Rezim Komunis Cina Larang Umat Islam Berpuasa dan Sholat Berjamah di Masjid
Penderitaan umat Islam minoritas di berbagai kawasan tiada henti-hentinya.
Disamping Pattani di Thailand Selatan, Muslim Moro di Philipina, muslim
Rohingya di Myanmar, hal yang sama dialami umat Islam di Xianjing, yang
merupakan tanah kaum muslimin yang disebut Turkistan Timur.
Perintah serupa membatasi kegiatan Ramadhan diposting di website lain pemerintah daerah, dengan biro pendidikan daerah Wensu yang isinya mendesak sekolah-sekolah untuk memastikan bahwa siswa tidak masuk masjid selama bulan Ramadhan di siang hari .
Sebuah kelompok hak asasi pengasingan, Kongres Uighur Dunia, memperingatkan kebijakan akan memaksa “orang-orang Uighur untuk melawan [pemerintah China] lebih jauh.”
“Dengan melarang puasa pada bulan Ramadhan, China menggunakan metode administratif untuk memaksa orang Uighur makan yang membatalkan puasa,” kata juru bicara kelompok Dilshat Rexit dalam sebuah pernyataan.
Wiliyah ini terus mengalami konflik akibat penjajahan China dan tindakan diskriminasi rezim komunis China terhadap umat Islam di sana. Terakhir terjadi pada Juli 2009 dimana lebih dari 200 orang meninggal dunia dari kedua belah pihak yang bertikai.
Semua
ini merupakan potret ketika saat umat Islam tidak lagi memiliki
Khilafah yang menyatukan,memperkuat, dan melindungi umat Islam. Tanpa
Khilafah umat Islam bagaikan buih di
lautan,meskipun jumlahnya banyak tapi tidak memiliki kekuatan. Walhasil,
perjuangan penegakan Khilafah merupakan kebutuhan mutlak umat Islam
saat ini, terutama karena merupakan kewajiban yang diperintahkan oleh
Allah SWT dan Rosul-Nya. (FW) [HTIPress/al-khilafah.org]
Aljazeera.com
(1/8) memberitakan pihak berwenang China di provinsi barat laut
Xinjiang telah melarang pejabat Muslim dan siswa dari berpuasa selama
bulan Ramadhan. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan perlawanan di
kawasan itu..
Muslim Turkistan Timur (Xian Jiang) yang berjumlah lebih dari 9 juta ditekan oleh Partai Komunis China ketika umat Islam melaksanakan ramadhan. Mereka membatasi kegiatan agama Islam, termasuk puasa dan sholat berjamaah di masjid selama bulan ramadhan.
Sebuah pernyataan dari kota Zonglang di Xinjiang Kashgar distrik mengatakan “komite daerah” telah mengeluarkan kebijakan komprehensif untuk menjaga stabilitas sosial selama periode Ramadhan.
“Dilarang
untuk kader partai Komunis, pejabat sipil termasuk yang sudah pension,
para pelajar untuk ikut dalam kegiatan agama selama bulan Ramadan”.
Pernyataan itu, diposting di situs web pemerintah Xinjiang. Rezim komunis China ini juga mendesak para pemimpin partai untuk membawa “hadiah” makanan untuk para pemimpin desa setempat untuk memastikan apakah mereka makan selama bulan Ramadhan di .
Sebuah kelompok hak asasi pengasingan, Kongres Uighur Dunia, memperingatkan kebijakan akan memaksa “orang-orang Uighur untuk melawan [pemerintah China] lebih jauh.”
“Dengan melarang puasa pada bulan Ramadhan, China menggunakan metode administratif untuk memaksa orang Uighur makan yang membatalkan puasa,” kata juru bicara kelompok Dilshat Rexit dalam sebuah pernyataan.
Wiliyah ini terus mengalami konflik akibat penjajahan China dan tindakan diskriminasi rezim komunis China terhadap umat Islam di sana. Terakhir terjadi pada Juli 2009 dimana lebih dari 200 orang meninggal dunia dari kedua belah pihak yang bertikai.
Hubungan
umat Islam dengan wilayah China terjadi saat Khalifah Uthman ibn Affan
memulai kontak dengan Cina. Setelah menundukkan Romawi dan Persia,
Khalifah Uthman bin Affan mengirim delegasi yang dipimpinm Sa’ad ibn Abi
Waqqas ra (paman Nabi Saaw) ke Cina pada tahun 29 H (651 M). Misi
delegasi ini adalah mengundang kaisar Cina untuk memeluk Islam.
Delegasi
muslim lalu membangun Masjid di kota Kanton. Masjid ini dikenal hingga
hari ini sebagai ‘Masjid Memorial’. Ada beberapa laporang yang
mengatakan bahwa Sa’ad juga dikubur di Cina. Selama bertahun-tahun
aktifitas perdagangan di Cina, membawa pendatang muslim yang berprofesi
sebagai pedagang dan pelaut. Daerah dimana para pendatang muslim
tersebut bermukin dikenal sebagai pelabuhan Chen Aan pada masa Dinasti
Tang.
Tidak
lama setelah komunis mengambil alih kekuasaan di tahun 1949, pemerintah
Mao membagi umat Islam ke dalam identitas suku bangsa, sehingga umat
dipecah menurut ras mereka, dan bukan lagi oleh kesamaan aqidah, yaitu
‘identitas keislamannya’. Menurut statistik kependudukan di tahun 1936,
pemerintahan Kuomintang Republik Cina saat itu memperkirakan jumlah
warga muslim sebesar 48.104.240 orang. Sejak diberlakukannya kebijakan
Mao, angka tersebut menurun menjadi 10 juta warga saja. Tidak ada
penjelasan resmi, kemana hilangnya 38 juta nyawa.
Pembersihan
massal seperti ini sangat luarbiasa dan membuat apa yang terjadi di
Tibet tidak ada apa-apanya. Padahal Barat begitu getolnya membela hak
asasi pendeta dan dalai lama Tibet akibat pendudukan Cina di sana dan
juga peristiwa Tiannamen Square, tapi tidak pernah mengucurkan air mata
untuk nasib umat Islam.
Di
samping penghilangan secara fisik, Muslim juga sering dihujani dengan
serangan yang mengancam identitas keislaman mereka. Masa Revolusi Budaya
(1966-76) menunjukkan bagaimana brutalnya kebijakan dan sikap kaum
Komunis. Ini terlihat dari poster yang terpampang di Beijing saat itu di
tahun 1966, yang menyerukan penghapusan ritual Islam.
Muslim
juga dilarang untuk mempelajari bahasa tulis semasa Revolusi Budaya
tersebut. Bahasa tulis muslim di sana memiliki unsur huruf Arab dan
dipengaruhi oleh Arab, Turki dan Farsi. Kebijakan ini sangat bahaya
karena memisahkan muslim dari bahasa Arab, bahasa Qur’an dan Negara
Islam. Taktik seperti ini memang sering dipraktikkan oleh musuh-musuh
Islam termasuk Mustapha Kamal, seorang laki-laki yang menghapus
Khilafah. Pada masa ini, kaum komunis menutup Masjid dan menyebarkan
fitnah tentang Islam dan muslim .
Tidak ada komentar