Header Ads

Stop Memplesetkan Jilbab

Stop Memplesetkan Jilbab
Ikhwan wa akhwat fillah. Belakangan ini ada istilah yang sedang booming, menambah ragam perbendaharaan kosakata kita. Istilah ini cukup ramai dibincangkan di media sosial dan beberapa situs berita. Istilah yang lahir dari plesetan kata “jilbab”, dipadukan dengan kata slank dalam Bahasa Inggris. Misalnya (maaf) “boobs” yang berarti payudara. Lebih spesifiknya yang berukuran besar, dengan konotasi negatif. Sama seperti orang Indonesia menyebutkan organ-organ vital dari tubuh manusia dalam bahasa daerah, semisal "to**t", "me**k" dan sebagainya (maaf sekali lagi maaf, sebenarnya saya sangat tidak tega menyebutkannya).



JILBAB + B**BS jadilah JILB**BS. Jil**bs kini digunakan untuk menyebutkan model pakaian muslimah yang ketat, sehingga menonjolkan bagian menonjol dan menampakkan lekuk dari tubuh pemakainya. Ada juga istiah jilbabes (jilbab + babes). Babes merupakan slank dalam Bahasa Inggris untuk menyebut perempuan nakal.

Ikhwah fillah. Seorang muslim tentu tidak layak latah mengikuti sesuatu yang salah, menyebut-nyebutnya, meramaikannya, dan menyebarkannya. Jilbab adalah istilah syara’. Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Surah Al-Ahzab (33) ayat 59 yang artinya:

Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan JILBAB-nya ke seluruh tubuh mereka"

Imam Asy Syaukani dalam Kitab Fathul Qadir menyebutkan bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari khimar/kerudung/penutup kepala, yang menutupi seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda. “Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.”

Jilbab merupakan pakaian yang disyariatkan bagi muslimah saat mereka keluar rumah, ditambah dengan kerudung yang menutup hingga dada (QS.24:31). Karena itu jelas bahwa jilbab merupakan bagian dari syariah Islam. Karena itu pula, menyebutkan jilbab kemudian digandengkan dengan kata kotor, untuk membelokkan maksudnya kepada maksud lain yang buruk justru merendahkan syara itu sendiri. Bahkan bisa jadi merupakan pelecehan terhadap syariah Islam.

Okelah, istilah ini sudah terlanjur menyebar. Kita anggap saja sebagai kecelakaan sejarah. Namun, kita bisa kok tidak membantu penyebarannya. Berhenti menyebut-nyebutnya. Tahanlah diri kita dari menyebarkan kontennya, yang, masya Allah, mayoritas masih memuat gambar-gambar tidak senonoh itu. Dengan demikian kita juga bisa menyelamatkan lebih banyak mata. Menghapus peluang bertambahnya dosa kita, termasuk dosa mereka yang dimuat gambarnya.

Mendakwahkan jilbab juga tak mesti harus dengan mempelesetkan istilah syara’ dan menyertakan gambar-gambar itu kan? Dakwah itu bukan cuma modal semangat. Perlu ilmu dan metode yang benar. Alih-alih menjadikan kita mendapat pahala, cara yang salah justru bisa menggelincirkan kita pada jurang dosa.

Wallahu a’lam bishowab.
Akhukum, Ridwan Taufik K

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.