Header Ads

Taushiyah Ramadhan:‘Bekas’ Ramadhan

“Seburuk-buruk kaum adalah orang-orang yang tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, sesungguhnya orang yang shalih adalah orang yang beribadah dan bersungguh-sungguh tiap tahun secara penuh.” (Ibn Rajab, Lathâ-iful Ma’arif, hal. 222).

Saat ini kita di penghujung bulan Ramadhan, sudah banyak Ramadhan yang kita lalui, namun sudahkah kita merenungi: Bekas-bekas kebaikan apa yang tersisa pada diri kita setelah keluar dari bulan Ramadhan?, apakah setelah Ramadhan kita kembali ke ‘settingan’ awal?.


Pernah dikatakan kepada Imam Bisyr bin al-Hârits al-Hâfi tentang orang-orang yang (hanya) rajin dan sungguh-sungguh beribadah di bulan Ramadhan, maka beliau menjawab:

بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد ويجتهد السنة كلها

“seburuk-buruk kaum adalah orang-orang yang tidak mengenal hak Allah kecuali hanya di bulan Ramadhan, sesungguhnya orang yang shalih adalah orang yang beribadah dan bersungguh-sungguh tiap tahun secara penuh.” (Ibn Rajab, Lathâ-iful Ma’arif, hal. 222).

Sungguh sangat aneh ketika Ramadhan sebagian kemaksiatan termasuk tempat maksiat diberhentikan, namun setelah Ramadhan semuanya kembali dilakukan, seolah-olah kita hanya membutuhkan karunia dan ridho Allah pada bulan Ramadhan saja. Kalau seperti ini yang terjadi, maka ini merupakan pertanda tidak diterimanya amal ibadah kita, sebagamana perkataan sebagian ‘ulama terdahulu.

ثواب الحسنة الحسنة بعدها فمن عمل حسنة ثم اتبعها بعد بحسنة كان ذلك علامة على قبول الحسنة الأولى كما أن من عمل حسنة ثم اتبعها بسيئة كان ذلك علامة رد الحسنة وعدم قبولها

Ganjaran perbuatan baik adalah (mendapatkan taufik untuk melakukan) perbuatan baik setelahnya. Maka barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia mengerjakan amal kebaikan lagi setelahnya, maka itu merupakan pertanda diterimanya amal kebaikannya yang pertama, sebagaimana barangsiapa yang mengerjakan amal kebaikan, lalu dia dia mengerjakan perbuatan buruk (setelahnya), maka itu merupakan pertanda tertolak dan tidak diterimanya amal kebaikan tersebut.” (Ibn Rajab, Lathâ-iful Ma’arif, hal. 221).

Senantiasa teguh menjalani kebenaran inilah yang disebut istiqamah, salah satu sikap yang menjadi kunci kesuksesan di akhirat kelak, sebagaimana firman Allah swt

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (istiqamah), maka Malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”(QS. Fushshilat : 30).

Imam an-Nawawi (w. 676H) di dalam Riyâdh ash-Shâlihînmengatakan, “Para ulama berkata, ‘Istiqamah adalah luzûm ath-thâ’ah (menetapi ketaatan).”

Ibn Rajab dalam Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikâm menjelaskan bahwa istiqamah adalah bertindak sesuai dengan jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus (Islam) tanpa menyimpang ke kiri atau ke kanan, dan hal itu mencakup semua aktivitas ketaatan lahir maupun batin, dan meninggalkan semua yang dilarang.

Keistiqamahan yang sempurna seperti itu jelas merupakan sesuatu yang sangat berat. Karenanya, Allah swt di dalam QS Fushshilat: 6, setelah memerintahkan untuk istiqamah, lalu memerintahkan kita untuk memohon ampunan. Artinya, seorang hamba yang berusaha sungguh-sungguh untuk istiqamah, pasti juga pernah melakukan kebengkokan, karenanya diperintahkan untuk beristighfar. Rasul saw. juga bersabda:

اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا …

Beristiqamahlah kalian dan kalian tidak akan mampu menghitungnya (yakni tidak akan mampu melakukannya secara sempurna)[1] (HR Ahmad).

Bergaul dengan orang-orang shaleh merupakan salah satu hal dari banyak hal yang bisa dilakukan agar bisa istiqamah. Nabi saw bersabda:

« الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ »

“Seseorang itu sesuai dengan agama temannya. Karena itu, hendaklah siapapun dari kalian memperhatikan dengan siapa ia berteman”. (HR Ahmad).

Berapa banyak kita saksikan orang yang hancur akhlaknya ketika berada pada lingkungan dan sistem yang buruk. Sebaliknya bergaul dengan orang shalih akan memudahkan untuk mengikuti keshalihannya. Imam Al Fudhail bin ‘Iyadh (w. 187 H) berkata: 

نَظْرُ المُؤْمِنِ إِلَى المُؤْمِنِ يَجْلُو القَلْبَ

“Pandangan seorang mukmin kepada mukmin yang lain akan mengkilapkan hati.” (Siyar A’lam An Nubala’, 8/435). Maksudnya adalah dengan hanya memandang orang shalih, hati seseorang bisa kembali bersemangat, atau minimal mengetahui kekurangan dirinya. ‘Abdullah bin Al Mubarak (w. 181 H) mengatakan, “Jika kami memandang Fudhail bin ‘Iyadh, kami akan semakin sedih dan merasa diri penuh kekurangan.” Ja’far bin Sulaiman juga pernah berkata, “Jika hati ini ternoda, maka kami segera pergi menuju Muhammad bin Waasi (w. 123 H).” Tentu semua itu bisa terjadi jika pertemuan dan persahabatan tersebut dilandasi oleh iman dan pengetahuan akan hukum-hukum syara’, serta ikhlas berteman karena Allah, bukan karena dorongan duniawi. [M. Taufik N.T][www.al-khilafah.org]


[1] اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تُحْصُوا قَالَ ابْنُ نَافِعٍ مَعْنَاهُ وَلَنْ تُحْصُوا الْأَعْمَالَ الصَّالِحَاتِ وَلَا يُمْكِنُكُمْ الِاسْتِقَامَةُ فِي كُلِّ شَيْءٍ قَالَ الْقَاضِي أَبُو الْوَلِيدِ رَضْيَ اللَّهُ عَنْهُ مَعْنَاهُ عِنْدِي لَا يُمْكِنُكُمْ اسْتِيعَابُ أَعْمَالِ الْبِرِّ مِنْ قَوْلُهُ تَعَالَى وَاَللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ وَقَالَ مُطَرِّفٌ مَعْنَاهُ وَلَنْ تُحْصُوا مَالَكُمْ مِنْ الْأَجْرِ إِنْ اسْتَقَمْتُمْ


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.