umatku itu ialah orang yang pada hari kiamat nanti membawa berbagai amalan yang baik, seperti shalat, puasa dan zakat. Ia juga membawa berbagai amalan yang jelek, seperti memaki-maki, menuduh-nuduh, memakan harta orang lain, membunuh dan memukul orang. Lalu amalan-amalan baiknya diberikan kepada orang-orang yang pernah dizalimi/dirugikan dan jika hal ini belum cukup memadai, maka amalan-amalan jelek dari mereka yang pernah dizalimi itu ditransfer kepada si zalim itu, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka’.”
Intinya
berdasarkan dalil-dalil tadi “beliau-beliau” ingin menyatakan bahwa
melanggar hak kepemilikan seseorang yang dijamin berdasarkan
undang-undang kekayaan intelektual adalah haram. Pelanggaran yang
dimaksud adalah memperbanyak, menggunakan dan memperjual-belikannya.
Sekilas tentang HKI
Perlindungan
hak cipta adalah ide yang berasal dari ideologi kapitalisme.
Negara-negara kapitalis–industri telah membuat konvensi Paris pada tahun
1883 dan konvensi Bern pada tahun 1886, tentang perlindungan hak cipta.
Selain kesepakatan-kesepakatan tersebut, mereka juga membuat beberapa
kesepakatan lain yang jumlahnya tidak kurang dari 20 kesepakatan.
Kemudian terbentuklah Lembaga Internasional untuk Hak Cipta yang bernama
WIPO (World Intellectual Property Organization), yang bertugas
mengontrol dan menjaga kesepakatan tersebut. Pada tahun 1995, WTO telah
mengesahkan adanya perlindungan hak cipta, dan WIPO menjadi salah satu
bagiannya. WTO mensyaratkan bagi negara-negara yang ingin bergabung
dengannya, harus terikat dengan perlindungan hak cipta, dan membuat
undang-undang terkait guna mengatur perlindungan hak cipta.
Undang-undang
Hak Cipta yang dilegalisasi oleh negara-negara tersebut, harus
memberikan hak kepada individu untuk melindungi hasil ciptaannya, serta
melarang orang lain untuk memanfaatkan ciptaan tersebut kecuali dengan
izinnya. Negara harus menjaga hak tersebut dan memberikan sanksi bagi
setiap orang yang melanggarnya dengan sanksi penjara puluhan tahun, baik
ketika (penciptanya) masih hidup atau telah mati. Undang-undang yang
dilegalisasi juga harus mencakup undang-undang perlindungan (bagi)
perusahaan-perusahaan pemegang hak patent.
Maksud
dari karya cipta adalah, pemikiran atau pengetahuan yang diciptakan
oleh seseorang, dan belum ditemukan oleh orang lain sebelumnya. Bagian
terpenting dari karya-karya cipta tersebut adalah pengetahuan yang bisa
dimanfaatkan dalam perindustrian serta produksi barang dan jasa, dan apa
yang saat ini dinamakan dengan 'teknologi'.
Dengan
demikian, orang-orang kapitalis menganggap bahwa
pengetahuan-pengetahuan individu sebagai 'harta' yang boleh dimiliki,
dan bagi orang yang mengajarkan atau mempelajari pengetahuan tersebut
tidak diperbolehkan memanfaatkannya, kecuali atas izin pemegang patent
dan ahli warisnya, sesuai dengan standar-standar tertentu. Jika
seseorang membeli buku, 'disket' atau 'kaset', yang mengandung pemikiran
baru, maka ia berhak memanfaatkan sebatas apa yang dibelinya saja,
dalam batas-batas tertentu, seperti membaca atau mendengarkan. Dia
dilarang, berdasarkan Undang-undang Perlindungan Hak Cipta, untuk
memanfaatkannya dalam perkara-perkara lain, seperti mencetak, dan
menyalin untuk diperjualbelikan atau disewakan.
Konsep
copyright ada sejalan dengan ditemukannya mesin cetak. Sebelum penemuan
mesin cetak oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah
karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang sama dengan proses
pembuatan karya aslinya karena sama-sama melalui penulisan tangan.
Tetapi setelah adanya mesin cetak pembuatan salinan lebih mudah, lebih
cepat dan relatif murah. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah,
bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum
terhadap karya cetak yang dapat disalin. Sehingga pada awal keberadannya
hak cipta diberikan hanya kepada penerbit untuk menjual karya cetaknya
tanpa perantara kepada penulisnya.
Di
Indonesia sendiri, banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi
terhadap perundang-undangan tentang hak cipta. Perubahan undang-undang
ini tidak akan terlepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara
terutama dengan negara adidaya Amerika Serikat. Pada tahun 1958,
menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern atau dengan nama lain
Berne Convention for the Protection of Artistic and Literary Works
(Konvensi Bern tentang Perlindungan Karya Seni dan Sastra). Konvensi
yang diadakan pada tahun 1886 ini merupakan konvensi pertama tentang
masalah hak cipta di antara negara-negara yang berdaulat. Keluarnya
indonesia dari konvensi bern dengan tujuan agar para intelektual
Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing
tanpa harus membayar royalti. Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia
mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912
Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan mengeluarkan Undang-undang Hak Cipta
(UUHC) yang pertama kali diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1982
tentang Hak Cipta. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO), yang
mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Propertyrights - TRIPs ("Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak
Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah
meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui Keputusan Presiden Nomor 18
Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property
Organization Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO") melalui
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Bila
dikatakan bahwa pengaturan hak intelektual adalah untuk
menumbuhkembangkan dan menjaga kreativitas hingga lahir beragam inovasi.
Tapi justru dalam beberapa kasus, hak cipta yang menghasilkan hak paten
justru akan menghambat inovasi. Sejak 1875, perusahaan AT&T
mengumpulkan paten untuk mengamankan monopolinya dalam bidang telepon.
AT&T memperlambat pengenalan radio selama sekira 20 tahun. Di
Jepang, 45% perusahaan mendaftarkan paten dalam rangka mencegah
pengembangan, pembuatan, dan penjualan produk sejenis; 41% perusahaan
mendaftarkan paten untuk kepentingan defensif, yaitu paten terhadap
teknologi-teknologi yang perusahaan tersebut sendiri tidak punya rencana
untuk menggunakannya, tapi hanya ingin mencegah perusahaan lain agar
tidak menggunakannya; 10% perusahaan mendaftarkan paten dengan harapan
mendapat keuntungan dari pengaturan lisensinya.
Konsep
HKI sesungguhnya cara penjajahan Barat. Agar kaum muslimin tetap
tertinggal dalam bidang sain dan teknologi. Dan Penjajah Barat dapat
terus memperkaya diri dengan kedok HKI. Sebagai contoh, Mantan Menteri
Kesehatan Siti Fadhilah Supari menulis buku berjudul “Saatnya Dunia
Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung”. Buku tersebut
mengkritisi ketidakadilan rezim sharing virus yang telah dikembangkan
WHO. Indonesia yang menjadi Negara pengirim sampel virus flu burung
tidak mendapatkan bagian sepeserpun dari penjulan vaksin sebaliknya
harus membeli vaksin yang harganya mahal. Padahal bahan pembuatan vaksin
(yaitu virus) diambil dari Indonesia.
HKI dalam Tinjauan Islam
Islam
telah mengatur kepemilikan individu dengan suatu pandangan bahwa
kepemilikan tersebut merupakan salah satu penampakkan dari naluri
mempertahankan diri (gharizah baqa'). Atas dasar itu, Islam
mensyariatkan bagi kaum Muslim 'kepemilikan' untuk memenuhi naluri ini,
yang akan menjamin eksistensi dan kehidupan yang lebih baik. Islam
membolehkan bagi seorang Muslim untuk memiliki harta sebanyak-banyaknya,
seperti: binatang ternak, tempat tinggal, dan hasil bumi. Di sisi lain
Islam mengaharamkan seorang Muslim untuk memiliki barang-barang,
seperti: khamr, daging babi, dan narkoba. Islam telah mendorong seorang
Muslim untuk berfikir dan menuntut ilmu, begitu juga Islam membolehkan
seorang Muslim untuk mengambil upah karena mengajar orang lain. Islam
juga telah mensyariatkan bagi seorang muslim sebab-sebab yang dibolehkan
untuk memiliki suatu barang, seperti: jual-beli, perdagangan, dan
waris; dan mengharamkan seorang Muslim sebab-sebab (kepemilikan,
penerj.) lain (yang bertentangan dengan Islam, penerj.), seperti: riba,
judi, dan jual beli valas (tidak secara tunai dan langsung-penerj).
Kepemilikan
dalam Islam, secara umum diartikan sebagai ijin Syaari' (Allah) untuk
memanfaatkan barang. Sedangkan kepemilikan individu adalah hukum syara'
yang mengatur barang atau jasa yang disandarkan kepada individu; yang
memungkinkannya untuk memanfaatkan barang dan mengambil kompensasi
darinya. Kepemilikan individu dalam Islam tidak ditetapkan kecuali atas
dasar ketetapan hukum syara' bagi kepemilikan tersebut, dan penetapan
syara' bagi sebab kepemilikan tersebut. Karena itu, hak untuk memiliki
sesuatu tidak muncul dari sesuatu itu sendiri, atau manfaatnya; akan
tetapi muncul dari ijin Syaari' untuk memilikinya dengan salah satu
sebab kepemilikan yang syar'iy, seperti jual-beli dan hadiah.
Islam
telah memberikan kekuasaan kepada individu atas apa yang dimilikinya,
yang memungkinkan ia dapat memanfaatkannya sesuai dengan hukum syara'.
Islam juga telah mewajibkan negara agar memberikan perlindungan atas
kepemilikan individu dan menjatuhkan sanksi bagi setiap orang yang
melanggar kepemilikan orang lain.
Mengenai kepemilikan atas Pemikiran Baru, mencakup dua jenis dari kepemilikan individu. Pertama, sesuatu yang terindera dan teraba, seperti merk dagang dan buku. Kedua, sesuatu
yang terindera tetapi tidak teraba, seperti pandangan ilmiah dan
pemikiran jenius yang tersimpan dalam otak seorang pakar.
Apabila
kepemilikan tersebut berupa kepemilikan jenis pertama, seperti merk
dagang yang mubah, maka seorang individu boleh memilikinya, serta
memanfaatkannya dengan cara mengusahakannya atau menjual-belikannya.
Negara wajib menjaga hak individu tersebut, sehingga memungkinkan
baginya untuk mengelola dan mencegah orang lain untuk melanggar
hak-haknya. Sebab, dalam Islam, merk dagang memiliki nilai material,
karena keberadaanya sebagai salah satu bentuk perniagaan yang
diperbolehkan secara syar'iy. Merk dagang adalah Label Product yang
dibuat oleh pedagang atau industriawan bagi produk-produknya untuk
membedakan dengan produk yang lain, yang dapat membantu para pembeli dan
konsumen untuk mengenal produknya. Definisi ini tidak mencakup
merk-merk dagang yang sudah tidak digunakan lagi, sebagaimana oleh
sebagian undang-undang didefinisikan sebagai: “Merk apapun yang
digunakan atau merk yang niatnya hendak digunakan.” Sebab, nilai merk
dagang dihasilkan dari keberadaanya sebagai bagian dari aktivitas
perdagangan secara langsung. Seseorang boleh menjual merk dagangnya.
Jika ia telah menjual kepada orang lain, manfaat dan pengelolaannya
berpindah kepada pemilik baru.
Adapun
mengenai kepemilikan fikriyyah, yaitu jenis kepemilikan kedua, seperti
pandangan ilmiah atau pemikiran briliant, yang belum ditulis pemiliknya
dalam kertas, atau belum direkamnya dalam disket, atau pita kaset, maka
semua itu adalah milik individu bagi pemiliknya. Ia boleh menjual atau
mengajarkannya kepada orang lain, jika hasil pemikirannya tersebut
memiliki nilai menurut pandangan Islam. Bila hal ini dilakukan, maka
orang yang mendapatkannya dengan sebab-sebab syar'iy boleh mengelolanya
tanpa terikat dengan pemilik pertama, sesuai dengan hukum-hukum Islam. Hukum
ini juga berlaku bagi semua orang yang membeli buku, disket, atau pita
kaset yang mengandung materi pemikiran, baik pemikiran ilmiah ataupun
sastra. Demikian pula, ia berhak untuk membaca dan memanfaatkan
informasi-informasi yang ada di dalamnya. Ia juga berhak mengelolanya,
baik dengan cara menyalin, menjual atau menghadiahkannya, akan tetapi ia
tidak boleh mengatasnamakan (menasabkan) penemuan tersebut pada selain
pemiliknya. Sebab, pengatasnamaan (penisbahan) kepada selain
pemiliknya adalah kedustaan dan penipuan, di mana keduanya diharamkan
secara syar'iy. Oleh karena itu, hak perlindungan atas kepemilikan
fikriyyah merupakan hak yang bersifat maknawi, yang hak
pengatasnamaannya dimiliki oleh pemiliknya. Orang lain boleh
memanfaatkannya tanpa seijin dari pemiliknya. Jadi, hak maknawi ini
hakekatnya digunakan untuk meraih nilai akhlaq.
Adapun,
syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum-hukum positif, yang
membolehkan pengarang buku, atau pencipta program, atau para penemu
untuk menetapkan syarat-syarat tertentu atas nama perlindungan hak
cipta, seperti halnya hak cetak dan proteksi penemuan (patent),
merupakan syarat-syarat yang tidak syar'iy, dan tidak wajib terikat
dengan syarat-syarat tersebut. Sebab, berdasarkan akad jual-beli dalam
Islam, seperti halnya hak kepemilikan yang diberikan kepada pembeli,
pembeli juga diberi hak untuk mengelola apa yang ia miliki (yang telah
ia beli, penej.). Setiap syarat yang bertentangan dengan akad (syar'iy)
hukumnya haram, walaupun pembelinya rela meski dengan seratus syarat.
Dari 'Aisyah ra:
“Barirah
mendatangi seorang perempuan, yaitu seorang mukatab yang akan
dibebaskan oleh tuannya jika membayar 9 awaq (1 awaq=12 dirham=28 gr).
Kemudian Barirah berkata kepadanya, “Jika tuanmu bersedia, aku akan
membayarnya untuk mereka jumlahnya, maka loyalitas [mu] akan menjadi
milikku.” Mukatab tersebut lalu mendatangi tuannya, dan menceritakan hal
itu kepada mereka. Kemudian mereka menolak dan mensyaratkan agar
loyalitas [budak tersebut] tetap menjadi milik mereka. Hal itu kemudian
diceritakan 'Aisyah kepada Nabi saw. Rasulullah saw bersabda:
“Lakukanlah.” Kemudian Barirah melaksanakan perintah tersebut dan
Rasulullah saw berdiri, lalu berkhutbah di hadapan manusia. Beliau
segera memuji Allah dan menyanjung namaNya. Kemudian bersabda: “Tidak
akan dipedulikan, seseorang yang mensyaratkan suatu syarat yang tidak
sesuai dengan apa yang tercantum dalam Kitabullah.” Kemudian beliau
bersabda lagi:
كُلُّ
شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ
شَرْطٍ كِتَابُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ وَالْوَلاَءُ
لِمَنْ أَعْتَقَ
“Setiap
syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka syarat tersebut adalah
bathil. Kitabullah lebih berhak, dan syaratnya (yang tercantum dalam
Kitabullah) bersifat mengikat. Loyalitas dimiliki oleh orang yang
membebaskan.” (HR. Ibnu Maajah)
Mantuq
(teks) hadist ini menunjukkan bahwa syarat yang bertentangan dengan apa
yang tecantum dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul, tidak boleh diikuti.
Dan selama syarat perlindungan hak cipta menjadikan barang yang dijual
(disyaratkan) sebatas pada suatu pemanfaatan tertentu saja, tidak untuk
pemanfaatan yang lain, maka syarat tersebut adalah batal dan
bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebab,
keberadaannya bertentangan dengan ketetapan aqad jual-beli syar'iy yang
memungkinkan pembeli untuk mengelola dan memanfaatkan barang dengan cara
apapun yang sesuai syar'iy, seperti jual-beli, perdagangan, hibah, dan
lain-lain. Syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal adalah syarat
yang batil, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Kaum
Muslim terikat atas syarat-syarat mereka, kecuali syarat yang
mengharamkan sesuatu yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR.
Tirmidzi no 1403)
Oleh
karena itu, secara syar'iy tidak boleh ada syarat-syarat hak cetak,
menyalin, atau proteksi atas suatu penemuan. Setiap individu berhak atas
hal itu (memanfaatkan produk-produk intelektual). Pemikir, ilmuwan,
atau penemu suatu program, mereka berhak memiliki pengetahuannya selama
pengetahuan tersebut adalah miliknya dan tidak diajarkan kepada orang
lain. Adapun setelah mereka memberikan ilmunya kepada orang lain dengan
cara mengajarkan, menjualnya, atau dengan cara lain, maka ilmunya tidak
lagi menjadi miliknya lagi. Dalam hal ini, kepemilikinnya telah hilang
dengan dijualnya ilmu tersebut, sehingga mereka tidak berwenang melarang
orang lain untuk memanfaatkannya; yaitu setelah ilmu tersebut berpindah
kepada orang lain dengan sebab-sebab syar'iy, seperti dengan jual-beli
atau yang lainnya.
Adapun
peringatan yang tercantum pada beberapa 'disket komputer', yakni tidak
diperbolehkan mengcopy program; di mana pemiliknya telah melarang orang
lain untuk mengcopinya kecuali atas izinnya; berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
Kaum Muslim terikat atas syarat-syarat mereka dan sabda Beliau :
لا يحل مال أمرئ مسلم إلا بطيب نفسه
“tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dirinya”, (Hr. Daruquthni)
juga sabdanya :
“barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka ia adalah orang yang paling berhak”.
Maka
kesalahan 'peringatan' tersebut terletak pada pengumuman yang
menggunakan lafazd 'syarat-syarat mereka', tanpa ada pengecualian
sebagaimana yang telah dikecualikan oleh Rasul dengan sabdanya,
“…kecuali syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal…”. Dua hadits
terakhir tidak sesuai dengan manath kasus tersebut, sebab hadits,
'…tidak halal harta seseorang …”, manath-nya adalah harta milik orang
lain, sedangkan 'disket komputer' telah menjadi milik pembeli. Adapun
hadits, “barang siapa mendapatkan paling awal sesuatu yang mubah, maka
ia orang yang paling berhak,” manath-nya adalah harta milik umum,
sebagaimana hadits, “(Kota) Mina menjadi hak bagi siapa saja yang datang
lebih dahulu (untuk menempatinya)”. Sedangkan 'disket komputer'
tergolong kepemilikan individu.
Kesimpulan
- Istilah bajakan yang terkait HKI adalah sebuah istilah yang menyesatkan dan dibangun atas paradigm barat-sekuler
- Boleh hukumnya memamfaatkan (mengcopy, memperbanyak, menjual, menyewakan dsb) barang yang telah kita beli dengan cara syar’I tanpa harus terikat dengan syarat-syarat batil yang ditetapkan oleh UU HKI.
- Betapa penjajahan yang dilakukan Barat-Imperialis sudah begitu mengakar berurat ditubuh kaum muslimin hingga mereka tidak sadar bahwa mereka hakikatnya sedang terjajah tapi irorisnya mereka ‘menikmati’ penjajahan tersebut. Saatnya bangki dengan mabda Islam, Terapkan Syariah Tegakan Khilafah
Wallahu ‘alam
Wahyudi Abu Syamil Ramadhan
Yogyakarta, 8 Februari 2010


Tidak ada komentar