Senjata Kimia Suriah dan Intervensi Asing
Oleh Adnan Khan
Momok senjata kimia Suriah telah diberitakan secara terus-menerus selama lebih dari 18 bulan sejak dimulainya pemberontakan di Suriah. Berita yang dilaporkan pada tanggal 12 Juli 2012 menunjukkan bahwa sebagian senjata kimia Suriah sedang dipindahkan dari tempat penyimpanannya sehingga menyebabkan keprihatinan diantara para pejabat AS bahwa senjata itu dapat digunakan untuk melawan pihak pemberontak atau warga sipil. Pada hari Senin tanggal 9 Oktober Departemen Pertahanan AS menegaskan bahwa tim perencana militer AS berada di Yordania untuk mengurusi senjata kimia Suriah.
Tim yang dipimpin oleh pasukan operasi khusus yang terdiri dari sekitar 150 tentara, terutama tentara AS, sedang membangun sebuah bangunan kantor pusat di Amman dimana perencanaan operasional dan pengumpulan data intelijen akan dilakukan. “Saat ini, kami sedang bekerja sama dengan Yordania untuk jangka waktu tertentu… pada sejumlah isu-isu yang telah berkembang akibat dari apa yang terjadi di Suriah,” kata Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta dalam konferensi pers di Brussels. Panetta mengatakan isu-isu itu termasuk pemantauan situs-situs senjata kimia “untuk menentukan cara terbaik dalam menanggapi keprihatinan apapun yang terjadi di wilayah itu.”
Penumpasan pemberontakan secara brutal yang telah berlangsung selama 18 bulan terakhir tidak menjadi cukup alasan bagi AS untuk melakukan campur tangan, sementara prospek senjata kimia dan perang saudara terus-menerus diberitakan sebagai alasan bagi kemungkinan intervensi. Kemungkinan pertumpahan darah seperti yang terjadi di Benghazi, Libya merupakan dalih bagi dilakukannya intervensi militer di Libya, namun pertumpahan darah umat yang terjadi setiap hari di Suriah masih belum menjadi cukup alasan bagi Barat untuk melakukan campur tangan untuk mencopot al-Assad.
Senjata kimia
Suriah bukanlah merupakan salah satu negara penandatangan Konvensi Senjata Kimia (KSK) atau Traktat Pelarangan Test Nuklir Secara Menyeluruh (CTBT). Akibatnya negara itu mulai mengembangkan senjata kimia pada tahun 1973 sebelum terjadinya Perang Yom Kippur. Sejak itu, Suriah telah melakukan upaya untuk memperoleh dan mempertahankan gudang yang penuh dengan senjata kimia. Sementara Suriah telah membantah kepemilikan senjata kimia, hal ini adalah untuk menciptakan ketidakpastian dengan orang-orang yang memiliki desain mengenai negara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Jihad Makdissi, mengatakan pada konferensi pers yang disiarkan langsung di televisi negara Suriah pada bulan Juli 2012, dengan membenarkan pemilikan senjata kimia Suriah: “Senjata ini dibuat untuk digunakan secara ketat dan hanya digunakan saat terjadinya agresi eksternal terhadap Republik Arab Suriah, senjata seperti ini dipantau dengan ketat oleh Angkatan Darat Suriah, dan bahwa pada akhirnya penggunaannya akan diputuskan oleh para jenderal. ”
Suriah dilaporkan memproduksi senjata-senjata kimia tipe Sarin, Tabun, VX, dan jenis gas mustard. Senjata-senjata itu berasal dari fasilitas produksi senjata kimia yang telah diketahui oleh para ahli nonproliferasi Barat terdapat pada sekitar 5 situs, ditambah dengan satu basis senjata, yang meliputi Al Safir, Cerin, Hama, Homs, Latakia dan Palmyra.
Penilaian independen menunjukkan bahwa produksi Suriah hanyalah beberapa ratus ton bahan kimia per tahun. Hal ini dikarenakan Suriah tidak mampu memproduksi sendiri banyak prekursor yang diperlukan untuk membuat senjata kimia dan hal itu tergantung pada impor prekursor bahan-bahan kimia penting dan peralatan untuk memproduksinya. CIA melaporkan pada hampir setiap laporan akuisisi deklasifikasi (laporan yang dikeluarkan dari daftar rahasia) kepada Kongres AS selama lima tahun terakhir dalam upaya Suriah memperoleh bahan-bahan prekursor kimia dan peralatan dari sumber-sumber luar negeri. Bahan-bahan kimia yang ditimbun sebelum dilakukannya pengawasan ekspor internasional cenderung habis dalam jangka waktu lama.
Akhir Permainan di Suriah
Situasi saat ini di negara itu adalah bahwa rezim al-Assad, yang mengendalikan setiap lapisan masyarakat, telah gagal untuk mengakhiri pemberontakan, dengan menggunakan segala macam taktik brutal untuk memadamkan tuntutan bagi perubahan oleh massa. Situasi ini dipersulit oleh kekuatan-kekuatan internasional yang semuanya memiliki saham pada hasil yang didapatkan oleh negara dan yang telah melakukan manuver untuk mempengaruhi hasil tersebut. Strategi berturut-turut yang dilakukan Barat telah gagal untuk membendung seruan bagi perubahan oleh rakyat Suriah. Apa yang saat ini sedang berlangsung adalah pertempuran untuk memperoleh posisi pasca Al-Assad antara kaum Muslim Sunni dari Suriah dan Amerika Serikat.
Kebuntuan ini telah dicapai oleh umat saat mereka meninggalkan ketakutannya terhadap rezim yang memakai semua alat-alat yang terkenal kejahatannya dan memutuskan untuk menjatuhkan rezim dimana koordinasi dan taktik mereka telah meningkat. Saat ini, umat di Suriah telah berperang selama lebih dari satu tahun, dan dengan pengalaman dan bantuan dari tentara-tentara Suriah yang membelot ketajaman pertempuran mereka telah membaik. Peningkatan tajam atas jumlah tank tentara Suriah dan kendaraan tempur lapis baja yang bisa dihancurkan membuktikan kemampuan umat. Masuknya para pejuang dari negara-negara lain seperti yang telah dilaporkan juga telah didukung umat. Gelombang orang-orang yang masuk ke Suriah itu termasuk para pejuang Suriah dan Irak yang telah memiliki pengalaman tempur dalam perang Irak melawan pasukan AS. Pengalaman mereka dalam membuat Bahan Peledak Rakitan (IED) akan memberikan akibat yang sangat besar pada kemampuan umat untuk menimbulkan korban dan kerusakan pada militer Suriah.
Inilah sebabnya mengapa militer Suriah telah menghindari serangan kendaraan lapis baja yang mahal untuk menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai pemberontak di daerah perkotaan di mana kendaraan lapis baja itu lebih rentan. Rezim Suriah telah mengandalkan kemampuan serangan udara dan penembakan dari jauh dengan menggunakan tank, artileri dan dukungan serangan helikopter. Pihak oposisi serta Tentara Pembebasan Suriah (FSA) belum mencocokkan jumlah kekuatan pasukan maupun senjatanya karena pihak pemberontak telah memaksa pasukan rezim Assad untuk bertempur di semua tempat sekaligus, dengan mengambil keuntungan atas mobilitas yang tinggi dan fleksibilitas untuk menyusun serangan-serangan yang efektif dan penyergapan di mana dan kapan saja yang mereka inginkan.
Karena pihak pemberontak tidak memiliki kontrol dan struktur komando, infiltrasi yang dilakukan oleh pasukan konvensional Barat serta pasukan al-Assad menjadi sangat sulit. Prospek pembelotan pasukan al-Assad telah memaksa mereka bergantung hampir sepenuhnya pada kekuatan pasukan Garda Republik dan Divisi Lapis Baja Keempat, serta Shabiha, yang merupakan sebagian besar tentara, sementara tentara Sunni ada di barak-barak mereka. Akibatnya, al-Assad telah kehilangan sebagian besar pedesaan Suriah dan pasukannya terkonsentrasi dalam pertempuran untuk mempertahankan Damaskus dan Aleppo.
Kurangnya senjata-senjata berat oleh pihak pemberontak adalah kendala satu-satunya dalam cara mereka melakukan serangan berkelanjutan pada ibukota Damaskus dan kota penghubung ekonomi negara – Aleppo. Amerika, Inggris, Perancis, Turki, Qatar, Arab Saudi dan Mesir semuanya berusaha memikat pihak oposisi dengan janji-janji senjata berat sebagai imbalan atas kesetiaan mereka. Kegagalan mereka untuk memikat pihak oposisi itu adalah alasan mengapa senjata-senjata berat itu belum terkirim ke pihak oposisi, sebagaimana yang mereka katakan dalam mendukung pihak oposisi.
Senjata Pemusnah Massal (WMD)
Ada sejumlah laporan yang menunjukkan bahwa persediaan senjata kimia Suriah sedang dipindahkan untuk menjamin keselamatan senjata-senjata itu. Namun pertempuran yang berlangsung di Suriah antara pasukan al-Assad dan umat, menjadikan senjata-senjata kimia itu memiliki arti yang sedikit untuk mengubah fakta-fakta di lapangan.
Suriah tidak memiliki bahan kimia dalam jumlah besar. Apa yang memang dimiliki Suriah memang juga perlu untuk dibawa dalam memberikan untuk kerusakan yang signifikan. Sebagaimana yang diketahui oleh para komandan militer di medan perang Eropa selama Perang Dunia I, dan selama perang Iran-Irak, senjata kimia adalah tidak stabil dan cepat menguap, dan cenderung untuk hilang dengan cepat. Akibatnya, konsentrasi mematikan menjadi sulit untuk didapatkan dalam pertempuran yang sesungguhnya.
Sifat dari pemberontakan di Suriah adalah bahwa hal itu terjadi di seluruh negeri. Para pemberontak tidak memiliki fasilitas yang tetap atau markas-markas di mana mereka bisa menumpuk persediaan senjata mereka dan menggunakannya sebagai pasokan. Menggunakan artileri untuk menghilangkan agen kimia akan berdampak kecil karena kekuatan oposisi yang tersebar di seluruh negeri dan dengan demikian senjata kimia itu akan berdampak kecil ketika dipakai pada wilayah yang tersebar luas.
Senjata kimia bisa dikerahkan dengan menggunakan sistem pengiriman seperti rudal. Bahan-bahan berbahaya itu perlu diproduksi dalam jumlah mematikan sebagai hulu ledak dan terintegrasi dengan rudal. Hubungan Al-Assad dengan Rusia telah menghasilkan ekspor senjata-senjata besar termasuk pasokan rudal-rudal Scud. Rudal Scul adalah serangkaian rudal balistik taktis yang dikembangkan oleh Uni Soviet selama Perang Dingin. Rudal-rudal itu diekspor secara luas ke negara-negara lain, termasuk Suriah.
Sebagai senjata militer taktis, rudal Scud merupakan senjata yang efektif. Rudal Scud yang ditembakkan ke Israel dari Irak pada tahun 1991 tidak memukul militer Israel, pemerintah, atau target infrastruktur, secara signifikan namun hanya dua warga Israel yang tewas sebagai akibat langsung dari rudal Scud itu. Rudal Scud lebih merupakan senjata teror untuk menimbulkan ketakutan pihak musuh. Rudal Scud cocok untuk target-target yang lebih besar seperti pelabuhan, bandara, lokasi industri dll. Integrasi hulu-hulu ledak kimia dengan rudal Scud hanya akan berguna jika ada silo-silo atau mesin-mesin berat untuk menargetkan wilayah yang tetap, dimana hal itu tidak terjadi di Suriah. Al-Assad bertempur melawan pasukan yang tidak konvensional dan bukan pasukan konvensional. Pertempuran yang tidak konvensional dan penggunaan taktik asimetris dapat mengarah kepada jalan buntu. Di Suriah, ada terlalu banyak unit pemberontak yang menjadi target sementara rudal Scud terkenal tidak akurat. Juga dipertanyakan jika rezim al-Assad berhasil mengintegrasikan hulu ledak senjata kimia dengan sebuah rudal. Pada bulan Juli 2007, sebuah gudang senjata Suriah meledak, dengan menewaskan sedikitnya 15 warga Suriah. Mingguan Jane’s Defence, yang merupakan majalah militer dan majalah untuk perusahaan militer, percaya bahwa ledakan terjadi ketika personil militer Iran dan Suriah berusaha memasang rudal Scud dengan hulu ledak gas mustard.
Intervensi
Pemboman di markas Keamanan Nasional di Damaskus pada tanggal 18 Juli 2012 yang membunuh beberapa bos rezim keamanan dan calon-calon pengambil alih kekuasaan dari al-Assad adalah saat ketika AS terus disorot akan melakukan intervensi karena perang saudara dan kemungkinan senjata kimia jatuh ke tangan kaum radikal. Menteri Pertahanan Suriah Dawoud Rajha, mantan Menteri Pertahanan Hassan Turkmani, Menteri Dalam Negeri Mohammad al-Shaar, Kepala Dewan Keamanan Nasional Hisham Biktyar dan Wakil Menteri Pertahanan Assef Shawkat (Al-Assad kakak ipar) semuanya dilaporkan telah tewas, sementara saudara Al-Assad Maher al Assad – Komandan Pengawal Republik dan Komandan Panglima Divisi Keempat dilaporkan kehilangan kedua kakinya. Pengeboman itu menyebabkan kebingungan pernyataan dari pejabat AS seperti Kepala Gabungan dari para Kepala Staf, Menteri Pertahanan AS, Sekretaris Negara dan Presiden sendiri meningkatkan seruan untuk melakukan intervensi militer.
Urutan peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa AS akan melakukan intervensi jika umat di Suriah berada di ambang penggulingan al-Assad karena umat akan menggantikannya dengan penguasa yang lain yang bukan merupakan agen atau kaki tangan (proxy) dari AS. Penyebaran senjata kimia adalah alasan dan akan menjadi dalih campur tangan jika rencana itu tercapai. AS telah menghambat kemajuan pihak oposisi dengan tidak memberikan senjata berat dan menghentikan negara-negara lain melakukannya, dalam rangka membangun suatu alternatif di negara yang setia kepada Amerika. Mesin militer Amerika akan melakukan intervensi jika ada peningkatan kemampuan umat lebih lanjut dan menunjukkan tanda-tanda jatuhnya rezim al-Assad. Setelah 18 bulan pertempuran, dan untuk saat ini AS telah gagal dalam membangun sebuah alternatif, menghentikan kemajuan umat dan memikat pihak oposisi dengan janji-janji senjata berat tetap merupakan strateginya.
Kesimpulan
Amerika dan sekutu-sekutunya sedang membangun berbagai mitos untuk membenarkan kemungkinan intervensi. Hingga saat ini, AS telah mengandalkan negara-negara kaki tangannya (proxy states) di kawasan itu dengan harapan bahwa kepentingannya akan terlindungi, dengan memakai sebesar-besarnya mesin negara Suriah. Senjata kimia tetap akan menjadi alasan untuk dilakukannya campur tangan di negara itu jika umat di ambang menggulingkan rezim al-Assad. (RZ) [khilafahcom/htipress/www.al-khilafah.org]
Momok senjata kimia Suriah telah diberitakan secara terus-menerus selama lebih dari 18 bulan sejak dimulainya pemberontakan di Suriah. Berita yang dilaporkan pada tanggal 12 Juli 2012 menunjukkan bahwa sebagian senjata kimia Suriah sedang dipindahkan dari tempat penyimpanannya sehingga menyebabkan keprihatinan diantara para pejabat AS bahwa senjata itu dapat digunakan untuk melawan pihak pemberontak atau warga sipil. Pada hari Senin tanggal 9 Oktober Departemen Pertahanan AS menegaskan bahwa tim perencana militer AS berada di Yordania untuk mengurusi senjata kimia Suriah.
Tim yang dipimpin oleh pasukan operasi khusus yang terdiri dari sekitar 150 tentara, terutama tentara AS, sedang membangun sebuah bangunan kantor pusat di Amman dimana perencanaan operasional dan pengumpulan data intelijen akan dilakukan. “Saat ini, kami sedang bekerja sama dengan Yordania untuk jangka waktu tertentu… pada sejumlah isu-isu yang telah berkembang akibat dari apa yang terjadi di Suriah,” kata Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta dalam konferensi pers di Brussels. Panetta mengatakan isu-isu itu termasuk pemantauan situs-situs senjata kimia “untuk menentukan cara terbaik dalam menanggapi keprihatinan apapun yang terjadi di wilayah itu.”
Penumpasan pemberontakan secara brutal yang telah berlangsung selama 18 bulan terakhir tidak menjadi cukup alasan bagi AS untuk melakukan campur tangan, sementara prospek senjata kimia dan perang saudara terus-menerus diberitakan sebagai alasan bagi kemungkinan intervensi. Kemungkinan pertumpahan darah seperti yang terjadi di Benghazi, Libya merupakan dalih bagi dilakukannya intervensi militer di Libya, namun pertumpahan darah umat yang terjadi setiap hari di Suriah masih belum menjadi cukup alasan bagi Barat untuk melakukan campur tangan untuk mencopot al-Assad.
Senjata kimia
Suriah bukanlah merupakan salah satu negara penandatangan Konvensi Senjata Kimia (KSK) atau Traktat Pelarangan Test Nuklir Secara Menyeluruh (CTBT). Akibatnya negara itu mulai mengembangkan senjata kimia pada tahun 1973 sebelum terjadinya Perang Yom Kippur. Sejak itu, Suriah telah melakukan upaya untuk memperoleh dan mempertahankan gudang yang penuh dengan senjata kimia. Sementara Suriah telah membantah kepemilikan senjata kimia, hal ini adalah untuk menciptakan ketidakpastian dengan orang-orang yang memiliki desain mengenai negara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Jihad Makdissi, mengatakan pada konferensi pers yang disiarkan langsung di televisi negara Suriah pada bulan Juli 2012, dengan membenarkan pemilikan senjata kimia Suriah: “Senjata ini dibuat untuk digunakan secara ketat dan hanya digunakan saat terjadinya agresi eksternal terhadap Republik Arab Suriah, senjata seperti ini dipantau dengan ketat oleh Angkatan Darat Suriah, dan bahwa pada akhirnya penggunaannya akan diputuskan oleh para jenderal. ”
Suriah dilaporkan memproduksi senjata-senjata kimia tipe Sarin, Tabun, VX, dan jenis gas mustard. Senjata-senjata itu berasal dari fasilitas produksi senjata kimia yang telah diketahui oleh para ahli nonproliferasi Barat terdapat pada sekitar 5 situs, ditambah dengan satu basis senjata, yang meliputi Al Safir, Cerin, Hama, Homs, Latakia dan Palmyra.
Penilaian independen menunjukkan bahwa produksi Suriah hanyalah beberapa ratus ton bahan kimia per tahun. Hal ini dikarenakan Suriah tidak mampu memproduksi sendiri banyak prekursor yang diperlukan untuk membuat senjata kimia dan hal itu tergantung pada impor prekursor bahan-bahan kimia penting dan peralatan untuk memproduksinya. CIA melaporkan pada hampir setiap laporan akuisisi deklasifikasi (laporan yang dikeluarkan dari daftar rahasia) kepada Kongres AS selama lima tahun terakhir dalam upaya Suriah memperoleh bahan-bahan prekursor kimia dan peralatan dari sumber-sumber luar negeri. Bahan-bahan kimia yang ditimbun sebelum dilakukannya pengawasan ekspor internasional cenderung habis dalam jangka waktu lama.
Akhir Permainan di Suriah
Situasi saat ini di negara itu adalah bahwa rezim al-Assad, yang mengendalikan setiap lapisan masyarakat, telah gagal untuk mengakhiri pemberontakan, dengan menggunakan segala macam taktik brutal untuk memadamkan tuntutan bagi perubahan oleh massa. Situasi ini dipersulit oleh kekuatan-kekuatan internasional yang semuanya memiliki saham pada hasil yang didapatkan oleh negara dan yang telah melakukan manuver untuk mempengaruhi hasil tersebut. Strategi berturut-turut yang dilakukan Barat telah gagal untuk membendung seruan bagi perubahan oleh rakyat Suriah. Apa yang saat ini sedang berlangsung adalah pertempuran untuk memperoleh posisi pasca Al-Assad antara kaum Muslim Sunni dari Suriah dan Amerika Serikat.
Kebuntuan ini telah dicapai oleh umat saat mereka meninggalkan ketakutannya terhadap rezim yang memakai semua alat-alat yang terkenal kejahatannya dan memutuskan untuk menjatuhkan rezim dimana koordinasi dan taktik mereka telah meningkat. Saat ini, umat di Suriah telah berperang selama lebih dari satu tahun, dan dengan pengalaman dan bantuan dari tentara-tentara Suriah yang membelot ketajaman pertempuran mereka telah membaik. Peningkatan tajam atas jumlah tank tentara Suriah dan kendaraan tempur lapis baja yang bisa dihancurkan membuktikan kemampuan umat. Masuknya para pejuang dari negara-negara lain seperti yang telah dilaporkan juga telah didukung umat. Gelombang orang-orang yang masuk ke Suriah itu termasuk para pejuang Suriah dan Irak yang telah memiliki pengalaman tempur dalam perang Irak melawan pasukan AS. Pengalaman mereka dalam membuat Bahan Peledak Rakitan (IED) akan memberikan akibat yang sangat besar pada kemampuan umat untuk menimbulkan korban dan kerusakan pada militer Suriah.
Inilah sebabnya mengapa militer Suriah telah menghindari serangan kendaraan lapis baja yang mahal untuk menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai pemberontak di daerah perkotaan di mana kendaraan lapis baja itu lebih rentan. Rezim Suriah telah mengandalkan kemampuan serangan udara dan penembakan dari jauh dengan menggunakan tank, artileri dan dukungan serangan helikopter. Pihak oposisi serta Tentara Pembebasan Suriah (FSA) belum mencocokkan jumlah kekuatan pasukan maupun senjatanya karena pihak pemberontak telah memaksa pasukan rezim Assad untuk bertempur di semua tempat sekaligus, dengan mengambil keuntungan atas mobilitas yang tinggi dan fleksibilitas untuk menyusun serangan-serangan yang efektif dan penyergapan di mana dan kapan saja yang mereka inginkan.
Karena pihak pemberontak tidak memiliki kontrol dan struktur komando, infiltrasi yang dilakukan oleh pasukan konvensional Barat serta pasukan al-Assad menjadi sangat sulit. Prospek pembelotan pasukan al-Assad telah memaksa mereka bergantung hampir sepenuhnya pada kekuatan pasukan Garda Republik dan Divisi Lapis Baja Keempat, serta Shabiha, yang merupakan sebagian besar tentara, sementara tentara Sunni ada di barak-barak mereka. Akibatnya, al-Assad telah kehilangan sebagian besar pedesaan Suriah dan pasukannya terkonsentrasi dalam pertempuran untuk mempertahankan Damaskus dan Aleppo.
Kurangnya senjata-senjata berat oleh pihak pemberontak adalah kendala satu-satunya dalam cara mereka melakukan serangan berkelanjutan pada ibukota Damaskus dan kota penghubung ekonomi negara – Aleppo. Amerika, Inggris, Perancis, Turki, Qatar, Arab Saudi dan Mesir semuanya berusaha memikat pihak oposisi dengan janji-janji senjata berat sebagai imbalan atas kesetiaan mereka. Kegagalan mereka untuk memikat pihak oposisi itu adalah alasan mengapa senjata-senjata berat itu belum terkirim ke pihak oposisi, sebagaimana yang mereka katakan dalam mendukung pihak oposisi.
Senjata Pemusnah Massal (WMD)
Ada sejumlah laporan yang menunjukkan bahwa persediaan senjata kimia Suriah sedang dipindahkan untuk menjamin keselamatan senjata-senjata itu. Namun pertempuran yang berlangsung di Suriah antara pasukan al-Assad dan umat, menjadikan senjata-senjata kimia itu memiliki arti yang sedikit untuk mengubah fakta-fakta di lapangan.
Suriah tidak memiliki bahan kimia dalam jumlah besar. Apa yang memang dimiliki Suriah memang juga perlu untuk dibawa dalam memberikan untuk kerusakan yang signifikan. Sebagaimana yang diketahui oleh para komandan militer di medan perang Eropa selama Perang Dunia I, dan selama perang Iran-Irak, senjata kimia adalah tidak stabil dan cepat menguap, dan cenderung untuk hilang dengan cepat. Akibatnya, konsentrasi mematikan menjadi sulit untuk didapatkan dalam pertempuran yang sesungguhnya.
Sifat dari pemberontakan di Suriah adalah bahwa hal itu terjadi di seluruh negeri. Para pemberontak tidak memiliki fasilitas yang tetap atau markas-markas di mana mereka bisa menumpuk persediaan senjata mereka dan menggunakannya sebagai pasokan. Menggunakan artileri untuk menghilangkan agen kimia akan berdampak kecil karena kekuatan oposisi yang tersebar di seluruh negeri dan dengan demikian senjata kimia itu akan berdampak kecil ketika dipakai pada wilayah yang tersebar luas.
Senjata kimia bisa dikerahkan dengan menggunakan sistem pengiriman seperti rudal. Bahan-bahan berbahaya itu perlu diproduksi dalam jumlah mematikan sebagai hulu ledak dan terintegrasi dengan rudal. Hubungan Al-Assad dengan Rusia telah menghasilkan ekspor senjata-senjata besar termasuk pasokan rudal-rudal Scud. Rudal Scul adalah serangkaian rudal balistik taktis yang dikembangkan oleh Uni Soviet selama Perang Dingin. Rudal-rudal itu diekspor secara luas ke negara-negara lain, termasuk Suriah.
Sebagai senjata militer taktis, rudal Scud merupakan senjata yang efektif. Rudal Scud yang ditembakkan ke Israel dari Irak pada tahun 1991 tidak memukul militer Israel, pemerintah, atau target infrastruktur, secara signifikan namun hanya dua warga Israel yang tewas sebagai akibat langsung dari rudal Scud itu. Rudal Scud lebih merupakan senjata teror untuk menimbulkan ketakutan pihak musuh. Rudal Scud cocok untuk target-target yang lebih besar seperti pelabuhan, bandara, lokasi industri dll. Integrasi hulu-hulu ledak kimia dengan rudal Scud hanya akan berguna jika ada silo-silo atau mesin-mesin berat untuk menargetkan wilayah yang tetap, dimana hal itu tidak terjadi di Suriah. Al-Assad bertempur melawan pasukan yang tidak konvensional dan bukan pasukan konvensional. Pertempuran yang tidak konvensional dan penggunaan taktik asimetris dapat mengarah kepada jalan buntu. Di Suriah, ada terlalu banyak unit pemberontak yang menjadi target sementara rudal Scud terkenal tidak akurat. Juga dipertanyakan jika rezim al-Assad berhasil mengintegrasikan hulu ledak senjata kimia dengan sebuah rudal. Pada bulan Juli 2007, sebuah gudang senjata Suriah meledak, dengan menewaskan sedikitnya 15 warga Suriah. Mingguan Jane’s Defence, yang merupakan majalah militer dan majalah untuk perusahaan militer, percaya bahwa ledakan terjadi ketika personil militer Iran dan Suriah berusaha memasang rudal Scud dengan hulu ledak gas mustard.
Intervensi
Pemboman di markas Keamanan Nasional di Damaskus pada tanggal 18 Juli 2012 yang membunuh beberapa bos rezim keamanan dan calon-calon pengambil alih kekuasaan dari al-Assad adalah saat ketika AS terus disorot akan melakukan intervensi karena perang saudara dan kemungkinan senjata kimia jatuh ke tangan kaum radikal. Menteri Pertahanan Suriah Dawoud Rajha, mantan Menteri Pertahanan Hassan Turkmani, Menteri Dalam Negeri Mohammad al-Shaar, Kepala Dewan Keamanan Nasional Hisham Biktyar dan Wakil Menteri Pertahanan Assef Shawkat (Al-Assad kakak ipar) semuanya dilaporkan telah tewas, sementara saudara Al-Assad Maher al Assad – Komandan Pengawal Republik dan Komandan Panglima Divisi Keempat dilaporkan kehilangan kedua kakinya. Pengeboman itu menyebabkan kebingungan pernyataan dari pejabat AS seperti Kepala Gabungan dari para Kepala Staf, Menteri Pertahanan AS, Sekretaris Negara dan Presiden sendiri meningkatkan seruan untuk melakukan intervensi militer.
Urutan peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bahwa AS akan melakukan intervensi jika umat di Suriah berada di ambang penggulingan al-Assad karena umat akan menggantikannya dengan penguasa yang lain yang bukan merupakan agen atau kaki tangan (proxy) dari AS. Penyebaran senjata kimia adalah alasan dan akan menjadi dalih campur tangan jika rencana itu tercapai. AS telah menghambat kemajuan pihak oposisi dengan tidak memberikan senjata berat dan menghentikan negara-negara lain melakukannya, dalam rangka membangun suatu alternatif di negara yang setia kepada Amerika. Mesin militer Amerika akan melakukan intervensi jika ada peningkatan kemampuan umat lebih lanjut dan menunjukkan tanda-tanda jatuhnya rezim al-Assad. Setelah 18 bulan pertempuran, dan untuk saat ini AS telah gagal dalam membangun sebuah alternatif, menghentikan kemajuan umat dan memikat pihak oposisi dengan janji-janji senjata berat tetap merupakan strateginya.
Kesimpulan
Amerika dan sekutu-sekutunya sedang membangun berbagai mitos untuk membenarkan kemungkinan intervensi. Hingga saat ini, AS telah mengandalkan negara-negara kaki tangannya (proxy states) di kawasan itu dengan harapan bahwa kepentingannya akan terlindungi, dengan memakai sebesar-besarnya mesin negara Suriah. Senjata kimia tetap akan menjadi alasan untuk dilakukannya campur tangan di negara itu jika umat di ambang menggulingkan rezim al-Assad. (RZ) [khilafahcom/htipress/www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar