Header Ads

Benarkah Hizbut Tahrir Menolak Keberadaan Hadits Mutawatir Maknawi?

Di antara perkara yang dituduhkan sebagai penyimpangan Hizbut Tahrir adalah bahwa, konon, gerakan ini menolak keberadaan hadits mutawatir maknawi. Apakah tuduhan bahwa Hizbut tahrir menolak keberadaan hadits mutawatir bil makna ini benar? Catatan singkat ini akan menjawabnya.

Perlu kita tegaskan, bahwa sumber yang dapat kita percaya mengenai pendirian Hizbut tahrir adalah kitab-kitab pembinaan Hizbut Tahrir sendiri atau selebaran yang ia terbitkan. Pernyataan para pemuka Hizbut Tahrir, apalagi amirnya, juga layak dijadikan sebagai acuan dalam mengungkap pandangan Hizbut Tahrir yang sebenarnya.
Kitab asy Syakhshiyyatul Islamiyyah jilid pertama merupakan salah satu kitab yang diadopsi secara resmi oleh Hizbut Tahrir. Kitab yang ditulis oleh pendiri Hizbut Tahrir, asy Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani, ini juga menjadi salah satu menu yang harus disajikan dalam kajian khusus para anggota Hizbut Tahrir. Di dalam kitab ini, asy Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani menyatakan bahwa kemutawatiran hadits bisa terjadi pada lafadz, bisa juga terjadi pada maknanya saja. Beliau menulis:
وحكم الخبر المتواتر أنه يفيد العلم الضروري, وهو الذي يضطر اليه الإنسان بحيث لا يمكن دفعه, وإنما كان صروريا لأنه غير محتاج إلى النظر, أي أن الخبر المتواتر يفيد اليقين. والخبر المتواتر قسمان: متواتر لفظا كحديث (من كذب عليّ متعمّدا فليتبوّأ مقعده من النار), وكحديث مسح الخفين, وحديث الحوض, وحديث الشفاعة, ورفع اليدين في الصلاة. ومتواتر معنى كأن يتفق الناقلون على أمر في وقائع مختلفة ككون سنّة الصبح ركعتين,…
“Hukum dari khabar mutawatir adalah bahwa ia menghasilkan al ‘ilmu (keyakinan) yang bersifat dlaruriy, yang mana manusia harus menerimanya, mengingat ia tidak mungkin untuk ditolak. (al ‘ilmuyang dihasilkan) Disebut dloruriy karena ia tidak membutuhkan penelitian. Dengan kata lain, khabar mutawatir menghasilkan keyakinan. Khabar mutawatir itu terbagi menjadi dua: (pertamamutawatirdari segi lafadz (redaksi), contohnya seperti hadits <<”barang siapa berdusta atas nama aku secara sengaja maka hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di neraka”>>, hadits tentang mengusap duakhuff, hadits tentang al Haudl, hadits tentang syafaat, dan tentang mengangkat tangan pada saat shalat. Dan (keduamutawatir dari segi makna, seperti para penukil yang (haditsnya) beririsan dalam suatu hal yang sama meskipun hal tersebut terjadi dalam berbagai peristiwa yang berbeda, contohnya bahwa shalat sunnah (qabliyah) subuh itu dua rakaat…”[1]
Sementara itu, asy Syaikh ‘Atha’ Abur Rasytah hafidhahullah, amir Hizbut Tahrir yang sekarang, memiliki sebuah kitab ushulul fiqh, berjudul Taisirul Wushul ilal Ushul. Dalam kitab tersebut, beliau juga membagi hadits mutawatir menjadi dua, yaitu mutawatir lafdhi dan mutawatir ma’nawi. Mengenaimutawatir maknawibeliau menyatakan:
كذالك الحديث او جزء الحديث الذي بلغ روايته حد التواتر واتفقوا على معناه من غير مطابقة في اللفظ وهو ما يسمى بالتواتر المعنوي مثل كون سنة الصبح ركعتين, فقد تواترت روايتها من عدة طرق بنفس المعنى وإن اختلف اللفظ
“Demikian halnya dengan hadits atau bagian hadits yang periwayatannya mencapai batas mutawati, (hadits-hadits tersebut) memiliki kesamaan makna sementara redaksinya tidak sama. Inilah yang disebut mutawatir maknawi, seperti (hadits) mengenai  shalat sunnah (sebelum) subuh bahwa ia adalah dua rakaat, riwayatnya mutawatir dari beberapa jalur yang membawa makna yang sama meski lafadznya berbeda.”[2]
Lalu beliau menyatakan:
وهذه السنّة صالحة للإستدلال على العقائد والأحكام الشرعية لأن ثبوتها بالقطع عن رسول الله صلى الله عليه وسلم سواء أكانت قولية أم فعلية
“Sunnah (hadits) jenis ini sah untuk dijadikan dalil dalam akidah dan hukum-hukum syara’, sebab otentisitasnya bersifat pasti dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik ia berupa perkataan maupun perbuatan.”[3]
Kesimpulan
Hizbut Tahrir memberikan konfirmasi tentang keberadaan hadits-hadits mutawatir maknawi ataumutawatir bil makna. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, mutawatir maknawi sama saja denganmutawatir lafdzi dalam hal menghasilkan al ‘ilmu (keyakinan). Oleh kerenanya, baik mutawatir lafdzimaupun maknawi, keduanya sama-sama layak dijadikan sebagai dalil dalam perkara akidah dan hukum syara’, ini karena keduanya dapat dipastikan berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam(qath’iyyuts tsubut). Pendirian Hizbut Tahrir tersebut dapat diketahui secara jelas dari pernyataan asy Syaikh Taqiyyuddin an Nabhani di dalam asy Syakhshiyyah al Islamiyyah jilid pertama, juga dari pernyataan asy Syaikh Atha’ Abur Rasytah dalam kitab beliau, Taisirul Wushul ilal Ushul. Atas dasar itu, siapapun yang menyatakan bahwa Hizbut Tahrir menolak hadits mutawatir maknawi maka pernyataannya itu tidak dapat dipercaya, karena bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh Hizbut tahrir sendiri. Wallahu a’lam, (Titok Priastomo) [www.al-khilafah.org]
penjelasan pribadi dari Pembela Khilafah

[1] Taqiyyuddin an Nabhani, asy Syakhshiyyah al Islamiyyah (Beirut: Darul Ummah, 2003), jilid I, hal. 332 – 333.
[2] Atha’ bin Khalil, Taisirul Wushul ilal Ushul (Beirut: Darul Ummah, 2000), Hal. 74.
[3] Ibid.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.