Header Ads

Lompatan Annisa, Derita Dera, dan Kondisi Kita

Annisa dan Dera
Oleh : Fahrur Rozi, Pemerhati Masalah Sosial

Tulisan ini tidak dalam rangka menjustifikasi bahwa kematian mahasiswi UI, Annisa Azward karena melompat dari mobil angkot di daerah jalan layang Pasar Asemka-Jakarta, pekan lalu, sebagai kesalahannya. Bukan pula bermaksud mendramatisasi ataupun membuat kesimpulan sederhan bahwa meninggalnya bocah cantik berumur 1 minggu bernama Dera Anggraini karena ia berasal dari keluarga miskin lantas ‘diabaikan’ oleh 8 rumah sakit di Jakarta.



Tulisan ini ingin membahas cara manusia membuat keputusan, dan dalam konteks yang lebih luas, tentang pengambilan keputusan kumulatif yang telah dibuat serta efeknya terhadap tatanan kehidupan kita. Pembuatan keputusan adalah salah satu fungsi berpikir yang dapat dianggap sebagai kemampuan tertinggi. Fungsi berpikir lain adalah kemampuan membuat rencana dan introspeksi diri.

Membuat keputusan menjadi penting karena dalam kehidupan sehari-hari manusia menghadapi banyak sekali pilihan. Mulai dari memilih makanan apa untuk dimakan hingga keputusan memilih (atau tidak memilih) dalam Pemilukada dan Pemilu 2014 nanti.

Kemampuan mengambil keputusan telah menjadi perhatian sejak dulu dalam ilmu-ilmu otak (neurosains). Karena itu, ilmuwan otak Daniel Kahneman mendapatkan anugerah Nobel karena risetnya sejak tahun 1960-an perihal bagaimana manusia membuat keputusan. Kahneman tidak menerima Nobel Kedokteran, tetapi justru Nobel Ekonomi. Salah satu kesimpulan riset Kahneman adalah kegiatan ekonomi bukan kegiatan ekonomi belaka. Ketika manusia harus memilih, kegiatan itu menjadi kegiatan psikologis yang melibatkan otak.

Jika kita asumsikan lompatan Annisa dari angkot dan penolakan 8 rumah sakit untuk merawat Dera sebagai kegiatan psikologis, pertanyaan yang menyeruak: apakah keputusan itu keputusan rasional atau emosional? Jika menggunakan istilah Kahneman: apakah keputusan itu menggunakan sistem 1 (cepat, tanpa usaha, insting dan emosional) atau sistem 2 (lambat, usaha, rasional, dan penuh perhitungan).

Sistem 1 dan Sistem 2

Jika sistem 1 yang bekerja, bagian otak bernama limbik yang mendominasi kinerja otak. Limbik dikelompokkan sebagai komponen ”otak tua” (paleocortex). Ini bagian otak yang paling lama ada di otak manusia dan dimiliki semua makhluk dengan bentuk berbeda. Limbik diciptakan oleh Sang Pencipta untuk membantu manusia merespons kejadian yang membutuhkan keputusan cepat.

Pada keadaan panik, limbik bekerja secepat kilat dan membombardir otak dengan sejumlah zat kimia agar otak siaga, napas memburu, denyut jantung bertambah cepat, otot mengeras, pupil mata membesar, dan kelenjar keringat melebar. Tubuh yang siaga menjadi kuat luar biasa dan siap menerjang lawan atau ambil langkah seribu.

Menurut teori Daniel Golleman (2004), jika sistem 1 bekerja, kemungkinan terjadi pembajakan terhadap pikiran rasional sangat besar. Saat ini terjadi ”buta pikiran” akibat data kurang lengkap, bias, atau menyimpang. Padahal, harus diambil keputusan cepat.

Adapun Sistem 2 bekerja lambat, penuh usaha, analitis, dan rasional. Komponen otak yang bekerja adalah cortex prefrontal yang dikelompokkan sebagai neocortex (otak baru) karena secara evolusi komponen muncul belakangan pada primata, terutama manusia.

Dalam sistem ini, data dianalisis, dicocokkan dengan memori, dan dibuat kesimpulan logis. Karena urutan ini, prosesnya lambat dan lama. Dengan tingkat akurasi dan presisi yang lebih baik, sistem berpikir 2 menjadi ciri manusia yang membuat pengambilan keputusan menjadi sesuatu yang rumit, tetapi umumnya tepat. Akurasi dan validitas data menjadi komponen penting. Kemudian analisis yang tajam dan kesimpulan yang pas.
Pada mereka yang terlatih dengan baik, sistem 2 dapat bekerja lebih cepat dari sistem 1 dengan akurasi dan presisi kesimpulan yang tepat. Ini yang oleh Gladwell disebut blink; thinking without thinking.

**

Jika merujuk pemberitaan media massa (Kompas, 11/2) bahwa Annisa salah naik mobil, sopir mengambil jalur pintas ke tujuan, jalanan sepi, di angkot hanya ada annisa sendiri, maka ada kemungkinan otak Annisa sedang bekerja menggunakan sistem 1.

Data mungkin bias (khawatir sopir akan memerkosa?), rute menyimpang (lewat jalur lain yang sepi?) dan adanya memori pemerkosaan di mobil umum seperti banyak kejadian sebelumnya, membuat otak emosional milik Annisa membajak otak rasionalnya. Apakah Annisa menggunakan sistem 2? Jika merangkai dari sejumlah berita dan cerita, kecil kemungkinan. Sistem transportasi dan keamanan penumpang yang buruk, kondisi yang terasa aneh dan memori pemerkosaan yang berkecamuk di pikiran, membuat otaknya tak bekerja baik dengan sistem 2.

Kasus meninggalnya Dera lebih kompleks lagi. Menurut pemberitaan yang berkembang (Okezone, 19/2) Dera yang dilahirkan melalui proses bedah cesar Di RS Zahira, mengalami gangguan saluran pencernaan sehingga harus dioperasi. dengan berbagai alasan beberapa Rumah sakit menolak untuk merawat Dera, mulai dari alasan kekurangan peralatan, kamar penuh, dan ketidakmampuan pihak keluarga membayar DP perawatan.

Ada keterkaitan antara kedua kasus diatas yakni terkait keputusan yang diambil pihak Rumah sakit. Saya rasa terlalu tergesa-gesa kalau langsung diambil kesimpulan bahwa “Orang Miskin dilarang berobat ke Rumah sakit.” Kuat dugaan saya se-komersial apapun sebuah rumah sakit, perasaan psikologis sang Direktur rumah sakit, para dokter, ataupun perawat pastilah tersentuh ketika dihadapkan dengan orang-orang yang sedang sakit apalagi dari kalangan miskin dan sakit kritis pula. Namun, fenomena empirik menunjukkan acapkali pihak rumah sakit menolak mengobati pasien dengan berbagai alasan. Selama bulan Februari ini saja setidaknya ada lebih dari 12 kasus yang terjadi. Itu belum termasuk yang tidak di bollow-up oleh media.

Kuat dugaan saya Politik kesehatan yang liberal-kapitalistik, dana kesehatan yang minimalis, peralatan medis ala kadarnya, dan manajemen rumah sakit yang berorientasi komersial menyebabkan pihak rumah sakit dengan terpaksa ‘menggadaikan’ pikiran emosionalnya dengan pikiran rasional. Besar kemungkinan pihak rumah sakit dalam kedua kasus diatas mengambil keputusan menggunakan sistem 2.

Faktor Individu dan Faktor Sistem

Benar bahwasanya dalam kedua kasus diatas terdapat faktor individual yang berperan, akan tetapi tak boleh diabaikan adanya faktor sistemik yang sesungguhnya paling dominan.

Melompat dari angkot memang benar merupakan Keputusan individual annisa, tapi faktor lain yang berperan besar adalah keputusan kolektif kita untuk tetap hidup dalam sistem/tatanan kehidupan sekarang. Sistem kehidupan yang memiliki banyak sekali efek negatif; sistem transportasi yang buruk, layanan kesehatan yang diskriminatif, semakin terkikisnya rasa peduli kepada sesama, serta hilangnya rasa aman di tengah-tengah masyarakat.

Pun juga kurang bijak rasanya manakala kita serta merta langsung menyalahkan keputusan yang diambil rumah sakit yang menolak pasien ketika memang dalam kontek sistem kehidupan liberal-kapitalistik saat ini semuanya diukur dengan materi. Bahkan tugas pokok negara sekalipun yang berkewajiban menyediakan pelayana kesehatan gratis dikaitkan dengan komersialisasi materi. Serangkaian kebijakan politik kesehatan mulai dari UU 36/2009 tentang kesehatan, UU 29/2004 tentang praktek kedokteran, dan UU 24/2011 tentang BPJS menegaskan bagaimana begitu komersialnya pelayanan kesehatan. Ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan sistem pelayanan kesehatan di negeri ini.

sudah saatnya kita meningkatkan porsi kepedulian kita karena mungkin ada sebagian dari anda yang acuh ketika mendengan berita tentang Annisa atau Dera. Ingat, ini bukan semata-mata tentang meninggalnya seorang mahasiswi yang cantik dan cerdas serta seorang balita mungil, karena mereka telah memiliki masa depannya sendiri. ini tentang kita, tentang Masa depan kita.

Jika demikian berarti masalahnya bukan hanya di hilir tapi juga sampai ke hulu, mulai dari mental sopir sampai layanan rumah sakit yang belum padu. Oleh karenanya penangannya bukan hanya parsial tapi perubahan total. Oleh karenanya mari kita mulai denga mengambil keputusan tepat untuk diri kita sendiri kemudian mengambil keputusan hebat untuk menjadi bagian dari orang-orang yang memperbaiki kondisi.

#allahu a’lam
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.