Header Ads

Topeng BNPT Terbuka

Oleh, Mujiyanto
Mereka ingin memperalat para ulama untuk menjaga kepentingan para penguasa, dan melanggengkan kepentingan negara-negara penjajah yang menjadi majikannya.


Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) akhirnya membuka topengnya. Badan yang dipimpin oleh Ansyad Mbai ini melontarkan wacana sertifikasi ulama. Sertifikasi ini dimaksudkan sebagai salah satu cara mencegah ajaran ‘radikal’.

Gagasan sertifikasi ulama/dai ini disampaikan oleh Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris dalam diskusi Sindoradio: Polemik, bertajuk “Teror Tak Kunjung Usai” di Warung Daun, JI Cikini Raya, Jakarta Pusat, Sabtu (8/9). “Dengan sertifikasi, maka pemerintah negara tersebut dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi,” katanya seperti dikutip detikcom.

Ia mengambil contoh Singapura dan Arab Saudi. Menurutnya, pihaknya telah melakukan pengamatan langsung ke dua negara tersebut. Hasilnya, kedua negara tersebut marnpu menekan ajaran radikal. “Pengamatan kami Singapura dan Arab Saudi yang telah melaksanakan deradikalisasi secara efektif,” tambahnya.

Langkah ini, jelas Irfan, untuk melengkapi langkah yang sudah dilakukan BNPT yakni menggandeng seluruh lapisan masyarakat mulai dari RT/RW hingga pimpinan pondok pesantren. Termasuk juga pelatihan kepada pegawai lapas agar tidak terjadi perekrutan pelaku aksi terror di dalam penjara.

Penolakan
Bukannya disambut gembira, gagasan BNPT ini langsung menimbulkan penolakan kaum Muslimin. Ormas-ormas Islam menentang keras gagasan tersebut.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendi Yusuf menegaskan, teroris itu tidak ada hubungannya dengan ulama. Ia menjelaskan, MUI atau pun Nahdlatul Ulama, pernah menyatakan bahwa terorisme itu haram dilakukan di negara yang bukan darul harbi. “Indonesia itu bukan negara darul harbi. Jadi diharamkan untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan seperti itu,” jelasnya.

Makanya, ia menilai gagasan BNPT itu sebagai: “pemikiran fasis, otoriter, dan perlu ditertawakan di era demokrasi ini,” ujarnya. Menurutnya, eksistensi ulama bukan dilihat berdasarkan sebuah sertifikat. Justru aneh jika ada negara yang menerapkan sertifikasi ulama sebagai upaya deradikalisasi. “Ulama itu karena pengakuan masyarakat, karena ilmu dan amalnya, bukan karena sertifikat. Nggak perlu ada sertifikat seperti itu” tandas Ketua PBNU ini.

Ketua Umum PP Hidayatul¬lah Abdul Manan menilai, dengan gagasan itu secara implisit BNPT telah menuduh ulama sebagai pencetus terorisme, instabilitas nasional, dan menghambat pem¬bangunan. “BNPT itu ngaji Alqur¬annya belum becus, mau coba¬-coba menyertifikasi ulama! Yang benarlah”, katanya.

Menurutnya, gagasan BNPT itu tidak rasional. Ia kemudian membandingkan dengan zaman penjajahan Belanda. Saat itu Belanda saja tidak berani menyertifikasi ulama. “Ini bangsa sendiri mau main-main dengan bangsa sendiri.”

Penolakan serupa datang dari Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) Maman Abdurrahman. Menurutnya, fokus sertifikasi yang ditujukan kepada hanya ulama ini mengindikasikan BNPT telah memberikan stigma negatif kepada para ulama/kyai. “Tidak ada niat yang betul-betul husnudzon terhadap para ulama yang sudah membangun bangsa, membangun negara ini” tandas¬nya.

Ia balik menuding orang yang melempar wacana sertifikasi ulama sebagai orang yang tidak punya kerjaan. “Koruptor terus menerus merajalela, penghinaan terhadap Islam semakin jadi, eh umat Islam yang dituduh intole¬ransi,” katanya.

Sementara itu Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI Hafidz Abdurrahman mengatakan, gagasan BNPT ini adalah penghinaan luar biasa kepada para ulama. Ia menyebut, ini adalah ide gila yang sebenarnya bertujuan untuk mengerdilkan para ulama. “Mereka ingin memperalat para ulama untuk menjaga kepentingan para penguasa, dan melanggengkan kepentingan negara-negara penjajah yang menjadi majikannya” tandasnya.

Ia menekankan gagasan ini harus ditolak. Jika ada ulama yang mau mengikuti proyek BNPT ini, lanjutnya, mereka adalah orang paling hina. Ia kemudian me¬nyampaikan pendapat Al-Mawardi yang mengutip ungkapan ahli hikmah, “Siapakah orang yang paling hina? Dijawab, “Orang alim (ulama’) yang tunduk dengan keputusan orang bodoh.” Hafidz juga mengingatkan dengan sab¬da Nabi: “Siapa saja yang menghina orang alim [ulama], maka dia sama saja telah menghina tuhan¬nya.” Bagaimana mungkin para ulama’ bisa dan mau tunduk ke¬pada proyek orang-orang yang jelas telah menghina Tuhan me¬reka?

Upaya BNPT ini tidak bisa dilepaskan dari niat mereka untuk ‘mengkriminalisasikan’ semua pemikiran yang bertentangan dengan status quo. Status quo tersebut yakni para penguasa yang menjadi antek-antek asing penjajah.

Menurut pengamat kontraterorisme Harits Abu Ulya, BNPT berusaha memaksakan cara berpikir (mindset) umat Islam sesuai dengan pemikiran ala Barat. BNPT berharap para ulama mau menerima secara legowo gagasan Islam liberal, pluralisme, dan konco-konconya. Harapannya, setelah itu benih-benih terorisme akan tereduksi habis.

Cara pandang seperti ini, lanjut Harits, hakikatnya menampar muka BNPT sendiri. Secara tidak sadar, BNPT telah menuduh para ulama yang ada selama ini menjadi biang lahirnya tindakan-tindakan radikal fisik atau bahkan terorisme. “Ini deradikalisasi yang salah arah, karena dengan jelas-jelas menyudutkan Islam, ulama dan umatnya sebagai habitat subur lahirnya terorisme,” katanya seraya menambahkan pemerintah melalui BNPT bernafsu mundur lagi ke belakang dengan membangun kehidupan masyarakat di bawah rezim yang represif dan tirani.
Rupanya, gagasan sertifikasi ini rnembuat kelabakan BNPT. Ansyaad Mbai giliran harus memadamkan api yang mereka nyalakan. Ia ke sana ke mari mengatakan, pihaknya tidak pernah menyampaikan gagasan tersebut. Ia beralasan pernyataan bawahannya itu diplintir wartawan. Tapi, topeng BNPT kian terbuka dan tak bisa ditutup-tutupi. Mereka tidak sekadar memberantas terorisme, tapi memusuhi Islam sebagaimana yang dilakukan tuannya, Amerika.

Salah Bercermin
Salah satu negara yang dijadikan cermin oleh BNPT karena dianggap sukses menangkal radikalisme adalah Singapura. Benarkah Singapura layak jadi contoh? Sebagai negara kecil, tidak sulit bagi pemerintah Singapura untuk mengontrol mobilitas rakyatnya. Meski begitu, Singapura telah menerapkan kebijakan yang sangat represif, khususnya terhadap umat Islam. Di Singapura, gerak-gerik umat Islam selalu diawasi. Bukan hanya ulamanya, tetapi juga umatnya.

Untuk mengontrol dan mengawasi para ulama, Singapura menerapkan kebijakan sertifikasi ini. Bagi siapapun yang tidak mempunyai sertifikat (tauliah), meski secara keilmuan dan kualifikasi keulamaannya diakui, tetap tidak bisa memberikan ceramah di muka umum. Mereka tidak bisa memberikan khutbah, ceramah maupun kajian, baik di masjid maupun di tempat terbuka.

Tidak hanya itu, naskah khutbahnya pun mereka dikte, sehingga setiap Jumat, khatib hanya diperbolehkan membaca naskah khutbah yang disediakan oleh Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS). Jika mereka melanggar, mereka akan dicabut tauliah-nya, dan bisa dijerat dengan UU ISA,

Di setiap masjid, dan tempat-tempat umat Islam berkumpul, special branch (SB) atau Intel ditempatkan. Tidak hanya itu, CCTV pun di pasang di mana-mana, termasuk di dalam masjid, untuk mengintai gerak-gerik umat Islam di sana, dan memonitor isi khutbah atau kajian yang disampaikan.

Malaysia juga menerapkan kebijakan yang hampir sama, meski tidak serepresif Singapura. Dua-duanya merupakan negara Commenwealth, dan sama-sama loyal kepada Inggris. Dengan kata lain, inilah kebijakan yang diterapkan Inggris .di kedua negara tersebut melalui agen-agennya di pemerintahan. Hasilnya, Inggris berhasil mempertahankan cengkramannya terhadap kedua negara tersebut, sehingga tidak bisa diambil oleh negara penjajah yang lain.

Kondisi yang hampir sama terjadi di Turki dan Arab Saudi. Orang-orang yang mumpuni dalam masalah agama tidak bisa berbicara di depan umum atau di mimbar-mimbar masjid sebelum mendapatkan restu pemerintah. Siapa yang melanggar sedikit saja, misalnya mengkritik pemerintah, maka izin ceramahnya dicabut. Jadilah yang muncul kemudian ulama-ulama Stempel pemerintah. Mereka tidak berani menyampaikan Islam apa adanya. Lho, kok malah mau ditiru Mbai?

Penulis adalah Redaktur Majalah Media Umat
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.