Header Ads

Dekadensi Moral: Buah Liberalisme

Dekadensi moral kian menggerus bangsa ini. Tidak hanya menimpa kalangan bawah, akan tetapi juga sudah menjangkiti kalangan atas (baca: pejabat pemerintah).

Kasus yang menimpa para politisi bangsa ini semakin memperjelas betapa bobroknya moral para pemimpin bangsa ini.

Pada Desember 2006 lalu, Yahya Zaini terlibat kasus video mesum dengan penyanyi Maria Eva. Kemudian tahun 2008 muncul kasus Max Moein yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap sekretaris pribadinya, Desy Firdiyanti.

Selang beberapa tahun kemudian Arifinto tertangkap basah sedang membuka situs porno saat sidang paripurna berlangsung.

Baru-baru ini, pemberitaan kembali digemparkan oleh kasus video mesum yang pemainnya mirip anggota DPR Komisi IX.

Dekadensi moral kini sudah menjadi fenomena umum layaknya fenomena gunung es. Karena boleh jadi masih banyak kasus serupa yang belum terungkap.

Ironisnya ada beberapa kasus yang sudah sangat jelas merusak moral bangsa malah mendapatkan legitimasi dari pihak Badan Kehormatan (BK) DPR, seperti kasus mabuk-mabukan.

Hal ini senada dengan pernyataan anggota BK, Nudirman Munir bahwa mabuk-mabukan ‘tidak melanggar peraturan’ dan tidak dapat dikenai sanksi selama ia tidak mengganggu kepentingan umum.

Inilah potret Indonesia saat ini. Gaya hidup hedonis di kalangan elit politik tak lagi dipandang sebagai sebuah keganjilan, melainkan kewajaran yang sudah mendapat legitimasi sebagai sebuah keabsahan.

Kita pun semakin memahami bahwa standar benar dan salah saat ini relatif, tidak memiliki nilai mutlak. Wajar, jika benar dan salah tidak memiliki standar baku yang pasti.

Karena penentuan benar atau salahnya pun diserahkan kepada rakyat yang memiliki tingkat pemahaman dan kepentingan yang berbeda. Dengan kata lain, pembuatan hukum diserahkan sepenuhnya kepada rakyat yang direperesentasikan oleh para wakil rakyat (kedaulatan berada di tangan rakyat).

Kedaulatan berada di tangan rakyat merupakan konsep demokrasi yang tengah dianut Indonesia saat ini, dan dengan sistem pemerintahannya yaitu kapitalisme.

Karena manusia yang memiliki kedaulatan, maka manusia memiliki kebebasan dalam segala hal termasuk membuat hukum. Paham kebebasan (liberalisme) inilah yang kemudian menjadikan kebenaran itu bersifat relatif, sehingga setiap orang memiliki standar perbuatannya masing-masing.

Wajar, jika sesuatu yang melanggar norma pun masih dianggap 'tidak melanggar peraturan', seperti apa yang dikatakan Nudirman Munir.

Selain itu dengan asasnya kapitalisme-sekulerisme, peraturan yang dibuat hanya berdasarkan asas-manfaat semata tanpa memperhatikan benar atau salah.

Menjadi sebuah kelaziman pula jika saat ini lahir peraturan-peraturan yang menjamin dan memperbolehkan semua ekspresi kebebasan dengan batasan asal tidak melanggar kebebasan orang lain dan asal tidak mengganggu kepentingan umum.

Slogan kebebasan ini nampaknya sudah merasuki pemikiran masyarakat hingga dekadensi moral pun tak dapat dibendung lagi. Apabila sudah seperti ini, akan berapa banyak lagi generasi yang rusak karenanya?

Ironis, di negara yang mayoritasnya muslim seperti di Indonesia. Perilaku yang ditampakan kaum muslimnya sendiri sangat jauh dari sosok yang berkepribadian Islam.

Islam kemudian ditanggalkan, dibiarkan terbungkus rapi dan tidak diaktualisasikan dalam kehidupan. Kini tidak dapat dihindari lagi eksistensi masyarakat dengan segala atribut kemanusiaanya tidak akan lagi terjaga.

Di sini perlu kiranya kita sama-sama memahami, merubah pola pikir kita dan menyatukan paradigma berpikir bahwasanya liberalisme merupakan penyakit yang sangat mematikan.

Akankah kita diam membiarkan penyakit itu hingga imunitas kita terkikis karenanya? Sebuah penyakit tentu membutuhkan obat untuk menyembuhkannya, dan obat yang paling manjur yaitu mencabut sumber penyakitnya.

Walhasil, liberalisme sebagai salah satu pilar sistem sekulerisme-kapitalisme dengan sistem politiknya yakni demokrasi harus segera ditanggalkan dan mengganti dengan sebuah sistem dengan peradabannya yang luhur dan agung.

Sistem ini ti ada lain adalah sistem pemerintahan Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyyah.

Khilafah yang kemudian akan menjaga moral warga negaranya dari ide-ide sepilis (sekulerisme-pluralisme-liberalisme) yang membahayakan. Selain itu tidak akan ada lagi standar kebenaran yang bersifat relatif, karena Islam meletakkan kedaulatan pada hukum Syara'.

*Penulis adalah Mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia dan Aktivis Komunitas Muslimah Pembebas Generasi

Rismayanti Nurjannah
Jl. Geger Kalong Girang, Bandung
rismayantinurjannah@yahoo.co.id
082115632175
[detiknews/al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.