Header Ads

Ditunda atau Tidak: BBM Naik, Rakyat Tercekik

Ditunda atau Tidak: BBM Naik, Rakyat Tercekik
Ditunda atau Tidak: BBM Naik, Rakyat Tercekik
Oleh : Umar Syarifudin, Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri

Diberitakan oleh tempo.co (13/11/2014) bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan penurunan harga minyak dunia ke level US$ 85 per barel membuat pemerintah menunda rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Namun Kalla menegaskan kenaikan harga BBM tidak bisa terhindarkan. Selain untuk mengurangi beban anggaran, kenaikan harga BBM juga memberikan kepastian bagi masyarakat. Kalla enggan membeberkan kapan kenaikan harga tersebut berlaku. "Tidak lama lagi, karena semakin lama semakin sulit kita atasi gelombang-gelombang ketidaksenangan," ujarnya.


Menurut hemat penulis, beban hidup rakyat dipastikan semakin bertambah berat  seiring dengan keluarnya kebijakan pemerintah era Joko Widodo tentang pembatasan BBM bersubsidi, ataupun pengurangan subsidi BBM (kenaikan harga BBM).  Sebab, kebijakan ini selalu disusul oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, barang, dan jasa yang berarti meningkatnya biaya dan beban hidup rakyat.  Padahal, sebelumnya, rakyat sudah menanggung beban berat akibat privatisasi PSO (public service obligation) yang telah merambah pada pelayanan public dasar, seperti air, listrik, kesehatan, dan pendidikan.  Ironisnya lagi, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi -yang ujungnya adalah pencabutan subsidi BBM secara total- bukanlah kebijakan yang lahir dari aspirasi rakyat, akan tetapi lahir akibat adanya campur tangan dan intervensi asing.  Atas dasar itu, kebijakan ini tidak hanya mendzalimi rakyat, lebih dari itu, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi telah membuka jalan bagi asing untuk menguasai sepenuhnya sektor energy di Indonesia.

Meski rakyat menolak dengan kebijakan ini, tampaknya pemerintah ngotot tetap menaikan harga BBM. Langkah-langkah ini tampaknya dilakukan agar segera mencapai tingkat harga yang diinginkan oleh pemain asing.

'Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas.... Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.'' (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, Kompas, 14 Mei 2003).

Menurut Dirjen  Migas Dept. ESDM, Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).

Ironis memang, Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam termasuk migas namun sayangnya sebagian besar SDA tersebut justru dikuasai oleh swasta khususnya pihak asing. Merujuk data produksi minyak ESDM 2009, dari total produksi minyak dan kondensat di Indonesia, Pertamina hanya mampu memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta khususnya asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Belum lagi pemerintah melalui BP Migas justru lebih memprioritaskan untuk memperpanjang kontrak-kontrak pengelolaan ladang minyak kepada pihak swasta ketimbang menyerahkannnya kepada Pertamina. Di sisi lain dengan UU Migas 22/2001, Pertamina yang sebelumnya juga bertindak sebagai  regulator disejajarkan dengan perusahaan swasta sehingga harus bersaing untuk mendapatkan konsesi pengelolaan ladang minyak dari BP Migas. Kebijakan ini berkebalikan dengan Malaysia. Melalui penerbitan Petrolium Regulation Act tahun 1974 Petronas justru diberikan wewenang yang sangat besar sehingga mampu menggeser dominasi swasta dalam pengelolaan migas di negera tersebut. Hal yang sama juga terjadi di China dimana seluruh sektor energi sepenuhnya dikuasai oleh negara atau di sejumlah negara Amerika Latin yang peran pemerintah lebih dominan dalam mengelola minyak bumi mereka.

dengan demikian mereka dapat lebih mudah mengendalikan produksi dan harga di pasar domestik sesuai dengan kepentingan politik dan ekonomi negara tersebut. Tidak heran jika penduduk di negeri-negeri tersebut mendapatkan harga BBM yang relatif lebih murah mengingat produksinya cukup berlimpah. Memang cadangan kekayaan tersebut jumlahnya terus berkurang sehingga perlu dikembangkan energi alternatif.  Namun sayang, cara pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi penurunan daya produksi tersebut dilakukan dengan menaikkan harga jual agar masyarakat beralih menggunakan energi alternatif yang tidak jelas pengembangannya itu. Pada saat yang sama pemerintah justru membiarkan minyak di Indonesia dikuasai swasta khususnya asing.

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang ujung-ujungnya adalah pencabutan subsidi secara menyeluruh jelas-jelas akan menambah beban hidup rakyat. Padahal, sebelumnya rakyat sudah harus menanggung beban berat akibat kebijakan privatisasi yang telah merambah pada sektor pelayanan public (public service obligation), seperti pendidikan, kesehatan, kelistrikan, air, dan pelayanan publik lainnya.Atas dasar itu, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang jelas-jelas memberatkan rakyat adalah haram.  Ketentuan ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:

“Barangsiapa menyempitkan (urusan orang lain), niscaya Allah akan menyempitkan urusannya kelak di hari kiamat“.[HR. Imam Bukhari]

Dituturkan dari Ummul Mukminiin ‘Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah berdoa:

“Yaa Allah, barangsiapa memiliki hak mengatur suatu urusan umatku, lalu ia menyempitkan mereka, maka sempitkanlah dirinya; dan barangsiapa memiliki hak untuk mengatur suatu urusan umatku, lalu ia memperlakukan mereka dengan baik, maka perlakukanlah dirinya dengan baik“.[HR. Imam Ahmad dan Imam Muslim]

Pada dasarnya, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM  merupakan akibat dari kebijakan privatisasi dan liberalisasi tambang minyak dan gas bumi yang diharamkan syariat Islam. Pasalnya, tambang minyak dan gas bumi termasuk dalam kategori kepemilikan umum (collective property)yang dari sisi kepemilikan tidak boleh diserahkan kepada individu, atau hanya bisa diakses oleh individu-individu tertentu. Negara dilarang menyerahkan atau menguasakan harta milik umum kepada seseorang atau perusahaan swasta. Negara juga dilarang memberikan hak istimewa bagi individu atau perusahaan swasta untuk mengeksploitasi, mengolah, dan memonopoli pendistribusiaannya.

Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM bukanlah kebijakan yang lahir dari Islam, tetapi,  lahir dari sekulerisme-liberalisme yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam.  Padahal, seorang Muslim diwajibkan untuk berbuat di atas dasar Islam, bukan atas dasar paham atau pemikiran lain.  Di dalam hadits shahih, Nabi saw bersabda:

“Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak atas perintah kami, maka perbuatan itu tertolak“.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Sesungguhnya, sejak negeri ini menerapkan paham demokrasi-sekulerisme; sebagian besar kebijakan publik yang diterapkan di negeri ini tegak di atas paham demokrasi-sekuler, bukan Islam. Akibatnya, semua kebijakan yang ada di negeri ini bertentangan dengan Islam, baik dari sisi asas maupun perinciannya. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM, dari sisi asasnya adalah kebijakan bathil. Sebab, kebijakan ini lahir dari paham kapitalisme-sekulerisme.Adapun dari sisi perinciannya, telah terbukti bahwa kebijakan ini bertentangan dengan syariat Islam yang mengatur pengelolaan harta kepemilikan umum. Oleh karena itu, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi maupun kenaikan harga BBM jelas-jelas bertentangan dengan aqidah dan syariat Islam. [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.