Dilema PKS
Kecenderungan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi moderat dalam
iklim demokrasi, Menurut Burhanudin Muhtadi disebabkan hukum yang
berlaku dialam demokrasi itu sendiri.
"Ada hukum besi demokrasi bahwa partai Islamis sekalipun, kalau masuk dalam alam demokrasi, akan mengalami proses moderasi, akan mengalami postmoderasi. PKS mengalami hal ini," katan Burhanuddin, dalam Peluncuran dan Diskusi buku 'Dilema PKS: Suara dan Syariah' di Auditorium TIK Nasional, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Selasa, (10/4).
Menurut Burhanuddin, PKS merupakan pengembangan dari gerakan Islam yang tumbuh di kampus-kampus. Para penggiatnya berasal dari kaum muda, tinggal di perkotaan, berpendidikan, dan punya pandangan keagamaan yang konservatif. Dalam perkembangannya, partai ideologis itu semakin membuka diri untuk merangkul segmen masyarakat yang lebih luas.
"Dulu, partai Islam dicitrakan antidemokrasi karena cenderung teokratik. Namun, ketika masuk dalam sistem demokrasi, PKS kemudian menjadi semakin moderat. Partai ini mampu mengawinkan Islam dan demokrasi," katanya.
Saat ini, jelas Burhanuddin, PKS berusaha sebagai partai electoralis dibanding partai ideologis. PKS berusaha menjadi partai terbuka dan meraup sebesar-besarnya simpati pemilih tidak hanya mereka yang ideologis. Namun juga masyarakat umum, bahkan yang non muslim sekalipun.
Pilihan tersebut ternyata yang membuat partai ini selalu menghadapi dilema dalam sistem pemerintahan Indonesia, termasuk dalam koalisi. "Apabila kegalauan ini terus terjadi di PKS, maka saya yakin partai ini akan selalu menghadapi dilema dalam sistem pemerintahan dan demokrasi," ujar Burhanuddin.
Burhanuddin menilai dilema dan kegalauan yang dihadapi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat ini akan menentukan partai ini mengalami post Islamisme. Post Islamisme ini menentukan posisi PKS menjadi Partai yang lebih meninggalkan kemasan-kemasan Islam dan lebih memilih citra politik yang dianggap lebih realistis.
"Dilema politik PKS adalah berusaha menggeser ke posisi 'tengah' bukan lagi sebagai 'kanan'," ujarnya.
Bahkan, upaya untuk tetap mempertahankan basis massa pendukungnya sambil meraih simpati dari publik lebih luas mempunyai resiko yang cukup besar. Jika berhasil, partai itu akan memperoleh dua segmen tersebut. Namun, jika gagal, kedua segmen itu bakal lepas.
"Kita uji saja ijtihad politik PKS dalam Pemilu 2014 nanti," katanya.
Sementara itu Ketua PP Muhammadiyah menilai, bahwa eksistensi PKS dialam demokrasi cukup mampu mempertahankan diri, meskipun penilaian buruk kini mudah menghampiri partai tersebut.
"PKS itu relatif bertahan, tapi tak rentan terhadap persepsi negatif, akan sangat tergantung pada managing isu konteks keindonesiaan," kata Din Syamsuddin.
Dalam acara itu, hadir juga Menkominfo Tifatul Sembiring, Burhanuddin Muhtadi, dan pengamat politik Fachri Ali.
PKS sendiri merupakan Partai berbasis ideologis yang berawal dari gerakan (harakah) dakwah Islam di kalangan kampus yang cenderung tertutup dan berpandangan konservatif. Kemudian membentuk diri menjadi sebuah partai dalam iklim demokrasi.[arrahmah/al-khilafah.org]
"Ada hukum besi demokrasi bahwa partai Islamis sekalipun, kalau masuk dalam alam demokrasi, akan mengalami proses moderasi, akan mengalami postmoderasi. PKS mengalami hal ini," katan Burhanuddin, dalam Peluncuran dan Diskusi buku 'Dilema PKS: Suara dan Syariah' di Auditorium TIK Nasional, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Selasa, (10/4).
Menurut Burhanuddin, PKS merupakan pengembangan dari gerakan Islam yang tumbuh di kampus-kampus. Para penggiatnya berasal dari kaum muda, tinggal di perkotaan, berpendidikan, dan punya pandangan keagamaan yang konservatif. Dalam perkembangannya, partai ideologis itu semakin membuka diri untuk merangkul segmen masyarakat yang lebih luas.
"Dulu, partai Islam dicitrakan antidemokrasi karena cenderung teokratik. Namun, ketika masuk dalam sistem demokrasi, PKS kemudian menjadi semakin moderat. Partai ini mampu mengawinkan Islam dan demokrasi," katanya.
Saat ini, jelas Burhanuddin, PKS berusaha sebagai partai electoralis dibanding partai ideologis. PKS berusaha menjadi partai terbuka dan meraup sebesar-besarnya simpati pemilih tidak hanya mereka yang ideologis. Namun juga masyarakat umum, bahkan yang non muslim sekalipun.
Pilihan tersebut ternyata yang membuat partai ini selalu menghadapi dilema dalam sistem pemerintahan Indonesia, termasuk dalam koalisi. "Apabila kegalauan ini terus terjadi di PKS, maka saya yakin partai ini akan selalu menghadapi dilema dalam sistem pemerintahan dan demokrasi," ujar Burhanuddin.
Burhanuddin menilai dilema dan kegalauan yang dihadapi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat ini akan menentukan partai ini mengalami post Islamisme. Post Islamisme ini menentukan posisi PKS menjadi Partai yang lebih meninggalkan kemasan-kemasan Islam dan lebih memilih citra politik yang dianggap lebih realistis.
"Dilema politik PKS adalah berusaha menggeser ke posisi 'tengah' bukan lagi sebagai 'kanan'," ujarnya.
Bahkan, upaya untuk tetap mempertahankan basis massa pendukungnya sambil meraih simpati dari publik lebih luas mempunyai resiko yang cukup besar. Jika berhasil, partai itu akan memperoleh dua segmen tersebut. Namun, jika gagal, kedua segmen itu bakal lepas.
"Kita uji saja ijtihad politik PKS dalam Pemilu 2014 nanti," katanya.
Sementara itu Ketua PP Muhammadiyah menilai, bahwa eksistensi PKS dialam demokrasi cukup mampu mempertahankan diri, meskipun penilaian buruk kini mudah menghampiri partai tersebut.
"PKS itu relatif bertahan, tapi tak rentan terhadap persepsi negatif, akan sangat tergantung pada managing isu konteks keindonesiaan," kata Din Syamsuddin.
Dalam acara itu, hadir juga Menkominfo Tifatul Sembiring, Burhanuddin Muhtadi, dan pengamat politik Fachri Ali.
PKS sendiri merupakan Partai berbasis ideologis yang berawal dari gerakan (harakah) dakwah Islam di kalangan kampus yang cenderung tertutup dan berpandangan konservatif. Kemudian membentuk diri menjadi sebuah partai dalam iklim demokrasi.[arrahmah/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar