Header Ads

“Terorisme” Produk Radikalisme?


“Terorisme” Produk Radikalisme?
(Tanggapan Untuk Hasibullah satrawi)

Oleh: Harits Abu Ulya
Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Munculnya fenomena teror di Solo kali ini menyisihkan sebuah pertanyaan, seolah teror kekerasan tidak ada matinya dan apa akar masalah sesungguhnya?dan bagaimana upaya memotong akar kekerasan tersebut? Penulis ketika membaca opini “Deradikalisasi Kaum Muda” Harian Kompas Kamis,6 September 2012 tergerak untuk menghadirkan prespektif yang berbeda. Jika dibaca secara utuh seorang Hasibullah Satrawi telah melakukan  upaya over simplikasi terkait  relasi radikalisme dengan terorisme. Seolah radikalisme menjadi faktor tunggal atau utama  lahirnya fenomena terorisme. Begitu juga tawaran konsep Islam rahmatan lil’alamin harus menjadi konten utama dari langkah deradikalisasi.


Secara obyektif realitas empiris “terorisme”  bukan peristiwa yang muncul tanpa asbabul wurud, juga bukan istilah yang steril dari kepentingan politik. “Terorisme” di Indonesia juga fenomena turunan yang muncul karena faktor yang komplek baik dilevel global maupun domestik. Tidak mudah membuat kesimpulan linear  radikalisme selalu menghadirkan kekerasan bahkan tindak terorisme. Radikalisme sendiri beragam wajah, bisa dalam bentuk pemikiran dan konsep atau radikal dalam bentuk tindakan. Dan radikalisme pemikiran tidak selalu korelatif dengan tindakan radikal. Pada titik ini, tidak fair rasanya jika tindakan kekerasan atau teror selalu di kaitan dengan   radikalisme agama (baca;Islam).

Bisa saja seseorang atau kelompok karena kepentingan pribadi yang tersumbat kemudian menstimulasi kepada tindakan radikal, kekerasan bahkan teror. Contoh, berapa banyak calon Bupati atu wakil bupati yang gagal dalam laga pilkada kemudian kecewa akhirnya melahirkan tindakan anarkis, bahkan membuat teror atas rasa aman masyarakat. Misal, bisa kita lihat peristiwa tahun lalu pembakaran kantor Dispenda, DPRD dan pembakaran beberapa mobil dinas di daerah kota Arreke’ Buton Utara-Sultra. Ini terjadi karena sebab kekecewaan atas kekalahan salah satu  calon  Bupati (Sumarni, dia istri dari Ansyad Mbai/ketua BNPT) oleh pendukungnya.Atau pelaku pengeboman di Oslo Norwegia beberapa bulan lalu dengan korban lebih dari 60 orang tewas ternyata dari penganut Kristiani.Artinya secara obyektif sebuah sikap ”radikal” bisa tumbuh dalam entitas apapun, tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku bahkan usia dan sekat lainya.

Disisi lain, misalkan ada  kelompok  yang dianggap  radikal dan fundamentalis  semisal Hizbut Tahrir  Indonesia tapi tidak pernah ada berita bersentuhan dengan kekerasan sekalipun.Padahal juga mengusung Islam Ideologi dan mengidealkan sebuah tatanan politik mondial yang disebut Khilafah Islamiyah   atau Daulah Islamiyah. Dimana terma ini sering mewarnai berita sebagai motif politik dari para pelaku  tindak “terorisme” seperti yang sering di sampaikan Pak Ansyad Mbai (BNPT) dalam banyak kesempatan.Lihat juga pengakuan Bayu Setiyono yang diduga terlibat tindakan terror Solo, terma Khilafah juga diceritakan olehnya.

Kita harus berani jujur bahwa banyak faktor yang melahirkan teror dan kekerasan, bukan single factor yakni radikalisme. Mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono saat membuka seminar berjudul "The Future of Terrorism Studies in South East Asia" di Jakarta, Senin (4/10), mengatakan terorisme di Indonesia disebabkan tiga faktor. Ketiga faktor tersebut adalah korupsi, kemisikinan, dan kesenjangan sosial.(Metrotvnews.com,4/10/2010)

Bagi penulis, langkah deradikalisasi dengan konten Islam Rahmatan Lil’alamin atau Islam Otentik Humanis versi Bilveer Singh dan Munir Mulkhan tidak akan mereduksi tindak teror atau “terorisme” jika tidak ada perbaikan atau perubahan pada faktor kemiskinan, ketidak adilan diranah hukum, keterbelakangan (pendidikan), dan yang lebih utama adalah ketimpangan politik global dimana Amerika Serikat menjadi episentrum pemicu distabilitas sektor ekonomi, politik dan keamanan di beberapa belahan dunia Islam. Jika tidak, maka BNPT dan Densus88 akan seperti tukang sapu yang membersihkan serpihan daun jatuh dari pohon Beringin yang besar, artinya tidak akan pernah usai.Sebuah langkah pragmatism yang lepas dari konteks masalah secara holistik. Bahkan terjebak kepada tindakan “frustasi” yang berpotensi menabrak rambu-rambu HAM akhirnya justru memicu lahirnya puzzle kekerasan dan teror yang tidak berujung.

Penulis mengamati tindakan teror Solo adalah ekses dari tindakan ”frustasi” aparat keamanan. Dan tidak logis lagi kalau dikonstruksi label sebagai sebuah tindakan terorisme dengan motif politik yang besar. T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan terorisme; penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan dua katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan menggangu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu. Jadi sudah barang tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik yang tengah berlaku.Dalam timbangan T.P.Thornton, menurut penulis anak-anak muda yang melakukan tindakan teror di Solo tidak lebih karena “dendam” dan “keadilan”. Motif “terorisme” telah mengalami metamorfosa sedemikian rupa, demikian juga pelaku-pelakunya.[] [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.