Krisis Mencekik Eropa, Angka Bunuh Diri Melonjak
Masih lekat dalam ingatan
warga Italia ketika enam bulan lalu, seorang pembuat batu bata di
Bologna Italia menyiram dirinya sendiri dengan bensin dan menyulutnya di
depan kantor pajak. Selang sembilan hari kemudian, Giuseppe Campaniello
tewas.
Campaniello memutuskan mengakhiri hidupnya di depan kantor yang sebenarnya telah membunuh dia pelan-pelan. Akibat krisis di Italia dan beberapa negara Eropa, pemerintahan Perdana Menteri Mario Monti menerapkan langkah penghematan, dengan memecat pegawai dan menaikkan pajak.
"Dia adalah orang yang baik. Hanya saja dia tidak punya kesempatan untuk membuktikan dirinya. Jika Giuseppe punya kesempatan, utangnya pasti terbayar. Tapi itu bukan yang mereka inginkan, karena kami tidak berpenghasilan 20.000 euro per bulan," kata janda Campaniello, Tiziana, kepada CNN pekan ini.
Kebanyakan yang bunuh diri adalah pemilik usaha kecil maupun wiraswasta yang pailit. Tercatat, bunuh diri di negara ini meningkat hingga 52 persen, dari 187 pada 2010. Padahal pada tahun 2005, jumlahnya hanya 123.
Dalam 10 tahun terakhir, angka bunuh diri di Italia meningkat hingga dua kali lipat. Saking banyaknya yang bunuh diri, para janda suami-suami nekat itu berkumpul dan membentuk sebuah klub bernama "Vedove Bianche" atau janda putih. Tujuan klub ini adalah menunjukkan dampak dari krisis ekonomi yang berujung pada pemaksaan pajak.
Tidak hanya di Italia, peningkatan angka bunuh diri terjadi di Yunani, negara terparah terdampak krisis. Menurut data Kementerian Kesehatan Yunani, angka bunuh diri di negara tersebut meningkat lebih dari 40 persen per tahun.
Inggris, bukan anggota zona euro, sedikit lebih baik dari negara Eropa lainnya, meski juga tidak luput dari fenomena ini. Peneliti di Jurnal Medis Inggris menuliskan resesi tahun 2008-2011 telah menyebabkan lebih dari 1.000 orang bunuh diri.
Bagi mereka yang bertahan dari badai krisis--dan tidak bunuh diri--menyalahkan pemerintah atas pemotongan pekerja dan kenaikan pajak. Tiziana, yang menjanda setelah suaminya bunuh diri, kini menderita secara ekonomi dan finansial.
"Siapa yang akan menerima saya bekerja di usia 48 tahun? Siapa? Saya harus ke mana? Haruskan saya menjadi pelacur? Karena ke sanalah mereka (pemerintah) menggiring kami. Atau saya juga harus bunuh diri dan lari dari masalah dan mengurangi beban pemerintah?" kata dia, getir. [vivanews/www.al-khilafah.org]
Campaniello memutuskan mengakhiri hidupnya di depan kantor yang sebenarnya telah membunuh dia pelan-pelan. Akibat krisis di Italia dan beberapa negara Eropa, pemerintahan Perdana Menteri Mario Monti menerapkan langkah penghematan, dengan memecat pegawai dan menaikkan pajak.
"Dia adalah orang yang baik. Hanya saja dia tidak punya kesempatan untuk membuktikan dirinya. Jika Giuseppe punya kesempatan, utangnya pasti terbayar. Tapi itu bukan yang mereka inginkan, karena kami tidak berpenghasilan 20.000 euro per bulan," kata janda Campaniello, Tiziana, kepada CNN pekan ini.
Campaniello
adalah satu dari jutaan warga Italia yang menghadapi problema yang sama.
Pelaku bunuh diri lainnya adalah Mario Frasacco, 59, di Roma yang
menembak dirinya sendiri pada April lalu. Pabrik alumunium miliknya
mandek, dan 10 pekerjanya jadi penganggur.
Putri Frasacco, Giorgia, mengaku tidak menyadari ayahnya akan bunuh diri. "Pada hari dia bunuh diri, dia berlaku seperti biasa. Saya tidak melihat rasa tidak nyaman di wajahnya. Setelah lima bulan berlalu, saya tetap tidak mengerti," kata dia.
Mereka jadi korban utang negara yang hampir mendekati taraf membahayakan. Padahal, Italia adalah negara ekonomi ketiga di zona euro. Puluhan tahun sebelum krisis, pajak tidak jadi masalah besar bagi Negeri Pasta ini.
Sebelumnya, warga bahkan
tidak membayar penuh pajak. Namun semenjak krisis, pengumpulan pajak
ibarat keharusan, jika perlu dengan paksaan.Putri Frasacco, Giorgia, mengaku tidak menyadari ayahnya akan bunuh diri. "Pada hari dia bunuh diri, dia berlaku seperti biasa. Saya tidak melihat rasa tidak nyaman di wajahnya. Setelah lima bulan berlalu, saya tetap tidak mengerti," kata dia.
Mereka jadi korban utang negara yang hampir mendekati taraf membahayakan. Padahal, Italia adalah negara ekonomi ketiga di zona euro. Puluhan tahun sebelum krisis, pajak tidak jadi masalah besar bagi Negeri Pasta ini.
Kebanyakan yang bunuh diri adalah pemilik usaha kecil maupun wiraswasta yang pailit. Tercatat, bunuh diri di negara ini meningkat hingga 52 persen, dari 187 pada 2010. Padahal pada tahun 2005, jumlahnya hanya 123.
Dalam 10 tahun terakhir, angka bunuh diri di Italia meningkat hingga dua kali lipat. Saking banyaknya yang bunuh diri, para janda suami-suami nekat itu berkumpul dan membentuk sebuah klub bernama "Vedove Bianche" atau janda putih. Tujuan klub ini adalah menunjukkan dampak dari krisis ekonomi yang berujung pada pemaksaan pajak.
Tidak hanya di Italia, peningkatan angka bunuh diri terjadi di Yunani, negara terparah terdampak krisis. Menurut data Kementerian Kesehatan Yunani, angka bunuh diri di negara tersebut meningkat lebih dari 40 persen per tahun.
Inggris, bukan anggota zona euro, sedikit lebih baik dari negara Eropa lainnya, meski juga tidak luput dari fenomena ini. Peneliti di Jurnal Medis Inggris menuliskan resesi tahun 2008-2011 telah menyebabkan lebih dari 1.000 orang bunuh diri.
Bagi mereka yang bertahan dari badai krisis--dan tidak bunuh diri--menyalahkan pemerintah atas pemotongan pekerja dan kenaikan pajak. Tiziana, yang menjanda setelah suaminya bunuh diri, kini menderita secara ekonomi dan finansial.
"Siapa yang akan menerima saya bekerja di usia 48 tahun? Siapa? Saya harus ke mana? Haruskan saya menjadi pelacur? Karena ke sanalah mereka (pemerintah) menggiring kami. Atau saya juga harus bunuh diri dan lari dari masalah dan mengurangi beban pemerintah?" kata dia, getir. [vivanews/www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar