Kontes Miss World Dalam Timbangan Syariat Islam
Ajang Miss World yang hendak digelar di negeri ini wajib digagalkan.
Pasalnya, perhelatan Miss World –atau apapun namanya– adalah perhelatan
yang bertentangan dengan ‘aqidah dan syariat Islam, dan sarat dengan
pesan-pesan yang merusak sendi-sendi keluhuran agama Islam. Seluruh
kaum Muslim di negeri ini wajib menggagalkan perhelatan itu dengan cara
apapun, sesuai dengan batas-batas yang ditetapkan oleh syariat. Seorang
Mukmin haram berdiam diri, lebih-lebih lagi turut serta memberikan
andil dan dukungan terhadap kelangsungan acara tersebut.
Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa kaum Muslim wajib menolak dan menggagalkan ajang Miss World.
Bertentangan Dengan Perintah Untuk Memelihara Pandangan (Ghadldl al-Bashar)
Perhelatan Miss World bertentangan dengan firman Allah swt yang mewajibkan kaum Mukmin dan Mukminat untuk memelihara pandangannya. Allah swt berfirman:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[TQS Al Nuur (24):30]
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[TQS Al Nuur (24):31]
Imam al-Syaukani, dalam kitab Fath al-Qadir, menyatakan, “Tatkala Allah swt menerangkan hukum meminta ijin, Allah swt juga menyertakan hukum melihat (hukm al-nadhr) dalam bentuk umum. Di mana, di atas hukum umum tersebut dijelaskan hukum menjaga pandangan dari orang yang meminta ijin, seperti yang dituturkan oleh Nabi saw, “Sesungguhnya, ijin itu ditetapkan untuk menjaga pandangan.” Selain itu, kaum Mukmin juga dilarang memandang wanita Muslimat yang bukan mahramnya, seperti halnya ada larangan bagi kaum Mukmin melihat wanita a’jam (asing). Ini ditujukan untuk mencegah terjadinya praktek zina, yang salah satu bagian dari zina adalah memandang wanita asing. Jika kaum Mukmin dilarang melihat wanita asing, lebih-lebih lagi wanita-wanita Mukminat….Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga pandangan (ghadldl al-bashar) adalah ithbaaq al-jafn ‘ala ‘ain (mengatupkan kelompok mata di atas mata), agar mata tidak bisa melihat….Mayoritas ulama berpendapat, bahwa huruf min dalam frase “min absharihim” berfungsi untuk membatasi (li al-tab’iidl). Oleh karena itu, makna ayat tersebut adalah menjaga pandangan dari apa-apa yang diharamkan, dan membatasi diri hanya memandang hal-hal yang dihalalkan..Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan haramnya melihat apa-apa yang haram untuk dilihat.”[1]
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Ayat ini merupakan perintah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang Mukmin agar menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu, janganlah mereka memandang, kecuali pada hal-hal yang diperbolehkan atas mereka; dan hendaklah mereka menahan (menjaga) matanya dari hal-hal yang diharamkan. Hanya saja, telah ada kesepakatan, jika seseorang memandang wanita asing tidak dengan sengaja, maka ia harus segera memalingkan pandangannya. Ketentuan ini sejalan dengan hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jarir bin ‘Abdullah al-Bajaliy; bahwasanya ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan yang tidak sengaja. Beliau saw memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku”.[2]
Imam al-Suyuthiy dalam kitab al-Durr al-Mantsur, menuturkan beberapa riwayat yang berkenaan dengan ayat di atas (al-Nuur:30). Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Ali ra berkata, “Di masa Nabi saw, ada seorang laki-laki sedang berjalan di salah satu jalan di kota Madinah, dan ia memandang seorang wanita. Wanita itu juga memandang dirinya. Lalu, keduanya dibisiki oleh setan, dimana satu dengan yang lain tidak saling memandang kecuali keduanya saling tertarik. Laki-laki itu berjalan di sisi tembok, dan terus memandang wanita itu. Tanpa ia sadari, tembok itu telah berada di depannya, dan hidungnya pun menabrak tembok hingga berdarah. Laki-laki itu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyeka darahku ini, hingga Rasulullah saw mendatangiku. Lalu, ada seorang laki-laki menyampaikan masalah itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw pun mendatanginya, dan laki-laki itu pun menceritakan kisahnya kepada Nabi saw. Nabi saw bersabda, “Ini adalah hukuman atas dosamu.” Kemudian, turunlah firman Allah swt surah al-Nuur:30″. Diriwayatkan juga dari Qatadah, bahwa makna firman Allah swt, “qul lil mukminiin yaghudldluu min abshaarihim”, adalah, “menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak dihalalkan memandangnya..”[3]
Imam Qurthubiy juga menyitir pendapat dari Qatadah, bahwa maksud ayat ini adalah agar kaum Mukmin menjaga pandangannya dari hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka.[4] Menurut Imam Qurthubiy, hukum menjaga pandangan dari semua hal yang diharamkan dan dari hal-hal yang dikhawatirkan bisa menyebabkan fitnah, adalah wajib. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Hindarilah oleh kalian, duduk-duduk di jalanan “. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidaklah kami duduk di pinggir jalan, kecuali hanya sekedar berbincang-bincang saja.” Nabi saw saw berkata, “Jika kalian tidak bisa menghindari untuk duduk-duduk di pinggir jalan, maka, penuhilah hak-hak pengguna jalan.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak pengguna jalan itu? Nabi menjawab,” Menjaga pandangan, menyingkirkan bahaya, membalas salamnya, dan amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar”.[HR. Bukhari dan Muslim][5]
Imam Baidlawiy, dalam Tafsir al-Baidlawiy menafsirkan QS. Al-Nuur (24):31 dengan menyatakan, “Hendaknya para wanita tidak melihat bagian tubuh laki-laki yang tidak dihalalkan bagi mereka untuk melihatnya.”[6] Imam Syaukani dalam kitab Fath al-Qadiir menjelaskan; ayat ini seperti halnya surat al-Nuur ayat 30, merupakan dalil yang menunjukkan haramnya wanita Mukminah memandang apa-apa yang diharamkan.[7]
Imam Qurthubiy menyatakan, bahwa ayat ini berfungsi untuk menegaskan (ta’kiid) perintah gadldlu al-bashar (menjaga pandangan) kepada para wanita Muslimat. Sebab, pada ayat sebelumnya, yakni surat al-Nuur ayat 30, sudah ada perintah kepada wanita Muslimat agar menjaga pandangan dan kemaluannya. Sebab, frase “wa qul lil mukminiin” adalah frase umum yang berlaku bagi kaum laki-laki dan wanita; seperti halnya setiap khithab umum yang ada di dalam al-Quran.[8] Perintah ini kemudian dipertegas kembali pada ayat berikutnya (surat al-Nuur:31).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya seorang Mukmin dan Mukminat wajib memelihara pandangannya dengan cara tidak melihat aurat laki-laki atau wanita asing (bukan mahram). Tidak hanya sebatas itu juga, mereka juga dilarang memandang lawan jenisnya, dengan maksud untuk dinikmati, dikagumi, atau dipandang secara terus menerus; meskipun wanita itu telah menutup auratnya.
Adapun pandangan yang tiba-tiba atau tidak disengaja; hukumnya tidaklah haram. Hanya saja, setelah pandangan pertama, mereka harus segera memalingkan pandangannya ke arah yang lain. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Sa’id bin Abi al-Hasan pernah berkata kepada al-Hasan, ketika ada seorang wanita ‘ajam (asing) yang dada dan kepalanya terbuka, “Palingkanlah pandanganmu.”[HR. Bukhari]
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, dari Jarir bin ‘Abdullah, bahwasanya ia berkata;
“Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Nabi saw menjawab, “Palingkanlah pandanganmu.”[HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Dari Buraidah ra dituturkan, bahwasanya ia berkata,
“Nabi saw bersabda kepada Ali ra, “Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Sesungguhnya, yang boleh bagimu adalah pandangan yang pertama, bukan yang berikutnya.” [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Atas dasar itu, laki-laki dan wanita Mukmin wajib menjaga pandangannya satu dengan yang lain. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan memandang aurat wanita begitu juga sebaliknya, wanita tidak diperbolehkan memandang aurat laki-laki. Adapun selain aurat, baik laki-laki dan wanita diperbolehkan melihatnya dengan tidak disertai maksud untuk menikmatinya, atau untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya.
Ajang Miss World justru menjadikan semua perbuatan yang dilarang oleh Islam sebagai sebuah event yang wajib ditonton dan dipertontonkan; mulai dari pamer aurat, menonjolkan kecantikan (tabarruj), eksploitasi seksualitas, serta perbuatan-perbuatan haram lainnya. Padahal, bukankah kaum Mukmin dan Mukminat diperintah untuk memelihara pandangannya?
Bertentangan Dengan Perintah Menutup Aurat
Perintah menutup aurat disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah. Seorang Mukmin dan Mukminat wajib menutup auratnya, serta dilarang melihat aurat orang lain, kecuali ada dalil yang mengkhususkan. Di dalam Al-Quran, Allah swt berfirman: Kewajiban menutup aurat telah disitir di dalam al-Quran. Allah swt berfirman;
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan.”[TQS Al A'raaf (7):26]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan; ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat. Sebab, Allah swt telah menurunkan kepada kita pakaian yang digunakan untuk menutup aurat. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya menutup aurat. Mereka hanya berbeda pendapat tentang bagian tubuh mana yang termasuk aurat.[9]
Di dalam kitab Fath al-Qadir, dituturkan; jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat dalam setiap keadaan, walaupun ia seorang diri, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits-hadits shahih.[10] Dalam kitab al-Muhadzdzab dinyatakan, bahwa menutup aurat (satru al-’aurat) dari pandangan mata adalah wajib.[11]
Adapun dalil-dalil sunnah yang menunjukkan kewajiban menutup aurat bagi laki dan wanita adalah sebagai berikut;
Imam Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy meriwayatkan sebuah hadits yang menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
“Sesungguhnya, Rasulullah saw bersabda, “Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki yang lain dalam satu selimut; dan janganlah seorang wanita tidur dengan wanita lain dalam satu selimut.”[HR. Imam Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Imam Mubarakfuriy dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy menyatakan, bahwa hadits ini merupakan dalil haramnya seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, serta haramnya seorang perempuan melihat aurat perempuan; begitu juga sebaliknya; seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat wanita, dan wanita tidak boleh melihat aurat laki-laki.[12]
Bahz bin Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari bapaknya, dan bapaknya berasal dari kakeknya, bahwasanya kakeknya berkata;
“Saya bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, terhadap aurat kami, apa yang boleh kami tampakkan dan apa yang harus kami tutup? Nabi saw menjawab, “Jagalah auratmu, kecuali kepada isteri-isterimu dan budak-budak yang kamu miliki.” Saya bertanya lagi, “Lalu, bagaimana jika ada suatu kaum, dimana satu dengan yang lain bisa saling melihat auratnya? Nabi saw menjawab, “Jika kamu mampu, jangan sampai auratmu dilihat oleh seorangpun. Oleh karena itu, janganlah seseorang melihat aurat orang lain.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana, jika seorang diantara kami telanjang? Nabi menjawab, “Harusnya ia lebih malu kepada Allah swt.”[HR. Jama'ah kecuali Imam al-Nasaaiy]
Imam Syaukani, dalam kitab Nail al-Authar, menyatakan, bahwasanya hadits di atas merupakan dalil mengenai wajibnya menutup aurat di setiap waktu, kecuali saat buang air, bersenggama, mandi; dan wajibnya menutup aurat di hadapan semua orang, kecuali di hadapan isteri, budak, dokter, saksi,dan qadliy ketika ada persengketaan.[13] Hadits ini juga menunjukkan larangan mandi di satu kolam, dimana, satu dengan yang lain saling melihat aurat.[14]
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits di dalam Tarikh-nya, bahwasanya Mohammad bin Jahsiy berkata;
“Rasulullah saw melewati Ma’mar yang saat itu kedua pahanya sedang terbuka. Beliau bersabda, “Hai Ma’mar tutuplah kedua pahamu. Sebab, paha itu adalah aurat.”[HR. Imam Ahmad, Hakim, dan Bukhari di dalam kitab Tarikh-nya],
Jarhad meriwayatkan sebuah hadits dari bapaknya, bahwasanya bapaknya berkata;
“Rasulullah saw tengah lewat, sedangkan saat itu saya sedang memakai kain dan paha saya terbuka. Beliau pun bersabda, “Tutuplah pahamu, karena paha itu adalah aurat.”[HR. Imam Ahmad, Malik, Abu Dawud dan Turmudziy]
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya ia berkata;
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
“Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar datang menemui Rasulullah saw, sedangkan ia mengenakan pakaian tipis. Nabi saw pun segera berpaling darinya, seraya bersabda, “Wahai Asma’, jika seorang wanita telah akil baligh, tidak boleh tampak dari dirinya, kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan.”[HR. Abu Dawud]
Di dalam hadits lain dituturkan, bahwa Rasulullah saw bersabda;
“Barangsiapa melihat aurat, hendaknya ia menutupnya.”[HR. Abu Dawud][15]
Hadits-hadits ini menunjukkan dengan jelas, perintah untuk menutup aurat, dan larangan melihat aurat orang lain tanpa ada udzur syar’iy. Tidak hanya itu saja, hadits-hadits di atas diperkuat dengan hadits-hadits yang berisi ancaman bagi siapa saja yang membuka auratnya di hadapan selain mahram. Larangan ini dikecualikan pada keadaan-keadaan yang memang dibolehkan oleh syariat, seperti seorang dokter yang hendak mengobati pasiennya; seorang hakim yang hendak mendapatkan barang bukti dari orang yang berselisih, orang yang hendak mengkhithbah, dan lain sebagainya.
Miss World adalah ajang pamer dan buka aurat. Dan event Miss World bukanlah udzur syar’iy yang membolehkan seseorang membuka auratnya, atau melihat aurat orang lain.
Bertentangan Dengan Larangan Tabarruj (Menampakkan Kecantikan di Depan Umum)
Larangan tabarruj ditetapkan Allah swt di dalam surat al-Nuur ayat 60. Allah swt berfirman:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti haidl dan kehamilan yang tidak ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (tabarruj).”[TQS Al Nuur (24):60]
Jika wanita tua dilarang untuk tabarruj, lebih-lebih lagi wanita yang belum tua dan masih mempunyai keinginan untuk menikah.
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-’Arab menyatakan, “Wa al-tabarruj : idzhaar al-mar`ah ziinatahaa wa mahaasinahaa li al-rijaal (tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan anggota tubuh untuk menaruh perhiasan kepada laki-laki non mahram.”[16]
Di dalam kitab Zaad al-Masiir dinyatakan, “Tabarruj, menurut Abu ‘Ubaidah, adalah seorang wanita menampakkan kecantikannya. Sedangkan menurut al-Zujaj; tabarruj adalah menampakkan perhiasaan, dan semua hal yang bisa merangsang syahwat laki-laki…Sedangkan sifat-sifat tabarruj di jaman jahiliyyah ada enam pendapat; pertama; seorang wanita yang keluar dari rumah dan berjalan diantara laki-laki. Pendapat semacam ini dipegang oleh Mujahid. Kedua, wanita yang berjalan berlenggak-lenggok dan penuh gaya dan genit. Ini adalah pendapat Qatadah. Ketiga, wanita yang memakai wewangian. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Najih. Keempat, wanita yang mengenakan pakaian yang terbuat dari batu permata, kemudian ia memakainya, dan berjalan di tengah jalan. Ini adalah pendapat al-Kalabiy. Kelima, wanita yang mengenakan kerudung namun tidak menutupnya, hingga anting-anting dan kalungnya terlihat…..”[17]
Adapun di dalam sunnah, larangan tabarruj disebut di banyak riwayat. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim]
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta.”[18]
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ
“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang ia pergunakan untuk mencambuk manusia.”[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok –melakukan gerakan-gerakan erotis dan merangsang (porno aksi).
Perhelatan Miss World jelas-jelas masuk dalam larangan hadits-hadits di atas. Untuk itu, tidak ada keraguan lagi, bahwasanya Miss World adalah event maksiyat yang harus digagalkan dengan cara apapun.
Bertentangan Dengan Perintah Untuk Berbusana Islamiy Bagi Wanita, yakni Kerudung dan Jilbab
Miss World adalah event yang dibuat dan diprakarsai oleh orang-orang kafir. Pada awal kemunculannya, Miss World dijadikan sebagai sarana untuk mempromosikan bikini. Hingga sekarang pun, tradisi ini masih terus dipelihara.
Dalam kaitannya dengan busana dan cara berbusana, Islam telah menetapkan busana khusus yang wajib dikenakan wanita Muslimat, ketika keluar dari kehidupan khusus (rumah). Busana yang wajib dikenakan seorang Muslim ketika keluar rumah adalah khimar (kerudung) dan jilbab (pakaian luas yang dikenakan di atas pakaian sehari-hari). Perintah menggunakan khimar dan jilbab disebut di dalam al-Quran. Perintah menggunakan khimar disebut dalam firman Allah swt:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..”[TQS Al Nuur (24):31]
Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada. Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur.[19] Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[20]
Perintah mengenakan jilbab disebut di dalam al-Quran:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[TQS Al Ahzab (33):59]
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Bertentangan dengan Larangan Tasyabbuh (Meniru-niru) Dengan Orang Kafir
Miss World, baik dari sisi asasnya, sejarah kemunculannya, serta rangkaian kegiatannya merupakan gagasan orang-orang kafir yang telah menjadi sebuah tradisi. Seorang Muslim dan Muslimat dilarang tasyabbuh dengan orang kafir, dalam urusan seperti ini. Keterlibatan serta keikutsertaan seorang Muslimat dalam ajang ini jelas-jelas termasuk dalam aktivitas tasyabbuh dengan orang kafir. Padahal, Islam jelas-jelas melarang tasyabbuh dengan orang kafir. Di dalam al-Quran, Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Mohammad) “Raa’ina”, tetapi katakan: “Undzurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.”[TQS Al Baqarah (2):104]
Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyatakan, bahwa Allah swt telah melarang kaum mukmin menyerupai perkataan dan perilaku orang-orang kafir. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149].
Di dalam sunnah, banyak riwayat yang menuturkan larangan bertasyabbuh dengan orang-orang kafir. Imam Ahmad mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“ Aku telah diutus di hadapan waktu dengan membawa pedang, hingga hanya Allah semata yang disembah, dan tidak ada sekutu bagi Allah; dan rizkiku telah diletakkan di bawah bayang-bayang tombakku. Kehinaan dan kenistaan akan ditimpakan kepada siapa saja yang menyelisihi perintahku; dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.”[HR. Imam Ahmad]
Masih menurut Imam Ibnu Katsir, hadits ini berisikan larangan yang sangat keras, serta ancaman bagi siapa saja yang meniru-niru atau menyerupai orang-orang kafir, baik dalam hal perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya, peribadahan, serta semua perkara yang tidak disyariatkan bagi kaum muslim. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149-150]
Tatkala menafsirkan hadits riwayat Imam Ahmad di atas, Imam al-Manawiy dan al-’Alqamiy, menyatakan,”Hadits di atas berisikan larangan untuk berbusana dengan busana orang-orang kafir, berjalan seperti orang-orang kafir, serta berperilaku seperti orang-orang kafir.”[Mohammad Syams al-Haq, 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]
Al-Qariy berkata, “Barangsiapa bertasyabuh dengan orang-orang kafir, baik dalam hal pakaian dan lain sebagainya, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut. Tasyabuh tidak hanya dengan orang-orang kafir belaka, akan tetapi juga dengan orang-orang fasik, fajir, ahli tasawwuf, dan orang-orang shaleh. Walhasil, tasyabbuh terjadi dalam hal kebaikan dan dosa.”[ Mohammad Syams al-Haq,'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]
Miss World Membawa Nilai dan Pesan Yang Bertentangan dengan Islam
Ajang Miss World sarat dengan ide dan nilai yang bertentangan dengan Islam, yakni kebebasan (liberalism), feminism, industrialisasi kecantikan, serta revolusi gaya hidup dan cara pandang terhadap kehidupan. Persepsi-persepsi mulia yang ditanamkan dalam masyarakat Islam, seperti ‘iffah dan memelihara kehormatan wanita, telah diluluhlantakkan oleh “sesuatu yang dibawa oleh Miss World dan ajang-ajang kecantikan lainnya. Lewat Miss World pula, barat berhasil mengubah cara pandang kaum Muslim, wa bil khusus, Muslimah terhadap kecantikan, wanita ideal, dan lain sebagainya.
Ringkasnya, Miss World boleh diibaratkan sebuah pedang yang digunakan oleh orang-orang kafir barat untuk membunuhi keyakinan dan hukum Islam yang mulia. Oleh karena itu, siapa saja yang melibatkan dirinya dalam perhelatan maksiyat ini, maka, sama artinya ia telah menyerahkan leher-lehernya untuk dipancung dengan pedang kemaksiyatan.
Pengaruh Tabarruj Dalam Miss World Bagi Kaum Muslim
Sesungguhnya, tabarruj telah memberikan sejumlah implikasi buruk bagi masyarakat, khususnya kaum Muslim.
[www.al-khilafah.org]
Sumber hizbut-tahrir.or.id
Berikut ini adalah alasan-alasan mengapa kaum Muslim wajib menolak dan menggagalkan ajang Miss World.
Bertentangan Dengan Perintah Untuk Memelihara Pandangan (Ghadldl al-Bashar)
Perhelatan Miss World bertentangan dengan firman Allah swt yang mewajibkan kaum Mukmin dan Mukminat untuk memelihara pandangannya. Allah swt berfirman:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ
أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ
اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, “Hendaklah mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”[TQS Al Nuur (24):30]
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ
أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى
جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ
ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ
أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ
أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي
الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا
عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ
مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”[TQS Al Nuur (24):31]
Imam al-Syaukani, dalam kitab Fath al-Qadir, menyatakan, “Tatkala Allah swt menerangkan hukum meminta ijin, Allah swt juga menyertakan hukum melihat (hukm al-nadhr) dalam bentuk umum. Di mana, di atas hukum umum tersebut dijelaskan hukum menjaga pandangan dari orang yang meminta ijin, seperti yang dituturkan oleh Nabi saw, “Sesungguhnya, ijin itu ditetapkan untuk menjaga pandangan.” Selain itu, kaum Mukmin juga dilarang memandang wanita Muslimat yang bukan mahramnya, seperti halnya ada larangan bagi kaum Mukmin melihat wanita a’jam (asing). Ini ditujukan untuk mencegah terjadinya praktek zina, yang salah satu bagian dari zina adalah memandang wanita asing. Jika kaum Mukmin dilarang melihat wanita asing, lebih-lebih lagi wanita-wanita Mukminat….Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga pandangan (ghadldl al-bashar) adalah ithbaaq al-jafn ‘ala ‘ain (mengatupkan kelompok mata di atas mata), agar mata tidak bisa melihat….Mayoritas ulama berpendapat, bahwa huruf min dalam frase “min absharihim” berfungsi untuk membatasi (li al-tab’iidl). Oleh karena itu, makna ayat tersebut adalah menjaga pandangan dari apa-apa yang diharamkan, dan membatasi diri hanya memandang hal-hal yang dihalalkan..Ayat ini merupakan dalil yang menunjukkan haramnya melihat apa-apa yang haram untuk dilihat.”[1]
Imam Ibnu Katsir menyatakan, “Ayat ini merupakan perintah Allah swt kepada hamba-hambaNya yang Mukmin agar menjaga pandangannya dari hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu, janganlah mereka memandang, kecuali pada hal-hal yang diperbolehkan atas mereka; dan hendaklah mereka menahan (menjaga) matanya dari hal-hal yang diharamkan. Hanya saja, telah ada kesepakatan, jika seseorang memandang wanita asing tidak dengan sengaja, maka ia harus segera memalingkan pandangannya. Ketentuan ini sejalan dengan hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim dari Jarir bin ‘Abdullah al-Bajaliy; bahwasanya ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw mengenai pandangan yang tidak sengaja. Beliau saw memerintahkan aku untuk memalingkan pandanganku”.[2]
Imam al-Suyuthiy dalam kitab al-Durr al-Mantsur, menuturkan beberapa riwayat yang berkenaan dengan ayat di atas (al-Nuur:30). Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Ali ra berkata, “Di masa Nabi saw, ada seorang laki-laki sedang berjalan di salah satu jalan di kota Madinah, dan ia memandang seorang wanita. Wanita itu juga memandang dirinya. Lalu, keduanya dibisiki oleh setan, dimana satu dengan yang lain tidak saling memandang kecuali keduanya saling tertarik. Laki-laki itu berjalan di sisi tembok, dan terus memandang wanita itu. Tanpa ia sadari, tembok itu telah berada di depannya, dan hidungnya pun menabrak tembok hingga berdarah. Laki-laki itu berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menyeka darahku ini, hingga Rasulullah saw mendatangiku. Lalu, ada seorang laki-laki menyampaikan masalah itu kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw pun mendatanginya, dan laki-laki itu pun menceritakan kisahnya kepada Nabi saw. Nabi saw bersabda, “Ini adalah hukuman atas dosamu.” Kemudian, turunlah firman Allah swt surah al-Nuur:30″. Diriwayatkan juga dari Qatadah, bahwa makna firman Allah swt, “qul lil mukminiin yaghudldluu min abshaarihim”, adalah, “menjaga pandangan dari hal-hal yang tidak dihalalkan memandangnya..”[3]
Imam Qurthubiy juga menyitir pendapat dari Qatadah, bahwa maksud ayat ini adalah agar kaum Mukmin menjaga pandangannya dari hal-hal yang tidak dihalalkan bagi mereka.[4] Menurut Imam Qurthubiy, hukum menjaga pandangan dari semua hal yang diharamkan dan dari hal-hal yang dikhawatirkan bisa menyebabkan fitnah, adalah wajib. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahwasanya Rasulullah saw bersabda, “Hindarilah oleh kalian, duduk-duduk di jalanan “. Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, tidaklah kami duduk di pinggir jalan, kecuali hanya sekedar berbincang-bincang saja.” Nabi saw saw berkata, “Jika kalian tidak bisa menghindari untuk duduk-duduk di pinggir jalan, maka, penuhilah hak-hak pengguna jalan.” Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa hak pengguna jalan itu? Nabi menjawab,” Menjaga pandangan, menyingkirkan bahaya, membalas salamnya, dan amar ma’ruf nahi ‘anil mungkar”.[HR. Bukhari dan Muslim][5]
Imam Baidlawiy, dalam Tafsir al-Baidlawiy menafsirkan QS. Al-Nuur (24):31 dengan menyatakan, “Hendaknya para wanita tidak melihat bagian tubuh laki-laki yang tidak dihalalkan bagi mereka untuk melihatnya.”[6] Imam Syaukani dalam kitab Fath al-Qadiir menjelaskan; ayat ini seperti halnya surat al-Nuur ayat 30, merupakan dalil yang menunjukkan haramnya wanita Mukminah memandang apa-apa yang diharamkan.[7]
Imam Qurthubiy menyatakan, bahwa ayat ini berfungsi untuk menegaskan (ta’kiid) perintah gadldlu al-bashar (menjaga pandangan) kepada para wanita Muslimat. Sebab, pada ayat sebelumnya, yakni surat al-Nuur ayat 30, sudah ada perintah kepada wanita Muslimat agar menjaga pandangan dan kemaluannya. Sebab, frase “wa qul lil mukminiin” adalah frase umum yang berlaku bagi kaum laki-laki dan wanita; seperti halnya setiap khithab umum yang ada di dalam al-Quran.[8] Perintah ini kemudian dipertegas kembali pada ayat berikutnya (surat al-Nuur:31).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya seorang Mukmin dan Mukminat wajib memelihara pandangannya dengan cara tidak melihat aurat laki-laki atau wanita asing (bukan mahram). Tidak hanya sebatas itu juga, mereka juga dilarang memandang lawan jenisnya, dengan maksud untuk dinikmati, dikagumi, atau dipandang secara terus menerus; meskipun wanita itu telah menutup auratnya.
Adapun pandangan yang tiba-tiba atau tidak disengaja; hukumnya tidaklah haram. Hanya saja, setelah pandangan pertama, mereka harus segera memalingkan pandangannya ke arah yang lain. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Sa’id bin Abi al-Hasan pernah berkata kepada al-Hasan, ketika ada seorang wanita ‘ajam (asing) yang dada dan kepalanya terbuka, “Palingkanlah pandanganmu.”[HR. Bukhari]
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, dari Jarir bin ‘Abdullah, bahwasanya ia berkata;
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِي أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِي
“Saya bertanya kepada Rasulullah saw tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja). Nabi saw menjawab, “Palingkanlah pandanganmu.”[HR. Imam Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Dari Buraidah ra dituturkan, bahwasanya ia berkata,
قَالَ يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
“Nabi saw bersabda kepada Ali ra, “Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Sesungguhnya, yang boleh bagimu adalah pandangan yang pertama, bukan yang berikutnya.” [HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Atas dasar itu, laki-laki dan wanita Mukmin wajib menjaga pandangannya satu dengan yang lain. Seorang laki-laki tidak diperbolehkan memandang aurat wanita begitu juga sebaliknya, wanita tidak diperbolehkan memandang aurat laki-laki. Adapun selain aurat, baik laki-laki dan wanita diperbolehkan melihatnya dengan tidak disertai maksud untuk menikmatinya, atau untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya.
Ajang Miss World justru menjadikan semua perbuatan yang dilarang oleh Islam sebagai sebuah event yang wajib ditonton dan dipertontonkan; mulai dari pamer aurat, menonjolkan kecantikan (tabarruj), eksploitasi seksualitas, serta perbuatan-perbuatan haram lainnya. Padahal, bukankah kaum Mukmin dan Mukminat diperintah untuk memelihara pandangannya?
Bertentangan Dengan Perintah Menutup Aurat
Perintah menutup aurat disebutkan dalam al-Quran dan Sunnah. Seorang Mukmin dan Mukminat wajib menutup auratnya, serta dilarang melihat aurat orang lain, kecuali ada dalil yang mengkhususkan. Di dalam Al-Quran, Allah swt berfirman: Kewajiban menutup aurat telah disitir di dalam al-Quran. Allah swt berfirman;
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ (26)
“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu, dan pakaian indah untuk perhiasan.”[TQS Al A'raaf (7):26]
Imam Qurthubiy di dalam Tafsir Qurthubiy menyatakan; ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat. Sebab, Allah swt telah menurunkan kepada kita pakaian yang digunakan untuk menutup aurat. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai wajibnya menutup aurat. Mereka hanya berbeda pendapat tentang bagian tubuh mana yang termasuk aurat.[9]
Di dalam kitab Fath al-Qadir, dituturkan; jumhur ulama berpendapat, bahwa ayat ini merupakan dalil wajibnya menutup aurat dalam setiap keadaan, walaupun ia seorang diri, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits-hadits shahih.[10] Dalam kitab al-Muhadzdzab dinyatakan, bahwa menutup aurat (satru al-’aurat) dari pandangan mata adalah wajib.[11]
Adapun dalil-dalil sunnah yang menunjukkan kewajiban menutup aurat bagi laki dan wanita adalah sebagai berikut;
Imam Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy meriwayatkan sebuah hadits yang menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا
الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلَا يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى
الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلَا تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ
فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
“Sesungguhnya, Rasulullah saw bersabda, “Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki lain, dan janganlah seorang wanita melihat aurat wanita lain. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki yang lain dalam satu selimut; dan janganlah seorang wanita tidur dengan wanita lain dalam satu selimut.”[HR. Imam Muslim, Abu Dawud, dan Turmudziy]
Imam Mubarakfuriy dalam kitab Tuhfat al-Ahwadziy menyatakan, bahwa hadits ini merupakan dalil haramnya seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, serta haramnya seorang perempuan melihat aurat perempuan; begitu juga sebaliknya; seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat wanita, dan wanita tidak boleh melihat aurat laki-laki.[12]
Bahz bin Hakim meriwayatkan sebuah hadits dari bapaknya, dan bapaknya berasal dari kakeknya, bahwasanya kakeknya berkata;
قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ عَوْرَاتُنَا مَا
نَأْتِي مِنْهَا وَمَا نَذَرُ قَالَ احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ
زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِذَا
كَانَ الْقَوْمُ بَعْضُهُمْ فِي بَعْضٍ قَالَ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا
يَرَاهَا أَحَدٌ فَلَا يَرَاهَا قَالَ قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِذَا
كَانَ أَحَدُنَا خَالِيًا قَالَ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ
مِنْ النَّاسِ
“Saya bertanya kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, terhadap aurat kami, apa yang boleh kami tampakkan dan apa yang harus kami tutup? Nabi saw menjawab, “Jagalah auratmu, kecuali kepada isteri-isterimu dan budak-budak yang kamu miliki.” Saya bertanya lagi, “Lalu, bagaimana jika ada suatu kaum, dimana satu dengan yang lain bisa saling melihat auratnya? Nabi saw menjawab, “Jika kamu mampu, jangan sampai auratmu dilihat oleh seorangpun. Oleh karena itu, janganlah seseorang melihat aurat orang lain.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana, jika seorang diantara kami telanjang? Nabi menjawab, “Harusnya ia lebih malu kepada Allah swt.”[HR. Jama'ah kecuali Imam al-Nasaaiy]
Imam Syaukani, dalam kitab Nail al-Authar, menyatakan, bahwasanya hadits di atas merupakan dalil mengenai wajibnya menutup aurat di setiap waktu, kecuali saat buang air, bersenggama, mandi; dan wajibnya menutup aurat di hadapan semua orang, kecuali di hadapan isteri, budak, dokter, saksi,dan qadliy ketika ada persengketaan.[13] Hadits ini juga menunjukkan larangan mandi di satu kolam, dimana, satu dengan yang lain saling melihat aurat.[14]
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits di dalam Tarikh-nya, bahwasanya Mohammad bin Jahsiy berkata;
مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَنَا مَعَهُ عَلَى مَعْمَرٍ وَفَخِذَاهُ مَكْشُوفَتَانِ
فَقَالَ يَا مَعْمَرُ غَطِّ فَخِذَيْكَ فَإِنَّ الْفَخِذَيْنِ عَوْرَةٌ
“Rasulullah saw melewati Ma’mar yang saat itu kedua pahanya sedang terbuka. Beliau bersabda, “Hai Ma’mar tutuplah kedua pahamu. Sebab, paha itu adalah aurat.”[HR. Imam Ahmad, Hakim, dan Bukhari di dalam kitab Tarikh-nya],
Jarhad meriwayatkan sebuah hadits dari bapaknya, bahwasanya bapaknya berkata;
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَرَّ بِهِ وَهُوَ كَاشِفٌ عَنْ فَخِذِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَطِّ فَخِذَكَ فَإِنَّهَا مِنْ
الْعَوْرَةِ
“Rasulullah saw tengah lewat, sedangkan saat itu saya sedang memakai kain dan paha saya terbuka. Beliau pun bersabda, “Tutuplah pahamu, karena paha itu adalah aurat.”[HR. Imam Ahmad, Malik, Abu Dawud dan Turmudziy]
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya ia berkata;
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
“Sesungguhnya Asma binti Abu Bakar datang menemui Rasulullah saw, sedangkan ia mengenakan pakaian tipis. Nabi saw pun segera berpaling darinya, seraya bersabda, “Wahai Asma’, jika seorang wanita telah akil baligh, tidak boleh tampak dari dirinya, kecuali ini dan ini. Beliau mengisyaratkan wajah dan kedua telapak tangan.”[HR. Abu Dawud]
Di dalam hadits lain dituturkan, bahwa Rasulullah saw bersabda;
“Barangsiapa melihat aurat, hendaknya ia menutupnya.”[HR. Abu Dawud][15]
Hadits-hadits ini menunjukkan dengan jelas, perintah untuk menutup aurat, dan larangan melihat aurat orang lain tanpa ada udzur syar’iy. Tidak hanya itu saja, hadits-hadits di atas diperkuat dengan hadits-hadits yang berisi ancaman bagi siapa saja yang membuka auratnya di hadapan selain mahram. Larangan ini dikecualikan pada keadaan-keadaan yang memang dibolehkan oleh syariat, seperti seorang dokter yang hendak mengobati pasiennya; seorang hakim yang hendak mendapatkan barang bukti dari orang yang berselisih, orang yang hendak mengkhithbah, dan lain sebagainya.
Miss World adalah ajang pamer dan buka aurat. Dan event Miss World bukanlah udzur syar’iy yang membolehkan seseorang membuka auratnya, atau melihat aurat orang lain.
Bertentangan Dengan Larangan Tabarruj (Menampakkan Kecantikan di Depan Umum)
Larangan tabarruj ditetapkan Allah swt di dalam surat al-Nuur ayat 60. Allah swt berfirman:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ
“Perempuan-perempuan tua yang telah berhenti haidl dan kehamilan yang tidak ingin menikah lagi, tidaklah dosa atas mereka menanggalkan pakaian mereka tanpa bermaksud menampakkan perhiasannya (tabarruj).”[TQS Al Nuur (24):60]
Jika wanita tua dilarang untuk tabarruj, lebih-lebih lagi wanita yang belum tua dan masih mempunyai keinginan untuk menikah.
Imam Ibnu Mandzur, dalam Lisaan al-’Arab menyatakan, “Wa al-tabarruj : idzhaar al-mar`ah ziinatahaa wa mahaasinahaa li al-rijaal (tabarruj adalah menampakkan perhiasan dan anggota tubuh untuk menaruh perhiasan kepada laki-laki non mahram.”[16]
Di dalam kitab Zaad al-Masiir dinyatakan, “Tabarruj, menurut Abu ‘Ubaidah, adalah seorang wanita menampakkan kecantikannya. Sedangkan menurut al-Zujaj; tabarruj adalah menampakkan perhiasaan, dan semua hal yang bisa merangsang syahwat laki-laki…Sedangkan sifat-sifat tabarruj di jaman jahiliyyah ada enam pendapat; pertama; seorang wanita yang keluar dari rumah dan berjalan diantara laki-laki. Pendapat semacam ini dipegang oleh Mujahid. Kedua, wanita yang berjalan berlenggak-lenggok dan penuh gaya dan genit. Ini adalah pendapat Qatadah. Ketiga, wanita yang memakai wewangian. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abi Najih. Keempat, wanita yang mengenakan pakaian yang terbuat dari batu permata, kemudian ia memakainya, dan berjalan di tengah jalan. Ini adalah pendapat al-Kalabiy. Kelima, wanita yang mengenakan kerudung namun tidak menutupnya, hingga anting-anting dan kalungnya terlihat…..”[17]
Adapun di dalam sunnah, larangan tabarruj disebut di banyak riwayat. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat, bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan manusia yang menjadi penghuni neraka, yang sebelumnya aku tidak pernah melihatnya; yakni, sekelompok orang yang memiliki cambuk seperti ekor sapi yang digunakan untuk menyakiti umat manusia; dan wanita yang membuka auratnya dan berpakaian tipis merangsang berlenggak-lenggok dan berlagak, kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan dapat masuk surga dan mencium baunya. Padahal, bau surga dapat tercium dari jarak sekian-sekian.”[HR. Imam Muslim]
Di dalam Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawiy berkata, “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat kenabian. Sungguh, akan muncul kedua golongan itu. Hadits ini bertutur tentang celaan kepada dua golongan tersebut. Sebagian ‘ulama berpendapat, bahwa maksud dari hadits ini adalah wanita-wanita yang ingkar terhadap nikmat, dan tidak pernah bersyukur atas karunia Allah. Sedangkan ulama lain berpendapat, bahwa mereka adalah wanita-wanita yang menutup sebagian tubuhnya, dan menyingkap sebagian tubuhnya yang lain, untuk menampakkan kecantikannya atau karena tujuan yang lain. Sebagian ulama lain berpendapat, mereka adalah wanita yang mengenakan pakaian tipis yang menampakkan warna kulitnya (transparan)…Kepala mereka digelung dengan kain kerudung, sorban, atau yang lainnya, hingga tampak besar seperti punuk onta.”[18]
Imam Ahmad juga meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah dengan redaksi berbeda.
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَا أَرَاهُمَا بَعْدُ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلَاتٌ مُمِيلَاتٌ عَلَى رُءُوسِهِنَّ مِثْلُ أَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ لَا يَرَيْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا وَرِجَالٌ مَعَهُمْ أَسْوَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ
“Ada dua golongan penghuni neraka, yang aku tidak pernah melihat keduanya sebelumnya. Wanita-wanita yang telanjang, berpakaian tipis, dan berlenggak-lenggok, dan kepalanya digelung seperti punuk onta. Mereka tidak akan masuk surga, dan mencium baunya. Dan laki-laki yang memiliki cambuk seperti ekor sapi, yang ia pergunakan untuk mencambuk manusia.”[HR. Imam Ahmad]
Hadits-hadits di atas merupakan ancaman yang sangat keras bagi wanita yang menampakkan sebagian atau keseluruhan auratnya, berbusana tipis, dan berlenggak-lenggok –melakukan gerakan-gerakan erotis dan merangsang (porno aksi).
Perhelatan Miss World jelas-jelas masuk dalam larangan hadits-hadits di atas. Untuk itu, tidak ada keraguan lagi, bahwasanya Miss World adalah event maksiyat yang harus digagalkan dengan cara apapun.
Bertentangan Dengan Perintah Untuk Berbusana Islamiy Bagi Wanita, yakni Kerudung dan Jilbab
Miss World adalah event yang dibuat dan diprakarsai oleh orang-orang kafir. Pada awal kemunculannya, Miss World dijadikan sebagai sarana untuk mempromosikan bikini. Hingga sekarang pun, tradisi ini masih terus dipelihara.
Dalam kaitannya dengan busana dan cara berbusana, Islam telah menetapkan busana khusus yang wajib dikenakan wanita Muslimat, ketika keluar dari kehidupan khusus (rumah). Busana yang wajib dikenakan seorang Muslim ketika keluar rumah adalah khimar (kerudung) dan jilbab (pakaian luas yang dikenakan di atas pakaian sehari-hari). Perintah menggunakan khimar dan jilbab disebut di dalam al-Quran. Perintah menggunakan khimar disebut dalam firman Allah swt:
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..”[TQS Al Nuur (24):31]
Ayat ini berisi perintah dari Allah swt agar wanita mengenakan khimar (kerudung), yang bisa menutup kepala, leher, dan dada. Imam Ibnu Mandzur di dalam kitab Lisaan al-’Arab menuturkan; al-khimaar li al-mar`ah : al-nashiif (khimar bagi perempuan adalah al-nashiif (penutup kepala). Ada pula yang menyatakan; khimaar adalah kain penutup yang digunakan wanita untuk menutup kepalanya. Bentuk pluralnya adalah akhmirah, khumr atau khumur.[19] Khimar (kerudung) adalah ghitha’ al-ra’si ‘ala shudur (penutup kepala hingga mencapai dada), agar leher dan dadanya tidak tampak.[20]
Perintah mengenakan jilbab disebut di dalam al-Quran:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang”.[TQS Al Ahzab (33):59]
Ayat ini merupakan perintah yang sangat jelas kepada wanita-wanita Mukminat untuk mengenakan jilbab. Adapun yang dimaksud dengan jilbab adalah milhafah (baju kurung) dan mula’ah (kain panjang yang tidak berjahit). Di dalam kamus al-Muhith dinyatakan, bahwa jilbab itu seperti sirdaab (terowongan) atau sinmaar (lorong), yakni baju atau pakaian longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutup pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.”[Kamus al-Muhith]. Sedangkan dalam kamus al-Shahhah, al-Jauhari mengatakan, “jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhafah) yang sering disebut dengan mula’ah (baju kurung).”[Kamus al-Shahhah, al-Jauhariy]
Bertentangan dengan Larangan Tasyabbuh (Meniru-niru) Dengan Orang Kafir
Miss World, baik dari sisi asasnya, sejarah kemunculannya, serta rangkaian kegiatannya merupakan gagasan orang-orang kafir yang telah menjadi sebuah tradisi. Seorang Muslim dan Muslimat dilarang tasyabbuh dengan orang kafir, dalam urusan seperti ini. Keterlibatan serta keikutsertaan seorang Muslimat dalam ajang ini jelas-jelas termasuk dalam aktivitas tasyabbuh dengan orang kafir. Padahal, Islam jelas-jelas melarang tasyabbuh dengan orang kafir. Di dalam al-Quran, Allah swt berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Mohammad) “Raa’ina”, tetapi katakan: “Undzurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.”[TQS Al Baqarah (2):104]
Imam Ibnu Katsir, dalam Tafsir Ibnu Katsir, menyatakan, bahwa Allah swt telah melarang kaum mukmin menyerupai perkataan dan perilaku orang-orang kafir. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149].
Di dalam sunnah, banyak riwayat yang menuturkan larangan bertasyabbuh dengan orang-orang kafir. Imam Ahmad mengetengahkan sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
بُعِثْتُ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدَ اللَّهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَجُعِلَ رِزْقِي تَحْتَ ظِلِّ رُمْحِي وَجُعِلَ الذِّلَّةُ وَالصَّغَارُ عَلَى مَنْ خَالَفَ أَمْرِي وَمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“ Aku telah diutus di hadapan waktu dengan membawa pedang, hingga hanya Allah semata yang disembah, dan tidak ada sekutu bagi Allah; dan rizkiku telah diletakkan di bawah bayang-bayang tombakku. Kehinaan dan kenistaan akan ditimpakan kepada siapa saja yang menyelisihi perintahku; dan barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut.”[HR. Imam Ahmad]
Masih menurut Imam Ibnu Katsir, hadits ini berisikan larangan yang sangat keras, serta ancaman bagi siapa saja yang meniru-niru atau menyerupai orang-orang kafir, baik dalam hal perkataan, perbuatan, pakaian, hari raya, peribadahan, serta semua perkara yang tidak disyariatkan bagi kaum muslim. [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 1/149-150]
Tatkala menafsirkan hadits riwayat Imam Ahmad di atas, Imam al-Manawiy dan al-’Alqamiy, menyatakan,”Hadits di atas berisikan larangan untuk berbusana dengan busana orang-orang kafir, berjalan seperti orang-orang kafir, serta berperilaku seperti orang-orang kafir.”[Mohammad Syams al-Haq, 'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]
Al-Qariy berkata, “Barangsiapa bertasyabuh dengan orang-orang kafir, baik dalam hal pakaian dan lain sebagainya, maka ia termasuk bagian dari kaum tersebut. Tasyabuh tidak hanya dengan orang-orang kafir belaka, akan tetapi juga dengan orang-orang fasik, fajir, ahli tasawwuf, dan orang-orang shaleh. Walhasil, tasyabbuh terjadi dalam hal kebaikan dan dosa.”[ Mohammad Syams al-Haq,'Aun al-Ma'buud Syarh Sunan Abi Dawud, hadits no. 3512]
Miss World Membawa Nilai dan Pesan Yang Bertentangan dengan Islam
Ajang Miss World sarat dengan ide dan nilai yang bertentangan dengan Islam, yakni kebebasan (liberalism), feminism, industrialisasi kecantikan, serta revolusi gaya hidup dan cara pandang terhadap kehidupan. Persepsi-persepsi mulia yang ditanamkan dalam masyarakat Islam, seperti ‘iffah dan memelihara kehormatan wanita, telah diluluhlantakkan oleh “sesuatu yang dibawa oleh Miss World dan ajang-ajang kecantikan lainnya. Lewat Miss World pula, barat berhasil mengubah cara pandang kaum Muslim, wa bil khusus, Muslimah terhadap kecantikan, wanita ideal, dan lain sebagainya.
Ringkasnya, Miss World boleh diibaratkan sebuah pedang yang digunakan oleh orang-orang kafir barat untuk membunuhi keyakinan dan hukum Islam yang mulia. Oleh karena itu, siapa saja yang melibatkan dirinya dalam perhelatan maksiyat ini, maka, sama artinya ia telah menyerahkan leher-lehernya untuk dipancung dengan pedang kemaksiyatan.
Pengaruh Tabarruj Dalam Miss World Bagi Kaum Muslim
Sesungguhnya, tabarruj telah memberikan sejumlah implikasi buruk bagi masyarakat, khususnya kaum Muslim.
- Tabarruj dapat mengubah kecenderungan kaum Muslim dari kecenderungan untuk senantiasa menjaga dan menahan pandangan, menjadi kecenderungan untuk memuja hawa nafsu dan hasrat seksual. Akibatnya, laki-laki dan wanita mulai berlomba-lomba untuk menarik lawan jenisnya, dengan mengenakan pakaian dan perhiasan yang seseksi dan semerangsang mungkin. Mereka juga menyibukkan diri dengan urusan mempercantik diri dan menarik maupun memikat lawan jenisnya. Akhirnya, banyak orang terjatuh pada hubungan-hubungan lawan jenis yang dilarang oleh syariat Islam, misalnya, pacaran, berkhalwat, perselingkuhan, perzinaan, dan lain sebagainya.
- Tabarruj bisa mengubah paradigma hubungan laki-laki dan wanita di dalam Islam; yaitu, hubungan yang didasarkan pada prinsip ketakwaan, menjadi hubungan yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis semata.
- Tabarruj juga akan melemahkan kaum Muslim dari upaya-upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah swt. Dengan kata lain, tabarruj akan melemahkan semangat kaum Muslim untuk menegakkan hukum-hukum Allah, serta upaya untuk mendakwahkan Islam, baik dengan propaganda maupun jihad. []Fathiy Syamsuddin Ramadhan An Nawiy]
[1] Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadir, juz 4/22; lihat juga Mohammad al-Jauziy, Zaad al-Masiir, juz 6/30; Imam Suyuthiy, Tafsir al-Jalalain, juz 1/462;
[2] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/282; lihat juga Imam al-Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 4/182; Imam al-Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12/222
[3] Al-Hafidz al-Suyuthiy, al-Durr al-Mantsuur, juz 6/176; lihat juga Ma’aaniy al-Quran, juz 4/520;
[4] Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12/222; lihat juga Imam al-Baghawiy, Tafsir al-Baghawiy, juz 3/337
[5] Ibid, juz 12/223
[6] Imam al-Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 4/183; lihat juga Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 18/116; Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3/284; Tafsir al-Tsa’labiy, juz 3/116; Fath al-Qadiir, juz 4/23
[7] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4/23
[8] Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 12/226
[9] Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 7/172; Imam al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 4/203; lihat dan bandingkan dengan al-Durr al-Mantsur, 3/433 ; Zaad al-Masiir, juz 3/181;
[10] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadir, juz 2/200; Kutub wa Rasaail, wa Fatwa Ibnu Taimiyyah fi al-Fiqh, juz 21/174
[11] al-Muhadzzab, juz 1/64, lihat juga al-Tanbiih, juz 1/28; I’aanat al-Thaalibiin, juz 1/113; al-Wasiith, juz 2/174; Fath al-Mu’iin, juz 1/113
[12] Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, Syarah hadits no.2717; lihat juga Al-Sanadiy, Syarah Shahih Ibnu Majah, hadits no. 336; lihat juga al-Hafidz ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 9/338; ‘Aun al-Ma’buud, juz 11/40; Faidl al-Qadiir, juz 4/367; al-Muhalla, juz 11/392
[13] Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/44-45
[14] Ibid, hal. 44-45
[15] al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 5/289
[16] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 2/212; Tafsir Qurthubiy, juz 10/9; Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.46; Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 3/125; Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/554; al-Jashshash, Ahkaam al-Quran 2, juz 5/230; Imam al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafiy, juz 3/305; Ruuh al-Ma’aaniy, juz 22/7-8; dan sebagainya.
[17] Zaad al-Masiir, juz 6/38-382
[18] Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 3971
[19] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 4/257
[20] Imam Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/336
[9] Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, juz 7/172; Imam al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 4/203; lihat dan bandingkan dengan al-Durr al-Mantsur, 3/433 ; Zaad al-Masiir, juz 3/181;
[10] Imam Syaukaniy, Fath al-Qadir, juz 2/200; Kutub wa Rasaail, wa Fatwa Ibnu Taimiyyah fi al-Fiqh, juz 21/174
[11] al-Muhadzzab, juz 1/64, lihat juga al-Tanbiih, juz 1/28; I’aanat al-Thaalibiin, juz 1/113; al-Wasiith, juz 2/174; Fath al-Mu’iin, juz 1/113
[12] Imam Mubarakfuriy, Tuhfat al-Ahwadziy, Syarah hadits no.2717; lihat juga Al-Sanadiy, Syarah Shahih Ibnu Majah, hadits no. 336; lihat juga al-Hafidz ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 9/338; ‘Aun al-Ma’buud, juz 11/40; Faidl al-Qadiir, juz 4/367; al-Muhalla, juz 11/392
[13] Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 2/44-45
[14] Ibid, hal. 44-45
[15] al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 5/289
[16] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 2/212; Tafsir Qurthubiy, juz 10/9; Imam al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal.46; Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 3/125; Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, juz 1/554; al-Jashshash, Ahkaam al-Quran 2, juz 5/230; Imam al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafiy, juz 3/305; Ruuh al-Ma’aaniy, juz 22/7-8; dan sebagainya.
[17] Zaad al-Masiir, juz 6/38-382
[18] Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, hadits no. 3971
[19] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 4/257
[20] Imam Ali al-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz 2/336
Sumber hizbut-tahrir.or.id
Tidak ada komentar