Header Ads

Siapa Mengail Untung di Konflik Sampang?

Oleh: Hanif Kristianto, S.Pd
Sampang membara lagi. Ahad, 26 Agustus 2012 terjadi bentrok di Desa Nangkrenang, Kecamatan Ombhen. Peristiwa Desember 2011 kembali terulang. Sesungguhnya peristiwa ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semuanya. Terutama bagi pemerintah dalam mengurusi urusan rakyatnya.


Terlalu gegabah jika menuding konflik ini dilatari kebencian keagamaan, apalagi dibumbui dengan pernyataan pelanggaran HAM kepada minoritas. Kemudian memberikan stempel jika umat beragama di Indonesia tidak toleransi. Maka, terjadi kebingungan dalam memahami makna toleransi. Adapun toleransi yang ada saat ini cenderung merujuk pada konsensus HAM yang absurd. Bergantung siapa yang memberikan pernyataan.

Pelajaran Penting
Konflik yang terjadi seharusnya dikaji lebih dalam oleh pemerintah. Pemerintah dengan berbagai elemen yang ada dapat memberikan solusi fundamental dan menyeluruh. Selama ini solusi yang ada hanya himbauan dan tidak tegas. Sebagai contoh kasus Ahmadiyah yang pemerintah tidak segera membubarkannya. Akibatnya umat yang menuntut bereaksi sendiri dengan cara yang mereka bisa. Konflik lain berupa pertengkaran antarwarga di beberapa kota. Hilangnya keamanan bagi rakyat tidak mendapat penanganan secara benar. Pemerintah pun tidak memberikan upaya pencegahan. Meski konflik sering berulang.

Sikap pemerintah yang dianggap mandul terkait berbagai persoalan bangsa. Mengakibatkan rakyat terbengkalai dalam memenuhi hajat hidupnya. Sering persoalan yang ada kerap bermotif ekonomi dan politik. Yang akhirnya sentimen keagamaan pun dikutsertakan. Inilah buah dari penerapan sistem aturan yang salah. Ekonomi yang kapitalistik membuahkan ketimpangan dan kecemburuan sosial. Politik oportunistik dan dibumbui dengan korupsi mengakibatkan aturan UU tumpang tindih dan tidak pro-rakyat. Belum lagi pemerintah abai untuk menjaga aqidah umat beragama.

LSM lokal maupun asing kerap memanfaatkan setiap momen untuk melancarkan tugasnya. Hal ini mengindikasikan jika Indonesia menjadi pusat perhatian dunia. LSM yang ada kerap bekerja di luar kontrol. Karena mereka didanai lembaga asing. Seperti kasus di Sampang. LSM yang bergerak dalam HAM, demokrasi, pluralisme, dan lainnya pun terjun langsung di Sampang. Komnas HAM misalnya. Mereka langsung membantu dan memberikan perlindungan. Bahkan akan membawa kasus ini ke Dewan HAM internasional pada September ini.

Siapa Untung?
Ada orang-orang dan kelompok yang ingin meraih keuntungan dari kasus Sampang. Mereka bisa berbentuk negara, lembaga, LSM, atau sekelompok kecil orang. DPR misalnya, meminta pemerintah untuk segera menjalankan UU Nomor 7 tahun 2012 tentang penanganan Konflik Sosial. Kasus seperti ini kerap digunakan negara atau sengaja menciptakan konflik untuk mengimplementasikan UU. Contoh yang kental terkait terorisme, keamanan nasional, dan pengelolaan energi. UU yang dihasilkan selama ini terasa tidak pro-rakyat dan mengikuti kepentingan asing. Jika dirasa tidak cocok dan menimbulkan persoalan. UU yang ada kemudian boleh di-judicial review.

Jika pemerintah dan kepolisian melalui badan intelejennya merasa kecolongan. Maka sikap itu menunjukkan kegagalan pemerintah dalam melindungi rakyatnya. Bisa jadi intelijen asing menunggangi konflik yang ada. Selayaknya berbagai konflik tidak terjadi, jika pemerintah memberikan pendidikan dan perlindungan yang benar. Kenyamanan dan keamanan diwujudkan. Jangan sampai rakyat dibuat emosi dan menuruti hawa nafsunya.

LSM HAM ingin memanfaatkan kondisi di Sampang untuk internasionalisasi kasus. Hal ini wajar saja mengingat Dewan HAM internasional memaksakan konvensi HAM ke setiap negara. Walaupun definisi HAM yang absurd dan cenderung digunakan untuk kepentingan asing. HAM sendiri kerap dimanfaatkan sebagai alat penjajahan. [baca juga: LSM Minta Bantuan Hillary Clinton untuk Penyelesaian Konflik Sampang]

Di sisi lain, LSM yang mengusung kebebasan HAM, liberalisme, demokrasi, dan pluralisme paling diuntungkan dengan kasus ini. Ada tujuan penting yang diharapkan dari setiap konflik yang ada, yaitu mengukuhkan liberalisme dan pluralisme. Mereka ingin mengokohkan Indonesia menjadi negara yang moderat. Sebuah tujuan dari agenda penjajahan global. Selama ini perjuangan mereka kerap tidak diterima dan mendapat banyak pertentangan. Maka kolaborasi LSM dan pendonor asing mendorong pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Kebebasan Beragama.

RUU Kebebasan Beragama bagi mereka seperti angin segar. Perjuangan mereka akan semakin mulus karena berlindung dibalik UU. Suara umat yang ingin menegakan syariat Islam bisa dibungkam, apalagi sampai terwujudnya Khilafah. Umat Islam pun dituding intoleran. Yang lebih berbahaya jika RUU Kebebasan Beragama disahkan. Maka pemahaman apapun (seperti komunisme), penodaan terhadap agama, dan aliran sesat akan subur. Tak ayal negeri ini akan hancur dari sisi aqidah. Rakyatnya pun semakin jauh dari Pencipta.

Kasus di Sampang ada kemiripan dengan Papua. Jika di Papua konflik diciptakan untuk mengundang intervensi asing yang bermantel perusahaan. Mereka juga kerap mengirimkan intelijen yang berbentuk peneliti, tenaga sosial, dan tenaga ahli. Tujuannya yaitu untuk menjaga kepentingan berupa perusahaan eksplorasi sumber daya alam. Media online Okezone.com, 8/03/2012 merilis berita temuan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Surabaya tentang fakta-fakta bahwa konflik Sampang ini sengaja diciptakan untuk eksplorasi minyak dan pengembangan investasi di kawasan tersebut.

Kontras setidaknya menemukan adanya skenario yang mengarah kepada pelancaran eksplorasi minyak, di antaranya ialah pembangunan jalan menuju tempat eksplorasi. Jalan itu, dalam data yang didapat Kontras, menabrak Dusun Nangkernang sekitar 2-3 kilometer dari jalan utama. Selain itu, dugaan diperkuat dengan adanya survei Seismik oleh pihak Pertamina terhadap dua rumah milik warga. Sehingga, menurut Kontras, konflik ini memang sengaja diciptakan untuk “mengusir” warga yang tinggal di Dusun Nangkernang agar mengosongkan kampung.
           
Kesimpulan
Jangan sampai ada pihak yang mengail untung dari kasus Sampang. Yang justru dirugikan adalah warga sipil. Mereka jadi korban kebrutalan manusia. Nyawa, harta, keluarga, dan sumber daya alamnya hilang. Pemerintah jangan sampai gagal dalam melindungi rakyatnya. Selayaknya pemerintah meninjau ulang sistem yang diterapkan di negeri ini. Para pemuka agama pun memberikan pemahaman yang benar agar menjalankan agama secara menyeluruh. Negara pun harus berdaulat agar tidak mudah disetir kepentingan asing. LSM yang komprador segera dibubarkan. Jika sistem kapitalis-demokrasi yang diadopsi gagal untuk melindungi dan menciptakan kedamaian bagi rakyatnya. Maka harus ada perubahan kepada sistem berkeadilan yang berasal dari Pencipta. Itulah Syariah Islam yang diterapkan Daulah Khilafah.

Terkait konflik antar kelompok dan golongan, Khilafah mempunyai politik dalam negeri. Khilafah menerapkan Islam secara kaffah pada warga negaranya, baik muslim maupun non muslim. Terkait muamalah warga non muslim tidak dibebankan pada aspek syariah yang mengatur ibadah. Hanya hukum yang berlaku untuk pengaturan umum saja. Misalnya, hudud, jinayat, ekonomi, politik, dan lainnya.

Selama kurun penerapan syariah ada banyak firqoh di tengah-tengah mereka. Maka tidak heran jika di tengah umat Islam ada Ahlus Sunnah, Syi’ah, Mu’tazilah dan firqah-firqah Islam lainnya. Juga tidak heran jika ada Syafi’iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, Ja’fariyah, Zaidiyah dan lainnya dari madzhab Islam. Semua firqah Islam dan madzhab Islam tersebut memeluk akidah yang satu, yaitu akidah Islam. Mereka semua diseru untuk mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mereka juga diperintah mengikuti hukum syara’ bukan mengikuti madzhab tertentu, karena madzhab itu tidak lain adalah pemahaman tertentu tentang hukum syara’ yang diikuti oleh selain mujtahid, saat dia tidak mampu berijtihad.

Seorang Muslim diperintahkan untuk mengikuti hukum syara’ bukan madzhab. Dia harus mengambil hukum ini dengan ijtihad jika mampu dan melakukan ittiba’ atau bertaklid jika tidak mampu berijtihad. Sehingga, semua firqah dan madzhab yang meyakini akidah Islam; meyakini al-Quran dan as-Sunah, bahwa keduanya merupakan sumber dalil syara’, kaidah-kaidah syara’, dan hukum-hukum syara’, maka seluruhnya adalah islami. Mereka semua dianggap sebagai Muslim dan hukum Islam diberlakukan kepada mereka. Negara tidak boleh menghalang-halangi firqah-firqah Islam tersebut, selama mereka tidak keluar dari akidah Islam. Negara juga tidak boleh mengikuti madzhab-madzhab fiqih. Jika mereka keluar dari akidah Islam, baik secara individu maupun kelompok, maka dianggap murtad dari Islam.

Lalu diterapkan kepada mereka hukum orang-orang murtad. Kaum Muslim dituntut (untuk terikat) dengan hukum Islam. Hanya saja, hukum-hukum tersebut ada yang qath’iy sehingga tidak ada pendapat lain selain satu pendapat saja, seperti hukum potong tangan bagi pencuri, pengharaman riba, kewajiban zakat, shalat wajib lima waktu, dan sebagainya. Dengan demikian, semua hukum tersebut dilaksanakan kepada seluruh kaum Muslim dalam satu pemahaman karena bersifat qath’iy.

Sungguh syariah menjadikan umat ini umat terbaik. Sebuah model yang menyejahterakan dan melindungi rakyatnya. Oleh karena itu, sistem dan model negera ini segera diterapkan. Lalu, sampai kapan kita menunggu adanya konflik berikutnya? Wallahu a’lam bisshawwab.

Penulis adalah Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.