Pengamat Militer : Rentetan Peristiwa di Solo adalah Operasi Intelijen
Rentetan
peristiwa yang terjadi di kota Solo, Jawa Tengah, dalam beberapa pekan
terakhir ini memunculkan banyak pertanyaan. Sebab, hingga kini terjadi
simpang siur informasi, baik di kepolisian maupun di masyarakat. Apakah
benar rentetan teror yang terjadi merupakan bentuk aksi terorisme?.
Pengamat Militer MT Arifin menyangsikan hal itu.
Keyakinan itu disampaikan MT Arifin Senin sore (3/9/2012) setelah mengamati sejumlah rentetan peristiwa di Solo. Menurut pengamat militer asal Solo ini, rentetan peristiwa di Solo yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir ini terkesan ingin dibawa ke arah kasus terorisme. Padahal, kebenarannya masih memerlukan kajian, karena banyaknya perbedaan baik data maupun penafsiran.
Sebagai contoh penafsiran berbeda penggunaan pistol. Mabes Polri mengatakan bahwa pistol yang dipakai dalam beberapa kasus penembakan di Solo sama dengan pistol yang disita dari terduga teroris yang ditembak mati. Konon pistol itu adalah pistol jenis Baretta keluaran Itali yang dipakai tentara Filipina, dengan label Property Philipines National Police. Karena itu juga dikaitkan dengan penyeludupan senjata. Namun dilain pihak, Kapolretsa Solo sebelumnya mengatakan bahwa senjata yang dipakai saat penembakan adalah pistol FN kaliaber 9 milimeter.
Keterangan polisi tentang kronologi peristiwa penyergapan pun simpang siur. Semula dikatakan bahwa korban polisi, Bripda Suherman, terkena tembakan di bagian perut, sementara pihak lain mengatakan di bagian dada. Begitu pula informasi dari polisi tentang adanya baku baku tembak antara polisi versus dua orang terduga teroris. Sebab, menurut kesaksian sejumlah warga, saat itu tidak terjadi peristiwa baku tembak. Seorang saksi hanya mendengar dua tembakan.
Kabar yang simpang siur soal apakah Bribda Suherman, polisi yang menjadi korban, memakai rompi anti peluru atau tidak serta siapa yang sebenarnya menembak polisi itu juga menarik dicermati. Karena itu MT Arifin meminta polisi memberikan penjelasan yang valid. Sebab, jika tidak akan beredar penafsiran dan kronologi yang interpretatif dan eksperimental yang tidak bisa menjelaskan permasalahan kontekstual yg ada di masyarakat.
Menurut MT Arifin, semua peritiwa yang terjadi harus dilihat secara menyeluruh, mulai dari rentetan maraknya isu demokrasi versus syariat Islam, kebakaran tempat usaha Jokowi, pelaporan korupsi, dan rentetan kejadian terror ini. Semua harus ditafsirkan secara majemuk dengan konflik siosial yang ada.
MT Arifin menyatakan, tanpa menafikan apa yang dialami polisi yang menjadi korban, berdasarkan sifat, karakter, peristiwa, dan masalah lain yang muncul, peristiwa yang terjadi di Solo menurut dia bukan peristiwa terorisme. MT Arifin Yakin, rentetan kasus di Solo adalah sebuah proyek sosial sebagai bagian dari operasi intelijen.
Jika diamati, kata MT Arifin, semua rentetan di Solo, sengaja dimunculkan dalam konteks politik untuk membangun citra. Pola ini merupakan pola operasi intelijen untuk kepentingan politik. Jika benar Pemilihan Gubernur DKI adalah tujuan utamanya, maka rentetan peritiwa di Solo adalah fron keduanya.
Seperti diketahui, rentetan aksi yang disebut aparat sebagai 'terorisme' kembali mengguncang Solo. Pada Jumat (17/8) terjadi penembakan dan pelemparan granat terhadap pos Polisi Gemblegan Kota Surakarta, hingga kini pelakunya masih miterius.
Aksi serupa terjadi kembali pada Kamis (30/8) malam di pos Polisi Singosaren. Aksi ini mengakibatkan seorang polisi tewas.
Kemudian, Densus 88 Antiteror terlibat baku tembak dengan terduga 'teroris' di Jalan Veteran, Solo, Jawa Tengah, pada Jumat (31/8/2012) malam.
Dalam insiden ini, dua orang terduga 'teroris' tewas, yakni Farhan dan Mukhlis. Kemudian, seorang anggota Densus 88 bernama Bripda Suherman juga tewas. Pihak Densus menangkap seorang terduga teroris lainnya, yakni Bayu di Karanganyar, Jawa Tengah.
Sementara sebulan sebelum aksi 'terorisme' ini muncul, gudang pabrik mebel Rakabu milik keluarga Wali Kota Surakarta Joko Widodo (Jokowi) di Pabelan, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jateng terbakar.[SIOnline/www.al-khilafah.org]
Keyakinan itu disampaikan MT Arifin Senin sore (3/9/2012) setelah mengamati sejumlah rentetan peristiwa di Solo. Menurut pengamat militer asal Solo ini, rentetan peristiwa di Solo yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir ini terkesan ingin dibawa ke arah kasus terorisme. Padahal, kebenarannya masih memerlukan kajian, karena banyaknya perbedaan baik data maupun penafsiran.
Sebagai contoh penafsiran berbeda penggunaan pistol. Mabes Polri mengatakan bahwa pistol yang dipakai dalam beberapa kasus penembakan di Solo sama dengan pistol yang disita dari terduga teroris yang ditembak mati. Konon pistol itu adalah pistol jenis Baretta keluaran Itali yang dipakai tentara Filipina, dengan label Property Philipines National Police. Karena itu juga dikaitkan dengan penyeludupan senjata. Namun dilain pihak, Kapolretsa Solo sebelumnya mengatakan bahwa senjata yang dipakai saat penembakan adalah pistol FN kaliaber 9 milimeter.
Keterangan polisi tentang kronologi peristiwa penyergapan pun simpang siur. Semula dikatakan bahwa korban polisi, Bripda Suherman, terkena tembakan di bagian perut, sementara pihak lain mengatakan di bagian dada. Begitu pula informasi dari polisi tentang adanya baku baku tembak antara polisi versus dua orang terduga teroris. Sebab, menurut kesaksian sejumlah warga, saat itu tidak terjadi peristiwa baku tembak. Seorang saksi hanya mendengar dua tembakan.
Kabar yang simpang siur soal apakah Bribda Suherman, polisi yang menjadi korban, memakai rompi anti peluru atau tidak serta siapa yang sebenarnya menembak polisi itu juga menarik dicermati. Karena itu MT Arifin meminta polisi memberikan penjelasan yang valid. Sebab, jika tidak akan beredar penafsiran dan kronologi yang interpretatif dan eksperimental yang tidak bisa menjelaskan permasalahan kontekstual yg ada di masyarakat.
Menurut MT Arifin, semua peritiwa yang terjadi harus dilihat secara menyeluruh, mulai dari rentetan maraknya isu demokrasi versus syariat Islam, kebakaran tempat usaha Jokowi, pelaporan korupsi, dan rentetan kejadian terror ini. Semua harus ditafsirkan secara majemuk dengan konflik siosial yang ada.
MT Arifin menyatakan, tanpa menafikan apa yang dialami polisi yang menjadi korban, berdasarkan sifat, karakter, peristiwa, dan masalah lain yang muncul, peristiwa yang terjadi di Solo menurut dia bukan peristiwa terorisme. MT Arifin Yakin, rentetan kasus di Solo adalah sebuah proyek sosial sebagai bagian dari operasi intelijen.
Jika diamati, kata MT Arifin, semua rentetan di Solo, sengaja dimunculkan dalam konteks politik untuk membangun citra. Pola ini merupakan pola operasi intelijen untuk kepentingan politik. Jika benar Pemilihan Gubernur DKI adalah tujuan utamanya, maka rentetan peritiwa di Solo adalah fron keduanya.
Seperti diketahui, rentetan aksi yang disebut aparat sebagai 'terorisme' kembali mengguncang Solo. Pada Jumat (17/8) terjadi penembakan dan pelemparan granat terhadap pos Polisi Gemblegan Kota Surakarta, hingga kini pelakunya masih miterius.
Aksi serupa terjadi kembali pada Kamis (30/8) malam di pos Polisi Singosaren. Aksi ini mengakibatkan seorang polisi tewas.
Kemudian, Densus 88 Antiteror terlibat baku tembak dengan terduga 'teroris' di Jalan Veteran, Solo, Jawa Tengah, pada Jumat (31/8/2012) malam.
Dalam insiden ini, dua orang terduga 'teroris' tewas, yakni Farhan dan Mukhlis. Kemudian, seorang anggota Densus 88 bernama Bripda Suherman juga tewas. Pihak Densus menangkap seorang terduga teroris lainnya, yakni Bayu di Karanganyar, Jawa Tengah.
Sementara sebulan sebelum aksi 'terorisme' ini muncul, gudang pabrik mebel Rakabu milik keluarga Wali Kota Surakarta Joko Widodo (Jokowi) di Pabelan, Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jateng terbakar.[SIOnline/www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar