Deradikalisasi: Alat Asing Menghambat Kebangkitan Umat
Deradikalisasi: Alat Asing Menghambat Kebangkitan Umat
Oleh Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Jatim)
Sejak tahun 1991, isu perang melawan
terorisme tidak pernah surut, bahkan tetap aktual hingga sekarang. Isu ini
sengaja di-update terus-menerus
oleh negara imperialis dan antek-anteknya untuk beberapa tujuan. Beberapa
tujuan penting isu perang melawan terorisme adalah dijadikan alasan umum untuk
memerangi pemikiran, organisasi, atau perjuangan yang berusaha melawan
ideologi, kepentingan ekonomi-politik, dan imperialisme Barat atas
negeri-negeri kaum Muslim. Dengan kata lain, isu perang melawan terorisme
sejatinya dimaksudkan untuk mengokohkan penjajahan dan dominasi Barat atas
negeri-negeri kaum Muslim.
Negara yang getol untuk memerangi
terorisme adalah Amerika Serikat (AS). Moementum keruntuhan gedung WTC 11 Maret
2001 dijadikan modal awal untuk menyebarluaskan yang mereka sebut dengan perang
melawan teroris. Istilah lainnya War on Terorisme (WOT). Presiden Gorge W.Bush
ketika itu langsung mengumumkan “either you with us or with terorist”—Anda
bersama kami atau bersama teroris—. Jika ada negara yang tidak tunduk pada
kepentingan AS maka negara tersebut bersama teroris. Ganjarannya mereka akan
dihancurkan dan dibombardir (seperti di Irak, Afghanistan, dan Pakistan).
Padahal alasan sesungguhnya AS ingin menghegemoni negara itu. Inilah topeng AS
untuk menutupi kebusukannya. Seolah-olah mereka penjaga dan polisi dunia.
Terkait upaya WOT, AS tidaklah
sendiri. AS begitu aktif mengadakan forum-forum pengkajian dan analisis
penyebab terorisme. AS juga mendatangi forum-forum tingkat dunia untuk
mengampanyekan WOT. Indonesia semenjak presiden Megawati sudah turut serta
dalam WOT. Apalagi Indonesia diguncang bom Bali 1(2002) dan Bom Bali 2 (2005).
Setelah itu pun terjadi rentetan pengeboman di daerah-daerah. Ada juga bom di
depan kedubes AS, hotel JW Marriot (2009), bom di GBSI Solo (2011), bom di
masjid az-Zikra Cirebon (2011), dan lainnya. Semua peristiwa itu makin
menegaskan bahwa tawaran AS terkait WOT betul-betul membahayakan Indonesia. Tak
mengherankan jika pemerintah Indonesia mengeluarkan produk berupa UU terkait
keamanan negara. UU itu adalah UU Anti Teroris, UU Intelejen, dan RUU Keamanan
Nasional, dan lainnya. Pemerintah pun mengeluarkan Perpres No.46 tahun 2010
tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). BNPT merupakan lembaga
non kementrian yang bertanggung jawab kepada presiden. Tugas BNPT difokuskan
pada deradikalisasi dan upaya penanggulangan tindakan terorisme. Cara-cara yang
ditempuh lebih akomodatif, lembut, dan penuh dialogis. Selain BNPT ada juga
Densus 88 melalui Kepres No 52/2010 Agustus 2010 Densus 88 AT sebagai pasukan
khusus penangkapan teroris.
Deradikalisasi?
Secara bahasa deradikalisasi
berasal dari kata radikal yang mendapat imbuhan de dan akhiran isasi.
Radikal berasal dari kata radix yang dalam bahasa Latin artinya akar.
Jika ada ungkapan “gerakan radikal” maka artinya gerakan yang mengakar
atau mendasar, yang bisa berarti positif atau negatif. Dalam kamus, kata
radikal memiliki arti; mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap
politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam
berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I.2008). Dalam pengertian ini,
sebuah sikap “radikal” bisa tumbuh dalam entitas apapun; tidak mengenal agama,
batas teritorial negara, ras, suku dan sekat lainya.
Adapun dalam konteks isu terorisme,
radikal pemaknaannya sangat stereotif, over simplikasi dan subyektif.
Label radikal kini di lekatkan kepada individu atau kelompok Muslim yang
memiliki cara padang serta sikap keberagamaan dan politik yang kontradiksi
dengan mainstream (arus utama). Dengan katagorisasi sebagai alat
identifikasi, “radikal” adalah orang atau kelompok yang memiliki
prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan
pemikirannya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI
dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama,
memperjuangkan formalisasi syariah dalam negara, menggangap Amerika Serikat
sebagai biang kezaliman global.
Maka dari itu, yang dimaksud deradikalisasi
adalah upaya untuk mengubah sikap dan cara pandang di atas yang dianggap keras
(dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis,
moderat dan liberal. Hal senada juga sama dengan yang penyampaian BNPT. BNPT
mendefinisikan deradikalisasi adalah upaya menetralisir paham radikal bagi
mereka yang terlibat teroris dan para simpatisannya serta anggota masyarakat
yang telah terekspos paham-paham radikal, melalui reedukasi dan resosialisasi
serta menanamkan multikuralisme.
Jika demikian adanya, maka
deradikalisai sangat berbahaya bagi umat Islam. Umat Islam yang sejatinya
mempunyai ideologi dan aturan yang jelas dikebiri pemahamannya kepada Islam.
Hal ini menunjukkan jika agenda deradikalisasi akan menyasar umat Islam bahkan
akan menimbulkan konflik baru. Konflik itu akan muncul sebagai akibat saling
fitnah, saling tuduh radikal, adu domba, dan pemahaman Islam yang salah. Yang
jelas umat islam baik individu maupun gerakan yang menginginkan kebangkitan
Islam akan dihadang. Bahkan dihalangi agar cita-citanya dikubur dalam-dalam.
Siapa di balik Deradikalisasi?
Program “deradikalisasi“ yang dicanangkan
oleh BNPT dan beberapa ulama di Indonesia yang awalnya dimaksudkan untuk
mempersatukan umat, justru akan menimbulkan perpecahan di kalangan ummat Islam.
Jika ditelaah lebih dalam, program deradikalisasi ini sama dengan roadmap
RAND Corporation yang merupakan NGO (Non Governmental Organization),
sebuah LSM dari Amerika Serikat. Lembaga ini dibiayai kebanyakan konglomerat
Yahudi. Hasil temuannya sering dijadikan pedoman sikap pemerintah AS. Salah
satu program terpopulernya adalah war on terrorism atau perang melawan
teroris. Sebagaimana ditulis dalam monografi terbitan RAND Corporation (2007)
yang ditulis oleh Angel Rabasa, Cheryl Benard, Lowell H.Schwartz, dan
Peter Sickle dengan judul “Building Moderate Muslims Networks“.
“Radical and
dogmatic interpretations of Islam have gained ground in recent years in many
Muslim societies via extensive Islamist networks spanning the Muslim world and
the Muslim Diaspora communities of North America and Europe. Although a
majority throughout the Muslim world, moderates have not developed similar
networks to amplify their message and to provide protection from violence and
intimidation. With considerable experience fostering networks of people
committed to free and democratic ideas during the Cold War, the United States
has a critical role to play in leveling the playing field for Muslim moderates.
The authors derive lessons from the U.S. and allied Cold War network-building
experience, determine their applicability to the current situation in the
Muslim world, assess the effectiveness of U.S. government programs of
engagement with the Muslim world, and develop a “road map” to foster the
construction of moderate Muslim networks.”
“Penafsiran radikal dan dogmatis Islam telah
mendapatkan tempat dalam beberapa tahun terakhir di kalangan ummat Islam
melalui jaringan Islam dunia dan Diaspora Muslim masyarakat Amerika Utara dan
Eropa. Meskipun mayoritas di seluruh dunia Muslim, kaum moderat belum
mengembangkan jaringan yang sama untuk memperkuat pesan mereka dan untuk
memberikan perlindungan dari kekerasan dan intimidasi. Dengan pengalaman yang
cukup, membina jaringan orang-orang berkomitmen untuk ide-ide bebas dan
demokratis selama Perang Dingin. Amerika Serikat memiliki peran penting sebagai
pengatur permainan dalam “lapangan bermain“ untuk Muslim moderat. Para
penulis mendapatkan pelajaran dari AS dan sekutu Perang Dingin, jaringan
bangunan pengalaman, menentukan penerapan mereka untuk situasi saat ini di
dunia Islam, menilai efektivitas program pemerintah AS, keterlibatan dengan
dunia Muslim, dan mengembangkan peta jalan untuk mendorong pembangunan jaringan
Muslim moderat.”
Hal yang sama disampaikan dalam laporan ringkasan (summary)
Rand “Deradicalizing Islamict Extremist” (2010) oleh Angel Rabasa, Stacie
L.Pettyjhon, Jeremy J.Ghez, Christoper Boucek
”There is
an emergent consensus among counterterrorism analysts and practitioners that to
defeat the threat posed by Islamist extremism and terrorism, there is a need to
go beyond security and intelligence measures, taking proactive measures to
prevent vulnerable individuals from radicalizing and rehabilitating those who
have already embraced extremism. This broader conception of counterterrorism is
manifested in the counter- and deradicalization programs of a number of Middle
Eastern,
Southeast Asian, and European countries.
A key
question is whether the objective of these programs should be disengagement or
deradicalization of militants. Disengagement entails a change in behavior
(i.e., refraining from violence and withdrawing from a radical organization)
but not necessarily a change in beliefs. A person could exit a radical
organization and refrain from violence but nevertheless retain a radical
worldview. Deradicalization is the process of changing an individual’s belief
system, rejecting the extremist ideology, and embracing mainstream values.”
“Ada sebuah konsensus muncul di antara analis
kontraterorisme dan praktisi bahwa untuk
mengalahkan ancaman yang
ditimbulkan oleh ekstremisme Islam
dan terorisme, ada kebutuhan untuk
melampaui keamanan dan intelijen tindakan,
mengambil langkah-langkah proaktif untuk
mencegah individu yang rentan dari radikalisasi dan merehabilitasi mereka yang sudah memeluk ekstremisme. Konsepsi yang lebih luas kontraterorisme diwujudkan dalam program
kontra-dan deradicalization dari sejumlah Tengah Timur, Asia
Tenggara, dan negara-negara Eropa.
Pertanyaan
kunci adalah
apakah tujuan dari program ini
harus menjadi pelepasan atau deradicalization militan.
Pelepasan memerlukan perubahan perilaku
(yaitu, menahan diri dari kekerasan dan menarik dari organisasi radikal) tetapi belum tentu perubahan keyakinan. Seseorang bisa keluar dari organisasi
radikal dan menahan diri dari kekerasan
tapi tetap mempertahankan pandangan radikal. Deradicalization
adalah proses mengubah sistem
kepercayaan individu, menolak ekstremis
ideologi, dan merangkul nilai-nilai utama.”
Setali tiga uang dengan Rand
Corporation. ICG (International Crisi Group) juga ada di balik proyek
deradikalisasi. ICG memang fokus pada persoalan teroris di Asia tenggara
khususnya Indonesia. Hal ini sebagaimana laporan mereka “Indonesian Jihadism:
Small Groups Big Plans” Asian Report No204
19 April 2011. ICG memberikan rekomendasi kepada BNPT dan Menteri Hukum dan
HAM. Berikut cuplikan dalam dokumen tersebut dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Kepada
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
1.
Segera mulai merancang program-program pencegahan:
a)
Menugaskan sebuah tim penelitian kecil untuk menelusuri berkas perkara dari
seluruh ekstrimis yang telah ditangkap hingga saat ini, menyusun sebuah
database berisi daftar masjid, sekolah, dan institusi lain yang berulang kali
mengadakan ceramah-ceramah, pertemuan-pertemuan dan pengajian-pengajian yang
melibatkan individu-individu yang kemudian ditangkap atas kasus terorisme. Dari
database ini, kemudian mengidentifikasi lima atau enam komunitas yang akan
dilakukan pilot project upaya pencegahan.
b) Mengadakan
serangkaian sesi-sesi kecil brainstorming, bukan dengan pemuka agama
atau politisi, tapi dengan para scholar yang mempelajari gerakan radikal dan
mereka yang bisa menelurkan ide-ide mengenai program-program yang mungkin dapat
dilakukan. Serangkaian diskusi focus group di daerah-daerah sasaran untuk
menilai kesadaran mengenai persoalan ini dan bagaimana menanganinya juga akan
bermanfaat, begitu juga dengan bicara dengan pakar commercial marketing
yang telah melakukan riset pasar di komunitas-komunitas ini untuk mengetahui
himbauan-himbauan semacam apa yang paling efektif.
c)
Menyusun sebuah ringkasan yang mengkompilasikan program-program pencegahan yang
telah dicoba di negara-negara lain. Mereka yang ikut dalam sesi brainstorming
harus membaca kompilasi ini dan membahas apa yang mungkin bisa diadaptasi
dalam situasi macam di Indonesia dan bagaimana caranya.
d)
Mengumpulkan contoh-contoh komunitas di Indonesia yang telah menolak
khotbah-khotbah ekstrimis, untuk memahami bagaimana protes tersebut berkembang
dan bagaimana keputusan dibuat, dengan maksud mendorong sikap yang sama di
daerah lain.
2.
Membuat video tentang para remaja (identitasnya disamarkan) yang menyesali
perbuatannya, yang telah ditangkap atas kasus terorisme dan bisa bicara di
depan kamera mengenai aib yang mereka timbulkan bagi keluarga mereka dan juga
bagaimana mereka bisa berbuat kesalahan. Wawancara dengan anggota keluarga,
identitasnya juga disamarkan, mengenai masalah yang harus mereka hadapi dengan
penangkapan anak mereka juga akan bermanfaat. Video-video ini harus diuji terlebih
dahulu kepada penonton remaja sebelum ditayangkan lebih luas di daerah-daerah
sasaran.
3.
Mengadakan diskusi-diskusi kecil dan tertutup dengan kepala sekolah SMP-SMP dan
SMA-SMA di daerah sasaran untuk:
a)
Memahami panduan apa saja yang diberikan ke guru-guru yang mengawasi
program-program ekstra kurikuler agama dan bagaimana panduan itu bisa
diperbaiki untuk memastikan bahwa program-program ini tidak mendorong
ekstrimisme atau mendukung kekerasan;
b)
Memahami bagaimana para guru pengawas ini dipilih dan bagaimana agar bisa
memasukkan upaya-upaya pencegahan terhadap ekstrimisme ke dalam proses seleksi;
c)
Memastikan bagi para kepala sekolah yang khawatir terhadap kegiatan keagamaan
di sekolah yang bisa mendorong aksi kekerasan memiliki berbagai pilihan yang
bisa diambil, termasuk mengganti guru pengawas atau menghentikan kegiatan
ekstrakurikuler yang mendukung ekstrimisme kekerasan tersebut;
d)
Memastikan bahwa ada catatan yang mendetil mengenai pihak-pihak luar untuk
kegiatan ekstrakurikuler yang menggunakan fasilitas sekolah.
4.
Mencari jalan untuk mengaudit dana yang dikumpulkan oleh organisasi-organisasi
jihadi untuk berbagai tujuan – bantuan bencana alam, sedekah untuk fakir
miskin, bantuan bagi keluarga mujahid yang dipenjara – dan mengekspos apabila
ada penyimpangan-penyimpangan atau penyalahgunaan.
5.
Memastikan kesadaran yang lebih besar mengenai trend dalam jihadisme dan
perubahan yang diakibatkan dalam taktik dan sasaran mereka dengan cara:
a)
Mempekerjakan ahli bahasa Arab yang memiliki minat dalam pembangunan ideologi;
b)
Membangun kontak dengan mitrakerja di Timur Tengah untuk memahami trend-trend
baru dalam jihadisme yang mungkin akan masuk ke Indonesia lewat
terjemahan-terjemahan;
c)
Mengidentifikasi risalah-risalah revisionis jihadi yang mungkin bermanfaat
untuk disebarkan ke komunitas jihadi Indonesia.
6.
Berbagi hasil penelitian dalam Rekomendasi 1 diatas, dengan
organisasi-organisasi sosial besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dan
menyediakan dana bagi proposal-proposal yang dirancang dengan baik yang bisa
dilaksanakan oleh kelompok-kelompok pemuda dan pelajar/mahasiswa bersama dengan
anggota mereka, yang bertujuan mencegah advokasi kekerasan di daerah-daerah
yang memiliki sejarah kegiatan ekstrimis.
Kepada
Menteri Hukum dan HAM:
7.
Mempertimbangkan untuk merancang sebuah peraturan baru mengenai pembebasan
bersyarat yang akan melarang siapapun yang dihukum karena kejahatan terorisme
untuk berbicara, mengadakan atau menjadi narasumber pengajian-pengajian atau
taklim, setidaknya selama masa percobaan mereka.
8.
Memperkuat program-program yang saat ini sedang berjalan untuk memperbaiki
training bagi petugas penjara; memantau dan mengawasi tahanan beresiko tinggi;
dan program-program paska bebas.
9.
Memberi prioritas tinggi kepada program-program yang berupaya untuk mengurangi
tingkat korupsi dalam penjara yang begitu tinggi, termasuk lewat inspeksi yang
lebih baik; training yang lebih baik, audit yang lebih baik, dan pengangkatan
para sipir yang berdasarkan kecakapan, bukan uang.
Maka semakin memperjelas jika asing
berada di balik deradikalisasi di Indonesia. Mereka memaksakan kehendaknya
melalui antek-antek penguasa. Kemudian penguasa mewujudkan dengan membentuk
badan penanggulangan terorisme dengan menggandeng intelektual, tokoh agama,
LSM, dan lainnya. Jika demikian adanya, hal ini menunjukan jika Indonesia tidak
berdaulat. Indonesia didekte secara politik oleh asing. Justru semakin
membuktikan bahwa Indonesia dalam cengkraman kapitalisme global AS.
Bahaya Deradikalisasi
Deradikalisasi cukup berbahaya untuk umat
Islam karena berpotensi menyimpang, melahirkan tafsiran-tafsiran yang
menyesatkan terhadap nash-nash syariah, membangun pemahaman yang konstruksi
dalil dan argumentasi (hujah)-nya lemah, menyelaraskan nash-nash syariah
terhadap realitas sekular dan memaksakan dalil mengikuti konteks aktualnya.
Contohnya adalah upaya tahrif (penyimpangan) pada makna jihad, tasamuh
(toleransi), syura dan demokrasi, hijrah, thagut, muslim
dan kafir, ummat[an] washat, klaim kebenaran, doktrin konspirasi (QS
al-Baqarah [2]: 217) serta upaya mengkriminalisasi dan monsterisasi terminologi
Daulah Islam dan Khilafah.
Selain itu, umat akan terpecah-belah dengan
kategorisasi radikal-moderat, fundamentalis-liberal, Islam ekstrem-Islam
rahmatan, Islam garis keras-Islam toleran dan istilah lainya yang tidak ada
dasar pijakannya dalam Islam. Hal ini mirip seperti langkah Orentalis
memecah-belah umat Islam dengan memunculkan istilah “Islam putihan”
(berasal dari bahasa arab: muthi’an/taat) dan “Islam abangan” (aba’an/pengikut/awam).
Umat Islam yang taat ditempatkan sebagai musuh karena membahayakan penjajahan.
Bahaya deradikalisasi berikutnya
adalah: menyumbat langkah kebangkitan Islam serta menjadikan umat jauh dari
pemahaman dan sikap berislam yang kaffah dalam seluruh aspek kehidupan
mereka. Pada akhirnya umat tidak mampu menjadikan Islam sebagai akidah dan
syariah secara utuh serta sebagai pedoman spiritual dan kehidupan politik. Maka
dari itu, bisa disimpulkan bahwa deradikalisasi sesungguhnya adalah upaya
deislamisasi terhadap mayoritas umat Islam yang menjadi penghuni negeri ini.
Lebih dari itu, deradikalisasi
melahirkan bahaya (dharar) lain, yakni langgengnya imperialisme Barat di
negeri Indonesia atas nama GWOT, HAM, demokrasi, pasar bebas, dan perubahan
iklim. Bahaya yang lebih besar dari deradikalisasi adalah tetap bercokolnya
sistem sekular dengan demokrasinya serta semakin terjauhkannya sistem Islam.
Padahal jelas, selama ini demokrasi dan sekularisme telah menjerumuskan umat
Islam ke dalam jurang kehidupan yang sempit dalam seluruh aspeknya. Umat jauh
dari kebahagiaan lahir-batin. Mereka jatuh ke dalam kubangan peradaban
materialisme dan kerusakan moral yang luar biasa. Yang paling dasyat tentu saja
mereka bisa-bisa akan kembali ke haribaan Allah SWT dalam keadaan nista.
Upaya pencegahan
Ketika umat mulai paham bahaya
deradikalisasi maka upaya pencegahannya adalah:
Pertama, edukasi terkait pemahaman Islam yang benar harus
diperankan dengan benar. Ulama’ berperan dalam hal ini. Tentunya ulama’ akhirat
bukan ulama’ yang menjual agamanya untuk kepentingan duniawi. Ulama’ juga harus
menggandeng intlektual untuk pemahaman fakta deradikalisasi. Sehingga fakta di
lapangan dapat disikapi dengan dalil yang benar.
Kedua, menggalang dukungan kepada pemegang kebijakan (DPR,
Kepolisian, Angkatan Bersenjata, dll) yang tentunya mereka adalah muslim.
Kepada mereka disampaikan untuk memiliki tanggung jawab kepada Allah dalam
melindungi agama dan umat Islam.
Ketiga, perang opini dan perang pemikiran di media massa
(elektronik dan cetak). Penjelasan opini menjelaskan bahaya deradikalisasi dan
upaya untuk menghalangi umat Islam. Umat dicerdaskan dengan Islam ideologis dan
acaman dibalik penghancuran agama Islam.
Keempat, pergerakan Islam yang menginginkan tegaknya Syariah
dan Khilafah berjuang dengan sungguh-sungguh. Upaya deradikalisasi merupakan
kekalahan ideologi selain Islam (kapitalisme dan Sosialisme). Hal ini
membuktikan bahwa Syariah dan Khilafah betul terwujud dan kebenaran perjuangan
ini. Mereka harus berpegang teguh pada manhaj Rasulullah dalam berjuang untuk
mewujudkannya.
Kelima, seluruh komponen umat (individu, kelompok, dan
lainnya) ikut berkontribusi dalam shiroul fikry (perang pemikiran) dan Kasyful
khuttot (menyingkap makar musuh-musuh Islam). karena pada hakekatnya Islam
tidak akan pernah dipisahkan dari umatnya. Hidup dan mati umat ini hanya untuk
Islam sebagai konsekuensi syahadat mereka.
Keenam, ada upaya jangka panjang ketika saat ini tiada
satu pun negara yang melindungi umat Islam dihancurkan bahkan dijadikan
bulan-bulanan orang-orang kafir. Maka Khilafah (sebagi negara global untuk umat
Islam) akan menghentikan semua makar orang-orang kafir dan anteknya. Yang lebih
memalukan mereka akan dihinakan jika tidak mau tunduk kepada Khilafah. Tentu
tiada pilihan lain selain Khilafah.
Kesimpulan
Jelaslah sudah bahwa deradikalisasi
berbahaya bagi umat. Selama ini BNPT terus melakukan upaya sosialisasi islam
rahmatan lil ‘alamin versi mereka. Tentu yang mereka inginkan adalah islam
moderat. Islam yang mau menerima ide-ide barat dan tidak mempersoalkannya. Jika
demikian penjajahan negara imprealisme akan semakin mencengkram Indonesia.
Umat yang sadar akan penjajahan ini
akan menuntut perubahan. Umat semakin memahami bahwa pemerintahan mereka tidak
lagi mengurusi umat. Karena hakikatnya mereka melayani kepentingan asing dengan
menyerahkan kekayaan alam, menghamba dan meminta perlindungan. Ini adalah bunuh
diri politik. Yang lebih aneh ketika pemahaman umat semakin meningkat kebutuhan
mereka diatur oleh Islam. Alih-alih pemerintah merespon dengan tangan terbuka.
Justru yang terjadi melakukan penghambatan agar umat lupa cita-cita besarnya,
yaitu diatur syariah dalam bingkai Khilafah.
Ketika orang-orang kafir (asing)
melakukan makar untuk menghadang kebangkitan umat. Niscaya makar itu akan
gagal. Kerugianlah yang mereka dapatkan. Bagitu pula dengan penguasa anteknya
akan mendapatkan kehinaan.
وَقَدْ مَكَرُوا
مَكْرَهُمْ وَعِنْدَ اللَّهِ مَكْرُهُمْ وَإِنْ كَانَ مَكْرُهُمْ لِتَزُولَ مِنْهُ
الْجِبَالُ
Dan sesungguhnya mereka telah
membuat makar yang besar padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu.
Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat
lenyap karenanya.(Ibrahim:46)
وَمَكَرُوا مَكْرًا
وَمَكَرْنَا مَكْرًا وَهُمْ لا يَشْعُرُونَ
Dan merekapun merencanakan
makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka
tidak menyadari.(An-Naml:50)
Ketika asing ingin memadamkan cahaya Islam
yang sudah diinginkan umat. Maka cahaya itu tidak akan padam. Sebaliknya mereka
akan mendapatkan kehinaan dan ideologi yang mereka perjuangakan akan digantikan
dengan Islam. Itulah janji Allah. Serta menunjukkan keagungan ideologi Islam
dan penerapannya oleh Khilafah.
يُرِيدُونَ أَنْ
يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ
وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
Mereka berkehendak memadamkan
cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak
menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir
tidak menyukai (at-taubah 32).
Skema Deradikalisasi dan WOT |
Tidak ada komentar