Hukum Membuat Qunut Nazilah Redaksi Sendiri
Tanya :
Ustadz, bolehkah kita membuat redaksi doa qunut nazilah sendiri (tidak berasal dari riwayat hadits)? Jika boleh, apakah itu tidak bertentangan dengan hadits Nabi SAW yang melarang adanya ucapan manusia dalam shalat? (Hamba Allah, Binong).
Jawab :
Boleh membuat doa qunut nazilah dengan redaksi buatan sendiri, dengan syarat doa tersebut tidak menyalahi nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kebolehan itu berdasarkan hadits Rifa`ah bin Rafi’ RA, dia berkata,”Aku pernah shalat di belakang Rasulullah SAW, lalu aku bersin. Aku pun berdoa,”Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiihi kamaa yuhibbu rabbuna wa yardha [Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak lagi baik dan diberkati, sebagaimana yang dicintai dan diridhai Rabb kita].” Setelah selesai shalat, Nabi SAW bertanya,”Siapa tadi yang berbicara dalam shalat?” Tak seorang pun menjawab. Nabi SAW bertanya untuk kedua kalinya dan tak seorang pun menjawab. Lalu Nabi SAW bertanya untuk ketiga kalinya, maka Rifa’ah menjawab,”Saya wahai Rasulullah.” Nabi SAW lalu berkata,”Sungguh ucapan itu telah diperebutkan oleh tigapuluh ribu lebih malaikat untuk dibawa naik [ke langit].” (HR Bukhari, Nasa`i dan Tirmidzi).
Imam Syaukani berkata,”Hadits ini dapat dijadikan dalil bolehnya membuat dzikir yang tidak diriwayatkan dari Nabi (ghairu ma`tsur) dalam shalat, asalkan dzikir itu tidak menyalahi apa yang diriwayatkan dari Nabi (ma`tsur).” (Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 472).
Berdasarkan itu, boleh orang membuat doa qunut nazilah dengan redaksi buatan sendiri, yakni yang tidak diriwayatkan dari Nabi (ghairu ma`tsur). Namun kebolehan ini disertai syarat doa itu tak boleh menyalahi apa yang diriwayatkan dari Nabi (ma`tsur), sebab terdapat nash yang melarang doa seperti itu. Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW berdiri hendak shalat, maka kami pun berdiri bersama beliau. Seorang Arab Badui berdoa dalam shalatnya,’Allahummarhamnii wa muhammadan wa laa tarham ma’anaa ahadan.’ [Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad, tapi janganlah Engkau beri rahmat seorang pun di luar kami]. Setelah salam, Nabi SAW berkata kepada orang Arab Badui itu,”Sungguh kamu telah menyempitkan sesuatu yang luas.” Maksud Nabi, sesuatu yang luas itu adalah rahmat Allah.” (HR Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i). Dalam hadits ini terdapat larangan berdoa dengan doa yang menyalahi apa yang diriwayatkan dari Nabi (ma`tsur) dalam nash Al-Qur`an atau As-Sunnah. Sebab sudah jelas dalam banyak nash bahwa rahmat Allah itu meliputi segala sesuatu. Maka tak layak seseorang menyempitkan sesuatu yang sudah diluaskan oleh Allah dan mengkhususkannya hanya untuk dirinya tanpa menyertakan saudara-saudaranya dari kaum muslimin.
Memang ada sabda Nabi SAW,”Sesungguhnya shalat ini tidak layak di dalamnya ada sesuatu dari ucapan manusia. Hanyalah shalat itu [berisi] tasbih, takbir, dan qiroah Al-Qur`an.” (HR Ahmad, Muslim, Nasa`i, dan Abu Dawud). Dari hadits tersebut memang dapat disimpulkan suatu mafhum mukhalafah (pengertian kebalikan), yaitu selain dari tiga hal tersebut (tasbih, takbir, dan bacaan ayat Al-Qur`an), berarti tidak boleh diucapkan dalam shalat, termasuk doa qunut nazilah buatan sendiri. Tapi, mafhum mukhalafah ini tak dapat diamalkan, karena terdapat nash-nash yang membatalkan pengamalannya, di antaranya adalah nash hadits Rifa’ah bin Rafi’ di atas. Dalam hal ini kaidah ushul fiqih menegaskan : Laa yu’mal bi-mafhum al-mukhalafah idza warada nash min Al-Kitab wa As-Sunnah yu’aththiluhu. (Tak dapat diamalkan suatu mafhum mukhalafah, jika terdapat nash dari Al-Qur`an atau As-Sunnah yang membatalkannya) (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/200).
Kesimpulannya, membuat doa qunut nazilah dengan redaksi sendiri tetap boleh, dengan syarat doa tersebut tidak boleh menyalahi apa yang diriwayatkan dari Nabi (ma`tsur). Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 16 Juli 2011
M Shiddiq Al Jawi
Ustadz, bolehkah kita membuat redaksi doa qunut nazilah sendiri (tidak berasal dari riwayat hadits)? Jika boleh, apakah itu tidak bertentangan dengan hadits Nabi SAW yang melarang adanya ucapan manusia dalam shalat? (Hamba Allah, Binong).
Jawab :
Boleh membuat doa qunut nazilah dengan redaksi buatan sendiri, dengan syarat doa tersebut tidak menyalahi nash Al-Qur`an dan As-Sunnah. Kebolehan itu berdasarkan hadits Rifa`ah bin Rafi’ RA, dia berkata,”Aku pernah shalat di belakang Rasulullah SAW, lalu aku bersin. Aku pun berdoa,”Alhamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiihi kamaa yuhibbu rabbuna wa yardha [Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak lagi baik dan diberkati, sebagaimana yang dicintai dan diridhai Rabb kita].” Setelah selesai shalat, Nabi SAW bertanya,”Siapa tadi yang berbicara dalam shalat?” Tak seorang pun menjawab. Nabi SAW bertanya untuk kedua kalinya dan tak seorang pun menjawab. Lalu Nabi SAW bertanya untuk ketiga kalinya, maka Rifa’ah menjawab,”Saya wahai Rasulullah.” Nabi SAW lalu berkata,”Sungguh ucapan itu telah diperebutkan oleh tigapuluh ribu lebih malaikat untuk dibawa naik [ke langit].” (HR Bukhari, Nasa`i dan Tirmidzi).
Imam Syaukani berkata,”Hadits ini dapat dijadikan dalil bolehnya membuat dzikir yang tidak diriwayatkan dari Nabi (ghairu ma`tsur) dalam shalat, asalkan dzikir itu tidak menyalahi apa yang diriwayatkan dari Nabi (ma`tsur).” (Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hlm. 472).
Berdasarkan itu, boleh orang membuat doa qunut nazilah dengan redaksi buatan sendiri, yakni yang tidak diriwayatkan dari Nabi (ghairu ma`tsur). Namun kebolehan ini disertai syarat doa itu tak boleh menyalahi apa yang diriwayatkan dari Nabi (ma`tsur), sebab terdapat nash yang melarang doa seperti itu. Dari Abu Hurairah RA, dia berkata,”Rasulullah SAW berdiri hendak shalat, maka kami pun berdiri bersama beliau. Seorang Arab Badui berdoa dalam shalatnya,’Allahummarhamnii wa muhammadan wa laa tarham ma’anaa ahadan.’ [Ya Allah rahmatilah aku dan Muhammad, tapi janganlah Engkau beri rahmat seorang pun di luar kami]. Setelah salam, Nabi SAW berkata kepada orang Arab Badui itu,”Sungguh kamu telah menyempitkan sesuatu yang luas.” Maksud Nabi, sesuatu yang luas itu adalah rahmat Allah.” (HR Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, Nasa`i). Dalam hadits ini terdapat larangan berdoa dengan doa yang menyalahi apa yang diriwayatkan dari Nabi (ma`tsur) dalam nash Al-Qur`an atau As-Sunnah. Sebab sudah jelas dalam banyak nash bahwa rahmat Allah itu meliputi segala sesuatu. Maka tak layak seseorang menyempitkan sesuatu yang sudah diluaskan oleh Allah dan mengkhususkannya hanya untuk dirinya tanpa menyertakan saudara-saudaranya dari kaum muslimin.
Memang ada sabda Nabi SAW,”Sesungguhnya shalat ini tidak layak di dalamnya ada sesuatu dari ucapan manusia. Hanyalah shalat itu [berisi] tasbih, takbir, dan qiroah Al-Qur`an.” (HR Ahmad, Muslim, Nasa`i, dan Abu Dawud). Dari hadits tersebut memang dapat disimpulkan suatu mafhum mukhalafah (pengertian kebalikan), yaitu selain dari tiga hal tersebut (tasbih, takbir, dan bacaan ayat Al-Qur`an), berarti tidak boleh diucapkan dalam shalat, termasuk doa qunut nazilah buatan sendiri. Tapi, mafhum mukhalafah ini tak dapat diamalkan, karena terdapat nash-nash yang membatalkan pengamalannya, di antaranya adalah nash hadits Rifa’ah bin Rafi’ di atas. Dalam hal ini kaidah ushul fiqih menegaskan : Laa yu’mal bi-mafhum al-mukhalafah idza warada nash min Al-Kitab wa As-Sunnah yu’aththiluhu. (Tak dapat diamalkan suatu mafhum mukhalafah, jika terdapat nash dari Al-Qur`an atau As-Sunnah yang membatalkannya) (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/200).
Kesimpulannya, membuat doa qunut nazilah dengan redaksi sendiri tetap boleh, dengan syarat doa tersebut tidak boleh menyalahi apa yang diriwayatkan dari Nabi (ma`tsur). Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 16 Juli 2011
M Shiddiq Al Jawi
Tidak ada komentar