Header Ads

Kasus Simulator SIM : Polisi Bukan Superman

Oleh: Ali Mustofa Akbar

Sebuah negara membutuhkan adanya polisi (Asy-syurthoh). Institusi penegak hukum yang memiliki peran sentral dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Sangat repot tentunya apabila negara tanpa polisi, contoh ringan misal di jalan raya bakal menjadi kisruh ketika banyak pengemudi menyerobot rambu lalu lintas.



Apa saja tujuan berdirinya institusi Kepolisian? sebagaimana rumusan pasal 4 UU No 2 tahun 2002, memberikan isyarat bahwa substansi tujuan pokok didirikannya kepolisian ialah, Pertama: Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua: Menegakkan hukum. Ketiga: Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. (Bunga rampai ilmu kepolisian, Irjen Pol. Purn. Momo Kelana, M.si, 2002)

Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang begitu komplek, tugas kepolisian memang tidaklah mudah. Perlu kesiapan lahir bathin agar kinerja kepolisian berjalan optimal. Selama ini polisi sudah dipandang cukup miring oleh sebagian masyarakat karena kinerjanya yang mengecewakan, seperti halnya menyangkut kasus korupsi, suap menyuap, dsb. Bahkan Polisi “dipaksa” harus bentrok dengan masyarakat pada beberapa kejadian.

Kini citra Kepolisian kembali tercoreng, setelah mencuat kasus rekening gendut, akhir-akhir ini muncul kasus korupsi simulator SIM. Kasus yang menjadi rumit ketika KPK dan POLRI berebut dalam penanganannya. Pihak POLRI rela “pasang badan”, meski kasus rekening gendut sampai detik ini belum juga jelas juntrungannya.

Sebagaimana diberitakan, pada 27 Juli lalu KPK menetapkan Djoko Susilo, yang juga Gubernur Akademi Polisi Inspektur dan kawan-kawan sebagai tersangka kasus simulator SIM. KPK menduga Djoko menyalahgunakan kewenangan dalam proyek berbiaya Rp 196 miliar itu sehingga menimbulkan kerugian negara puluhan miliar. (tempo online, 10/08)

POLRI juga menetapkan beberapa tersangka yang berasal dari institusi polri dan dari pihak swasta. Dari kepolisian, diantaranya Wakil Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek simulator SIM, Ketua Pengadaan Simulator SIM yakni AKBP Teddy Rusmawan, dan Bendahara Korlantas Polri seorang Kompol berinisial LGM. Ditambah satu lagi seorang Bendahara Korlantas, yaitu Kompol inisial LGM. Dua lainnya adalah pemenang tender yakni, Direktur Utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (PT CMMA) Budi Susanto dan Direktur Utama PT Inovasi Teknologi Indonesia (PT ITI) Sukoco S Bambang. (kompas.com, 02/08/12)

Banyak pihak merasa pesimis bahwa kasus ini dapat diselesaikan dengan baik.Seperti halnya kasus-kasus besar lainnya, setidaknya ada beberapa tembok penghalang untuk mengusut tuntas kasus. Diantaranya:

Pertama: Posisi tawar penegak hukum yang lemah. Lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK adalah minim dukungan politik. Politisi DPR, Fachri Hamzah justru pernah mengusulkan untuk membubarkan KPK, atau juga Beny K Harman, Ketua Komisi III DPR yang pernah menyebut KPK sebagai teroris gaya baru. Maka hal ini membuat perumpamaan Cicak vs Buaya menjadi tepat ketika KPK harus menghadapi kasus yang melibatkan pihak bigpower.

Kedua: Timbul tenggelamnya desakan publik. Mandegnya penyelesaian kasus korupsi acapkali juga diakibatkan karena melemahnya desakan publik disebabkan sebuah kasus yang mudah reda ketika muncul kasus lain yang menjadi trending topik.

Ketiga: Penguasa yang lamban. Presiden terlihat kurang tegas dalam menyikapi kasus simulator SIM ini. Padahal sebagai pihak atasan dari kepolisian, Presiden bisa mengambil keputusan. Misalnya memberikan komando kepada kepolisian supaya menyerahkan kasus ini kepada KPK agar kasus dapat segera diselesaikan.

Butuh Syariah Islam

Melihat fenomena bobroknya penegakkan hukum selama ini, maka pengusutan kasus simulator SIM maupun kasus-kasus korupsi lain yang merugikan banyak uang negara tersirat bakal sulit diusut tuntas. Hal ini juga membuktikan ketidakmampuan hukum (sistem) sekulerisme ketika dijadikan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itu, negri ini butuh sistem yang tangguh, tiada lain adalah sistem Islam. Sistem yang telah terbukti selama berabad-abad mampu melukiskan keindahan di kanvas peradaban dunia. Syariah Islam tidak akan sempurna penerapannya kecuali dengan berdirinya Khilafah.

Dalam Islam, hukum menjadi penting karena Allah telah mewajibkan siapapun untuk terikat pada aturan-aturan Allah, yang menjadi sumber hukum. Baik penguasa, polisi, maupun rakyat biasa. Mereka juga memiliki persamaan di depan hukum, tidak pandang bulu orang biasa maupun pejabat sehingga tidak ada satupun pihak yang kebal hukum.

Syariah Islam memiliki seperangkat aturan hukum pidana yang keras untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku, sekaligus solusi prefentif yakni mencegah bagi calon pelaku korupsi. Pun sistem sanksi (berupa ta'zir) bertindak sebagai penebus dosa (al-jawabir), sehingga mendorong para pelakunya untuk bertobat dan menyerahkan diri. Serta memiliki spirit ruhiah yang kental pada saat menjalankan hukum Islam, sehingga menjadikan mental satria pada aparat penegak hukum, termasuk juga Polisi.

Polisi bukanlah Superman, sosok fiktif yang selalu digambarkan sebagai pembela kebenaran. Namun Polisi merupakan figur nyata yang butuh syariah Islam, untuk menjadikannya selalu berada di jalur yang benar.

Terakhir, Polisi perlu waspada ketika membawa cemeti atau pentungan, janganlah mengikuti instruksi pemimpin dzalim untuk menyerang masyarakat seenaknya. Sebab ada sebuah hadits Rasulullah Saw berbunyi: “Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang. Dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang…” (HR. Muslim) [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.