Demi Bubarnya Densus 88
Demi Bubarnya Densus 88
Oleh : Abu Zahro (Salah Satu Aktifis Gerakan islam di Indonesia)
Di tengah menguatnya tuntutan pembubaran densus 88 yang dipicu di antaranya video kekerasan dan kebiadaban densus 88 di berbagai media online, memunculkan banyak pertanyaan tentang bagaimana dan apa yang akan dilakukan nanti setelah densus 88 dibubarkan. Informasi ini penting untuk memahami bagaimana anatomi pengambilan keputusan di negeri muslim –seperti Indonesia ini- yang sudah mengokohkan dirinya sebagai bagian dari proyek GWOT (Global War On Terrorism) di bawah pimpinan AS dan sekutu-sekutunya (baca = Kafir Muharibban Fi’lan). Selain video kekerasan dan kebiadaban itu, banyak juga data yang ditemukan tentang ekstra judicial killing (pembunuhan tanpa mekanisme pengadilan) dan ekstra judicial action yang dilakukan oleh densus 88. Berbagai kekerasan demi kekerasan oleh densus 88 untuk menangani apa yang disebut dengan “terrorism” akan memunculkan siklus kekerasan yang tidak pernah berkesudahan. Treatment kebijakan seperti itu tidak akan menyelesaikan dan menuntaskan akar persoalan. Kecuali dibuka ruang dialog terbuka untuk menguak apa yang sebenarnya menjadi akar munculnya terorisme. Apalagi jika para petinggi densus 88 yang sekarang berkuasa menentukan kebijakan lembaga ini berasal dari orang-orang yang membenci Islam dan senantiasa mengobarkan perang melawan Islam seperti Gories Mere, Petrus Golosse dan Ansyaad Mbai. Selain eksistensi orang-orang itu, keberadaan lembaga ini juga sebagai bagian dari kontruksi pelembagaan berdasar atas legal of frame semisal UU Terorisme dan UU Pendanaan Terorime serta perundang-undangan yang lain di Indonesia untuk memasifkan dan meligitimasi GWOT. Lengkap sudah, GWOT di Indonesia ditopang oleh legal of frame (UU Terorisme, UU Pendanaan Terorisme dll), lembaga yang menjalankan amanah UU itu (BNPT dan Densus 88), dan orang-orang pembenci Islam yang menentukan kebijakan pada lembaga itu.
Skenario Pasca Densus 88 dibubarkan
Video kekerasan dan kebiadaban Densus 88 yang diupload di berbagai media online dan memicu desakan pembubaran, akan memunculkan 2 reaksi yang bertolak belakang. Pertama, video itu akan memantik semakin menggeloranya semangat perlawanan kaum muslimin terhadap simbol-simbol kedhaliman dan kesewenang-wenangan lembaga yang menjadi representasi proyek GWOT nya AS dan sekutu-sekutunya di Indonesia (BNPT dan Densus 88). Kedua, di lain pihak bagi penentu kebijakan di Indonesia - yang sudah terlanjur kontrak proyek GWOT - akan berpikir keras untuk tetap mempertahankan secara fungsional maupun struktural keberadaan lembaga itu (densus 88) dengan cara formal maupun dengan cara non formal (baca = operasi intelijen). Kompolnas menyampaikan bahwa bubarkan densus 88 sama dengan bubarkan Polri (Metro TV, 04 Maret 2013). Beberapa pihak yang tetap menghendaki keberadaan lembaga ini secara struktural dan formal sebut saja PBNU yang diwakili oleh petingginya Ketua PBNU, H. Iqbal Sullam dan segelintir anggota dewan (DPR RI). Dengan dalih, bahwa densus 88 tidak perlu dibubarkan tetapi hanya butuh evaluasi kinerja sampai dengan dalih apresiasi bahwa lembaga ini telah melakukan kinerja yang bagus dan perlu eksistensi yang kontinyu untuk menangani ancaman terorisme jangka panjang.
Yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan jika penentu kebijakan menggunakan cara untuk mempertahankan eksisting densus 88 secara struktural (kelembagaan) dengan cara-cara non formal (baca = operasi intelijen). Dengan memanfaatkan potensi perlawanan yang menggelora atas kedhaliman dan kekerasan densus 88 serta mengaitkan dengan jaringan veteran mujahidin Afghanistan, Moro dll di Indonesia beserta organ-organ/kelompok-kelompok yang disinyalir memiliki sindikasi, akan didesain sebuah “momentum besar” yang diprediksikan berimplikasi opini media meluas. “Momentum besar” itu akan diperkuat oleh blow up rekayasa opini media yang semakin mengokohkan dan meligitimasi bahwa densus 88 masih dibutuhkan eksistensinya baik secara kelembagaan maupun fungsional. Atau mungkin juga dilakukan “operasi pengambangan”. Yakni membuat dikotomi antara kelompok yang mendesak pembubaran densus 88 dengan dimunculkannya pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang tidak setuju atas pembubaran. Jika diperlukan dilakukan “operasi adu domba”. Seperti dimunculkannya varian Islam Moderat dan Islam Radikal/Islam Fundamentalis. Seperti juga menghadap-hadapkan ormas Islam besar NU dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan MUI beserta ormas-ormas Islam lainnya sepakat dibubarkannya densus 88. Sebaliknya, PBNU menolak pembubaran. Dibiarkan dalam perdebatan pro kontra “perlu atau tidaknya dibubarkannya densus 88 secara berkepanjangan”. Lambat laun semakin lama sampai dengan akhirnya berujung dengan ketidak jelasan status perlu atau tidaknya dibubarkannya densus 88. Seolah terjadi “proses alamiah” pemandulan dan penumpulan menguatnya desakan pembubaran densus 88. Dalam bentuk memandulkan semangat perlawanan terhadap proyek GWOT ala AS (Kafir Muharibban Fi’lan). Perang melawan proyek GWOT ala AS ini sebagai bagian membongkar makar pemerintahan thogut yang menjadi antek para penjajah kafir muhafibban fi’lan yang semakin tinggi tensinya, akan diperlemah sehingga pada akhirnya akan terjebak ke dalam skenario berkepanjangan proses pengambilan keputusan politik yang sarat dengan bargaining kepentingan untuk mereevaluasi UU Terorisme. Sebuah undang-undang yang menjadi sandaran ala thogut keberadaan densus 88.
Pasca kedatangan Din Syamsudin bersama MUI beserta ormas-ormas Islam dengan membawa data-data kekejaman dan kebiadaban densus 88 sekaligus menyampaikan desakan pembubarannya beberapa hari yang lalu kepada Kapolri Timur Pradopo, dalam jangka waktu dekat akan dilakukan cross investigasi ke Poso oleh Komnas HAM bersama perwakilan ormas-ormas Islam. Hasil cross investigasi itu akan menjadi masukan penting kepada Kapolri untuk merekomendasikan eksistensi densus 88. Wacana rekomendasi untuk pembubaran densus 88 bergulir dan berkembang. Ada yang mengusulkan bahwa densus 88 masuk menjadi bagian dari reskrim atau brimob. Ada juga yang mengusulkan sebagai bagian dari tambahan fungsional atas organ Polri yang sekarang ini ada. Pada intinya wacana itu menunjukkan bahwa secara kelembagaan densus 88 bisa jadi pada akhirnya menjadi tambahan fungsional dari organ yang sudah ada di dalam tubuh Polri. Sebuah fungsi yang dulu jaman Orde Baru pernah dijalankan secara “luar biasa” oleh saudara tua Polri yakni TNI. Dulu TNI memainkan peran dominan. Sekarang Polri yang mengambil alih peran dominan itu. Seperti sebuah permainan bola seolah ada kesan bola yang sekarang dimainkan oleh Polri sudah terlalu banyak kesalahan “operan” dan “akut”. Saatnya harus dioperkan kepada pemain lama –TNI- yang lebih berpengalaman dan kredibel. Ini nampak begitu intensnya Kemenhan RI mengusung RUU Kamnas. Di dalamnya ada legitimasi keberadaan sebuah lembaga yang dinamakan DKN (Dewan Keamanan Nasional). Sebuah lembaga yang jaman Orba dulu menjadi organ yang menggurita mengendalikan sistem Kopkamtib dengan Sishankamrata (Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta). Siapapun yang memainkan bola itu tidak pernah merubah urgensi bahwa permainan bola itu sudah masuk terlalu jauh ke dalam sebuah skenario proyek besar yang dinamakan GWOT (Global War On Terrorism) yang pada hakekatnya adalah GWOI (Global War On Islam/Perang Global melawan Islam). Sebuah perang global yang didiktekan oleh Kafir Muharibban Fi’lan AS-sekutu-sekutunya bertujuan untuk membungkam dan meredam semangat perlawanan kaum muslimin seluruh dunia. Yakni perlawanan kaum muslimin baik dengan jalan Al Jihad maupun dengan jalan pemikiran dan politik. Termasuk semangat perlawanan kaum muslimin di Indonesia.
Bagaimana Gerakan Islam menyikapi
Pertama, Seluruh gerakan islam memerlukan koordinasi alamiah mengikuti petunjuk sebaik-baik makar adalah makar Allah SWT. Kedua, Media-media Islam khususnya media-media online Islam harus terus menghangatkan makar-makar pemerintahan thogut ini. Yakni dengan cara menunjukkan betapa biadabnya rezim yang menjalankan sistem thogut ini terhadap rakyatnya sendiri. Berbagai temuan data dan fakta kekejaman-kebiadaban densus 88 harus dikuak secara kontinyu. Seperti secara intens, mengungkap kebiadaban Rezim Bashaar Asaad kepada rakyatnya sendiri di Suriah meski dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda. Ketiga, gerakan islam ideologis yang menjadikan pemikiran dan politik sebagai manhaj perjuangan, harus melakukan aksi massa yang masif untuk memperkuat dan mengawal opini bobroknya sistem dan rezim thogut ini melalui pintu masuk “tuntutan pembubaran densus 88”. Sebagai follow up yang telah dilakukan oleh MUI, Muhammadiyah berserta ormas-ormas islam yang lain. Aksi massa yang berskala nasional di Indonesia itu harus dilakukan secara masif dan optimal. Aksi massa itu sekaligus sebagai momentum penyadaran ummat tentang penting dan wajibnya penerapan syareah secara kaffah di tengah problema sistemik yang mendera negeri ini. Sebuah penyadaran umat untuk menolak semua undang-undang buatan manusia yang berpihak kepentingan asing dan merugikan umat. Termasuk UU Terorisme, UU Pendanaan Terorisme dan UU lainnya yang menjadi legal of frame masifnya GWOT. Keempat, mendorong aktifis-aktifis islam yang : konsen terhadaap persoalan ini, memahami anatomi persoalan intelijen dan kontra intelijen, serta memahami anatomi proses pengambilan keputusan politik apa yang menjadi produk kebijakan atas tuntutan pembubaran densus 88. Aktifitas-aktifis islam itu menjadi “pressure group” atas kebijakan-kebijakan yang merugikan umat sekaligus sebagai pemberi kabar bagaimana sebenarnya konstelasi pengambilan keputusan oleh rezim yang menerapkan sistem thogut ini menyikapi persoalan ini. Kelima, seluruh gerakan Islam harus menyiapkan segala kemungkinan jika terjadi invasi militer AS dan sekutu-sekutunya yang disebabkan oleh revolusi sosial sewaktu-waktu di Indonesia yang menuntut ganti rezim dan sistem thogut dengan rezim dan sistem Islam. Meski kans ini sangat kecil kemungkinannnya karena Indonesia termasuk kategori daerah yang bisa ditaklukkan oleh Kafir Muharriban Fi’lan tanpa dengan invasi militer. Kecuali rezim ini semakin represif dalam setiap produk kebijakannya. Dan senantiasa melahirkan produk-produk kebijakan yang merugikan rakyatnya maka kondisi-kondisi itu cepat atau lambat akan melahirkan akumulasi ketidak puasan berkepanjangan yang sudah pasti akan menimbulkan revolusi sosial yang luar biasa. Keenam, mendorong tokoh-tokoh umat untuk saling memperkuat opini melalui statement-statement pembelaan terhadap kepentingan umat islam dan terlibat dalam pengarus tamaan penting dan wajibnya penegakkan syareah kaffah ke dalam bingkai khilafah islamiyah ala minhajin nubuwah. Ketujuh, memohon kepada Allah SWT agar segera menurunkan Nashrullah-Nya. Wallahu ‘alam bis showab. (Dari Bumi Pergolakan dan Musibah/Abu Zahro).[www.al-khilafah.org]
Oleh : Abu Zahro (Salah Satu Aktifis Gerakan islam di Indonesia)
Di tengah menguatnya tuntutan pembubaran densus 88 yang dipicu di antaranya video kekerasan dan kebiadaban densus 88 di berbagai media online, memunculkan banyak pertanyaan tentang bagaimana dan apa yang akan dilakukan nanti setelah densus 88 dibubarkan. Informasi ini penting untuk memahami bagaimana anatomi pengambilan keputusan di negeri muslim –seperti Indonesia ini- yang sudah mengokohkan dirinya sebagai bagian dari proyek GWOT (Global War On Terrorism) di bawah pimpinan AS dan sekutu-sekutunya (baca = Kafir Muharibban Fi’lan). Selain video kekerasan dan kebiadaban itu, banyak juga data yang ditemukan tentang ekstra judicial killing (pembunuhan tanpa mekanisme pengadilan) dan ekstra judicial action yang dilakukan oleh densus 88. Berbagai kekerasan demi kekerasan oleh densus 88 untuk menangani apa yang disebut dengan “terrorism” akan memunculkan siklus kekerasan yang tidak pernah berkesudahan. Treatment kebijakan seperti itu tidak akan menyelesaikan dan menuntaskan akar persoalan. Kecuali dibuka ruang dialog terbuka untuk menguak apa yang sebenarnya menjadi akar munculnya terorisme. Apalagi jika para petinggi densus 88 yang sekarang berkuasa menentukan kebijakan lembaga ini berasal dari orang-orang yang membenci Islam dan senantiasa mengobarkan perang melawan Islam seperti Gories Mere, Petrus Golosse dan Ansyaad Mbai. Selain eksistensi orang-orang itu, keberadaan lembaga ini juga sebagai bagian dari kontruksi pelembagaan berdasar atas legal of frame semisal UU Terorisme dan UU Pendanaan Terorime serta perundang-undangan yang lain di Indonesia untuk memasifkan dan meligitimasi GWOT. Lengkap sudah, GWOT di Indonesia ditopang oleh legal of frame (UU Terorisme, UU Pendanaan Terorisme dll), lembaga yang menjalankan amanah UU itu (BNPT dan Densus 88), dan orang-orang pembenci Islam yang menentukan kebijakan pada lembaga itu.
Skenario Pasca Densus 88 dibubarkan
Video kekerasan dan kebiadaban Densus 88 yang diupload di berbagai media online dan memicu desakan pembubaran, akan memunculkan 2 reaksi yang bertolak belakang. Pertama, video itu akan memantik semakin menggeloranya semangat perlawanan kaum muslimin terhadap simbol-simbol kedhaliman dan kesewenang-wenangan lembaga yang menjadi representasi proyek GWOT nya AS dan sekutu-sekutunya di Indonesia (BNPT dan Densus 88). Kedua, di lain pihak bagi penentu kebijakan di Indonesia - yang sudah terlanjur kontrak proyek GWOT - akan berpikir keras untuk tetap mempertahankan secara fungsional maupun struktural keberadaan lembaga itu (densus 88) dengan cara formal maupun dengan cara non formal (baca = operasi intelijen). Kompolnas menyampaikan bahwa bubarkan densus 88 sama dengan bubarkan Polri (Metro TV, 04 Maret 2013). Beberapa pihak yang tetap menghendaki keberadaan lembaga ini secara struktural dan formal sebut saja PBNU yang diwakili oleh petingginya Ketua PBNU, H. Iqbal Sullam dan segelintir anggota dewan (DPR RI). Dengan dalih, bahwa densus 88 tidak perlu dibubarkan tetapi hanya butuh evaluasi kinerja sampai dengan dalih apresiasi bahwa lembaga ini telah melakukan kinerja yang bagus dan perlu eksistensi yang kontinyu untuk menangani ancaman terorisme jangka panjang.
Yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan jika penentu kebijakan menggunakan cara untuk mempertahankan eksisting densus 88 secara struktural (kelembagaan) dengan cara-cara non formal (baca = operasi intelijen). Dengan memanfaatkan potensi perlawanan yang menggelora atas kedhaliman dan kekerasan densus 88 serta mengaitkan dengan jaringan veteran mujahidin Afghanistan, Moro dll di Indonesia beserta organ-organ/kelompok-kelompok yang disinyalir memiliki sindikasi, akan didesain sebuah “momentum besar” yang diprediksikan berimplikasi opini media meluas. “Momentum besar” itu akan diperkuat oleh blow up rekayasa opini media yang semakin mengokohkan dan meligitimasi bahwa densus 88 masih dibutuhkan eksistensinya baik secara kelembagaan maupun fungsional. Atau mungkin juga dilakukan “operasi pengambangan”. Yakni membuat dikotomi antara kelompok yang mendesak pembubaran densus 88 dengan dimunculkannya pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang tidak setuju atas pembubaran. Jika diperlukan dilakukan “operasi adu domba”. Seperti dimunculkannya varian Islam Moderat dan Islam Radikal/Islam Fundamentalis. Seperti juga menghadap-hadapkan ormas Islam besar NU dengan Muhammadiyah. Muhammadiyah dan MUI beserta ormas-ormas Islam lainnya sepakat dibubarkannya densus 88. Sebaliknya, PBNU menolak pembubaran. Dibiarkan dalam perdebatan pro kontra “perlu atau tidaknya dibubarkannya densus 88 secara berkepanjangan”. Lambat laun semakin lama sampai dengan akhirnya berujung dengan ketidak jelasan status perlu atau tidaknya dibubarkannya densus 88. Seolah terjadi “proses alamiah” pemandulan dan penumpulan menguatnya desakan pembubaran densus 88. Dalam bentuk memandulkan semangat perlawanan terhadap proyek GWOT ala AS (Kafir Muharibban Fi’lan). Perang melawan proyek GWOT ala AS ini sebagai bagian membongkar makar pemerintahan thogut yang menjadi antek para penjajah kafir muhafibban fi’lan yang semakin tinggi tensinya, akan diperlemah sehingga pada akhirnya akan terjebak ke dalam skenario berkepanjangan proses pengambilan keputusan politik yang sarat dengan bargaining kepentingan untuk mereevaluasi UU Terorisme. Sebuah undang-undang yang menjadi sandaran ala thogut keberadaan densus 88.
Pasca kedatangan Din Syamsudin bersama MUI beserta ormas-ormas Islam dengan membawa data-data kekejaman dan kebiadaban densus 88 sekaligus menyampaikan desakan pembubarannya beberapa hari yang lalu kepada Kapolri Timur Pradopo, dalam jangka waktu dekat akan dilakukan cross investigasi ke Poso oleh Komnas HAM bersama perwakilan ormas-ormas Islam. Hasil cross investigasi itu akan menjadi masukan penting kepada Kapolri untuk merekomendasikan eksistensi densus 88. Wacana rekomendasi untuk pembubaran densus 88 bergulir dan berkembang. Ada yang mengusulkan bahwa densus 88 masuk menjadi bagian dari reskrim atau brimob. Ada juga yang mengusulkan sebagai bagian dari tambahan fungsional atas organ Polri yang sekarang ini ada. Pada intinya wacana itu menunjukkan bahwa secara kelembagaan densus 88 bisa jadi pada akhirnya menjadi tambahan fungsional dari organ yang sudah ada di dalam tubuh Polri. Sebuah fungsi yang dulu jaman Orde Baru pernah dijalankan secara “luar biasa” oleh saudara tua Polri yakni TNI. Dulu TNI memainkan peran dominan. Sekarang Polri yang mengambil alih peran dominan itu. Seperti sebuah permainan bola seolah ada kesan bola yang sekarang dimainkan oleh Polri sudah terlalu banyak kesalahan “operan” dan “akut”. Saatnya harus dioperkan kepada pemain lama –TNI- yang lebih berpengalaman dan kredibel. Ini nampak begitu intensnya Kemenhan RI mengusung RUU Kamnas. Di dalamnya ada legitimasi keberadaan sebuah lembaga yang dinamakan DKN (Dewan Keamanan Nasional). Sebuah lembaga yang jaman Orba dulu menjadi organ yang menggurita mengendalikan sistem Kopkamtib dengan Sishankamrata (Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta). Siapapun yang memainkan bola itu tidak pernah merubah urgensi bahwa permainan bola itu sudah masuk terlalu jauh ke dalam sebuah skenario proyek besar yang dinamakan GWOT (Global War On Terrorism) yang pada hakekatnya adalah GWOI (Global War On Islam/Perang Global melawan Islam). Sebuah perang global yang didiktekan oleh Kafir Muharibban Fi’lan AS-sekutu-sekutunya bertujuan untuk membungkam dan meredam semangat perlawanan kaum muslimin seluruh dunia. Yakni perlawanan kaum muslimin baik dengan jalan Al Jihad maupun dengan jalan pemikiran dan politik. Termasuk semangat perlawanan kaum muslimin di Indonesia.
Bagaimana Gerakan Islam menyikapi
Pertama, Seluruh gerakan islam memerlukan koordinasi alamiah mengikuti petunjuk sebaik-baik makar adalah makar Allah SWT. Kedua, Media-media Islam khususnya media-media online Islam harus terus menghangatkan makar-makar pemerintahan thogut ini. Yakni dengan cara menunjukkan betapa biadabnya rezim yang menjalankan sistem thogut ini terhadap rakyatnya sendiri. Berbagai temuan data dan fakta kekejaman-kebiadaban densus 88 harus dikuak secara kontinyu. Seperti secara intens, mengungkap kebiadaban Rezim Bashaar Asaad kepada rakyatnya sendiri di Suriah meski dengan kuantitas dan kualitas yang berbeda. Ketiga, gerakan islam ideologis yang menjadikan pemikiran dan politik sebagai manhaj perjuangan, harus melakukan aksi massa yang masif untuk memperkuat dan mengawal opini bobroknya sistem dan rezim thogut ini melalui pintu masuk “tuntutan pembubaran densus 88”. Sebagai follow up yang telah dilakukan oleh MUI, Muhammadiyah berserta ormas-ormas islam yang lain. Aksi massa yang berskala nasional di Indonesia itu harus dilakukan secara masif dan optimal. Aksi massa itu sekaligus sebagai momentum penyadaran ummat tentang penting dan wajibnya penerapan syareah secara kaffah di tengah problema sistemik yang mendera negeri ini. Sebuah penyadaran umat untuk menolak semua undang-undang buatan manusia yang berpihak kepentingan asing dan merugikan umat. Termasuk UU Terorisme, UU Pendanaan Terorisme dan UU lainnya yang menjadi legal of frame masifnya GWOT. Keempat, mendorong aktifis-aktifis islam yang : konsen terhadaap persoalan ini, memahami anatomi persoalan intelijen dan kontra intelijen, serta memahami anatomi proses pengambilan keputusan politik apa yang menjadi produk kebijakan atas tuntutan pembubaran densus 88. Aktifitas-aktifis islam itu menjadi “pressure group” atas kebijakan-kebijakan yang merugikan umat sekaligus sebagai pemberi kabar bagaimana sebenarnya konstelasi pengambilan keputusan oleh rezim yang menerapkan sistem thogut ini menyikapi persoalan ini. Kelima, seluruh gerakan Islam harus menyiapkan segala kemungkinan jika terjadi invasi militer AS dan sekutu-sekutunya yang disebabkan oleh revolusi sosial sewaktu-waktu di Indonesia yang menuntut ganti rezim dan sistem thogut dengan rezim dan sistem Islam. Meski kans ini sangat kecil kemungkinannnya karena Indonesia termasuk kategori daerah yang bisa ditaklukkan oleh Kafir Muharriban Fi’lan tanpa dengan invasi militer. Kecuali rezim ini semakin represif dalam setiap produk kebijakannya. Dan senantiasa melahirkan produk-produk kebijakan yang merugikan rakyatnya maka kondisi-kondisi itu cepat atau lambat akan melahirkan akumulasi ketidak puasan berkepanjangan yang sudah pasti akan menimbulkan revolusi sosial yang luar biasa. Keenam, mendorong tokoh-tokoh umat untuk saling memperkuat opini melalui statement-statement pembelaan terhadap kepentingan umat islam dan terlibat dalam pengarus tamaan penting dan wajibnya penegakkan syareah kaffah ke dalam bingkai khilafah islamiyah ala minhajin nubuwah. Ketujuh, memohon kepada Allah SWT agar segera menurunkan Nashrullah-Nya. Wallahu ‘alam bis showab. (Dari Bumi Pergolakan dan Musibah/Abu Zahro).[www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar