Header Ads

LSI : Masyarakat Apatis Terhadap Aparat Hukum Dalam Isu Terorisme

Paradoks Polri dan BNPT dalam merespon isu terorisme memunculkan apatisme terhadap aparat hukum. Hal ini disampaikan Toto Izul Fatah di Jakarta Selasa (07/01). Seperti yang diberitakan Antara (8/01), komunikasi publik yang dilakukan pemerintah melalui Polri dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dalam merespon isu terorisme dinilai belum berhasil.



“Selain dianggap belum efektif mencegah terorisme, respon dua lembaga itu juga saya nilai memunculkan apatisme publik terhadap aparat hukum,” kata Peneliti Senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Toto Izul Fatah di Jakarta, Selasa.

Menurut Toto, setidaknya ada dua isu penting yang harus direspon cerdas oleh Polri dan BNPT terkait kasus terorisme, yaitu penjelasan Polri yang terkesan paradoks. Di satu sisi para teroris itu sering digambarkan sebagai kelompok terlatih dan canggih karena kemampuannya untuk terus hidup dan melancarkan aksinya, termasuk kemampuan merakit bom dan memasok senjata dari luar negeri.

“Tapi, disisi lain, Polri mengungkap fakta berbeda tentang lugunya kelompok teroris ini. Misalnya, untuk kelompok teroris sekelas Dayat CS yang ditembak mati di Ciputat, dengan lugunya masih meninggalkan jejak dengan terungkapnya sejumlah dokumen rencana pemboman di sejumlah tempat. Termasuk, selalu meninggalkannya jejak buku panduan jihad,” katanya.

Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI itu mengatakan, dari beberapa kali aksi penggerebekan terhadap teroris, selalu ditemukan adanya buku panduan jihad.

Toto menegaskan, penjelasan tersebut penting agar Polri terhindar dari tudingan miring kemungkinan adanya rekayasa, terutama dari kelompok agama tertentu yang merasa dirugikan dengan pengungkapan barang bukti para teroris yang selalu ada buku panduan jihad.

Sementara itu, Jubir HTI menyatakan apatisme terhadap aparat tidak bisa dilepaskan dari fakta banyaknya kejanggalan dalam setiap operasi memerangi terorisme. Kepada, mediaumat.com, Jum’at (3/1), Ismail Yusanto mengatakan polisi dengan segala kemampuan, kelengkapan dan ilmu pengetahuannya sebenarnya mampu menangkap hidup-hidup keenam atau ketujuh orang terduga teroris di Tangerang Selatan.

Menurutnya, Katakanlah para terduga tersebut bersenjata, toh kenyataannya senjatanya pun jauh di bawah kecanggihan senjata polisi. “Tapi mengapa ditembak mati?” tanyanya lagi.

Lalu muncullah narasi tunggal, daftar ini dan daftar itu, yang kebenarannya bisa iya bisa tidak. “Masalahnya kan tidak terkonfirmasi kepada yang bersangkutan karena sudah ditembak mati,” sesal Ismail.

Ismail dengan nada yang tinggi pun mengingatkan. “Ini terduga teroris lho! Terduga itu artinya baru diduga, artinya bisa iya bisa tidak. Beda dengan tersangka, kalau tersangka itu kan memang berdasarkan penyidikan lalu dituduhkan bahwa dia itu melakukan tindak pidana,” terangnya.

Tetapi meski tersangka —tersangka apa pun juga termasuk tersangka korupsi— kan tidak boleh ditembak. “Ini mengapa baru terduga saja malah langsung ditembak mati? Kalau alasannya si terduga melawan kan sebenarnya bisa dilumpuhkan tanpa harus menembak mati, tembak bius kan bisa!” gugatnya.(AF) [htipress/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.