Hukum Otopsi Dalam Pandangan Syariah Islam
Hukum Otopsi Dalam Pandangan Syariah Islam*
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**
Pengetian dan Macam Otopsi
Otopsi (bedah mayat) adalah pemeriksaan mayat dengan jalan pembedahan (surgery, at tasyriih). Ada tiga macam otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya.
Pendapat Ulama Tentang Otopsi
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.
Pertama, membolehkan ketiga otopsi di atasan. Aasannya, otopsi dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini adalah pendapat sebagian ulama, seperti Syeikh Hasanain Makhluf (ulama Mesir), Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi (ulama Suriah), dan beberapa lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih Islami OKI, Hai`ah Kibar Ulama (Arab Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah (Arab Saudi). (Lihat : As-Sa’idani, Al-Ifadah Al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-Masa`il Al-Thibiyah, hlm. 172; M. Ali As-Salus, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, hlm. 587; Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170; Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, hlm. 90).
Kedua, mengharamkan ketiga otopsi tersebut. Alasannya, otopsi telah melanggar kehormatan mayat. Padahal Islam melarang melanggar kehormatan mayat yang sepatutnya dijaga, berdasarkan sabda Nabi SAW :
Ini adalah pendapat sebagian ulama lainnya, seperti Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (ulama Palestina), Syeikh Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170; Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).
Tarjih (Memilih Pendapat Terkuat)
Menurut kami, pendapat yang terkuat (rajih) adalah pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis otopsi, berdasarkan dua dalil sebagai berikut :
Pertama, pendapat yang membolehkan dalilnya adalah kemaslahatan, atau (Mashalih Mursalah). Padahal Mashalah Mursalah dalam ilmu ushul fiqih bukanlah dalil syar’i (sumber hukum) yang kuat, atau disebut dalil syar’i yang mukhtalaf fiihi (keabsahannya sebagai sumber hukum diperselisihkan oleh para ulama). Sumber hukum yang kuat menurut jumhur (mayoritas) ulama, adalah yang tak diperselisihkan oleh para ulama (muttafaq ‘alaihi), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Mashalih Mursalahtidak layak menjadi dalil syar’i. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444);
Kedua, terdapat hadits-hadits shahih yang melarang melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya sebagaimana di atas.
Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 179; Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, hlm. 299).
Sebab di samping hadits dengan lafal mutlaq (tak disebut sifatnya, yaitu semua mayat) seperti dalam riwayat Abu Dawud di atas, ternyata ada hadits shahih dengan lafal muqayyad(disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW :
Penyimpulan hukum bahwa otopsi hanya haram untuk mayat muslim dan boleh untuk mayat non-musim, sejalan dengan sebuah kaidah ushuliyah (kaidah untuk menyimpulkan hukum Islam) yang menyebutkan :
(dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya batasan/muqayyad). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208)
Kesimpulannya, otopsi hukumnya haram jika mayatnya muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh.
Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Otopsi
Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah, pada dasarnya mengharamkan otopsi (otopsi forensik dan otopsi klinis), tapi kemudian membolehkan asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum” nomor 1 disebutkan,”Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati, keberadaannya dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI hukum asal otopsi adalah haram.
Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada Fatwa MUI tersebut disebutkan, “Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti hukum asal otopsi tersebut dikecualikan, yaitu otopsi yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada kebutuhan dari pihak berwenang.
Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus memenuhi 4 (empat) syarat. Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI tersebut, disebutkan 4 syarat tersebut, yaitu ;”
(1) otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,
(2) otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada point,
(3) jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan
(4) jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.” (Lihat Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah).
Fatwa MUI tentang otopsi jenazah tersebut di atas menurut kami tidak sah dan tidak dapat diterima, dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;
Pertama, dalil syar’i yang mengecualikan haramnya otopsi sebenarnya tidak ada. Karena tidak ada dalil syar’i yang sah dari Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas yang mengecualikan keharaman otopsi (yang membolehkan otopsi). Dalam kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) ditetapkan bahwa :
Kedua, dalil takshis (yang mengecualikan) haramnya otopsi yang disebut MUI, yaitu adanya kebutuhan (al haajat) untuk melakukan otopsi, juga tidak sah. Karena kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI, yang menurut kami dapat ditafsirkan sebagai “kemaslahatan” (al mashlahah) atau kepentingan, adalah argumentasi (dalil) yang lemah. Dalil mashlahat ini ujung-ujungnya akan kembali kepada sumber hukum yang disebut Mashalih Mursalah, yang kelemahannya sudah kami singgung di atas. Karena dalil Mashalih Mursalah itu tidak termasuk dalam dalil yang disepakati jumhur ulama, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.
Kalaupun menggunakan dalil Mashalih Mursalah, maka pendapat MUI tersebut justru tidak memenuhi kriteria maslahat dalam Mashalih Mursalah, yaitu kemaslahatan yang kosong dari dalil, yakni kemaslahatan yang tak ada dalil yang membatalkanya dan tidak ada pula dalil yang mengabsahkannya. Dalam ilmu ushul fiqih, kemaslahatan yang dibatalkan dalil disebut al maslahah al mulghah. Sedang kemaslahatan yang diabsahkan dalil disebut al maslahah al mu’tabarah. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqih, hlm. 150-151).
Padahal, kemaslahatan otopsi itu jelas termasuk kemaslahatan yang dibatalkan dalil, karena sudah ada dalil syar’i yang jelas-jelas membatalkan kemaslahatan otopsi, yaitu hadits shahih yang melarang merusak mayat, sesuai sabda Nabi SAW :
Jika kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI tersebut ditafsirkan sebagai “al haajat” dalam terminologi ushul fiqih, juga tidak sah. Memang dalam ushul fiqih istilah “al haajat” dapat berkedudukan sama dengan “al dhahuurat” (kondisi darurat), seperti disebut dalam sebuah kaidah fiqih : al haajat tanzilu manzilah al dharuurah (kebutuhan dapat berkedudukan sebagai kondisi darurat). Namun kondisi darurat ini tidak terwujud dalam kasus otopsi. Karena pengertian darurat menurut Imam Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nazha`ir adalah “sampainya seseorang pada suatu batas/kondisi yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati.” (Arab : wushuuluhu haddan in lam yataanawal mamnuu’ halaka aw qaaraba).
Ketiga, syarat untuk membolehkan otopsi (wasiat saat hidup atau izin ahli waris) dalam fatwa MUI tersebut tidak sah. Karena wasiat saat hidup dari seseorang, hanya sah untuk barang-barang yang dimiliki oleh yang bersangkutan, seperti tanah, atau rumah yang menjadi hak milik yang bersangkutan. Adapun wasiat untuk mengotopsi tubuhnya setelah dia mati, tidak sah. Karena setelah mati, tidak ada lagi hubungan hukum (seperti kepemilikan) antara seseorang dengan sesuatu yang dimilikinya pada saat dia hidup. Buktinya hartanya wajib diwaris, istrinya wajib diceraikan, dan tubuhnya wajib dikuburkan. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh).
Demikian pula izin ahli waris untuk mengotopsi jenazah, juga tidak sah. Karena ahli waris tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebab hak ahli waris hanya terbatas pada benda waris (tanah, rumah, uang dll) bukan pada jenazah pihak yang mewariskan benda waris (al muwarrits).
Tidak sahnya wasiat untuk diotopsi, baik dari orang yang bersangkutan atau dari ahli warisnya, diperkuat dengan kaidah fiqih yang menyatakan :
Keempat, otopsi dalam sistem pidana Islam (nizham ‘uqubat fil Islam) sebenarnya tidak dapat menjadi bukti pembunuhan (bayyinah al qatl). Karena pembuktian terjadinya pembunuhan dalam sistem pidana Islam hanya sah dengan salah satu dari dua jalan pembuktian, yaitu : Pertama, pengakuan (iqraar) dari pihak pembunuh. Kedua, kesaksian (syahaadah). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).
Untuk kesaksian, jumlah saksinya adalah dua saksi laki-laki, atau jika saksinya perempuan, maka satu saksi laki-laki setara dengan dua saksi perepmpuan. Jadi saksi dalam kasus pembunuhan adalah : dua saksi laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan, atau empat saksi perempuan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).
Kelima, syarat yang disebut fatwa MUI tersebut, yaitu otopsi merupakan satu-satunya jalan, sudah gugur. Karena beberapa tahun belakangan ini dalam dunia kedokteran sudah ada PMCT (Post Mortem CT Scan), yaitu penggunaan mesin pencitraan (CT Scan) yang dapat digunakan mengungkap rahasia medis orang mati. PMCT ini dapat menggantikan tindakan pembedahan dalam proses otopsi. Keuntungan PMCT (Post Mortem CT Scan) di antaranya adalah diagnosisnya tidak invasif dan dianggap tidak merusak mayat. Wallahu a’lam [ ]
= = = =
*Makalah disajikan dalam Kajian Akademik Hukum Bedah Mayat, diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia dan Departemen IKF &Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Jakarta, pada hari Rabu 17 Desember 2014.
**Dosen Ushul Fiqih di STEI Hamfara Jogjakarta, Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara Jogjakarta. Alumnus Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB Bogor (1997), dan Magister Studi Islam UII Jogjakarta (2009). Pernah menjadi santri di PP Nurul Imdad Bogor (1990-1992) dan PP Al Azhhar Bogor (1992-1994). Aktif dalam dakwah sebagai anggota DPP HTI (Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia).
[www.al-khilafah.org]
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi, S.Si, MSI**
Pengetian dan Macam Otopsi
Otopsi (bedah mayat) adalah pemeriksaan mayat dengan jalan pembedahan (surgery, at tasyriih). Ada tiga macam otopsi; (1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi. (2) otopsi klinis, yaitu otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis penyakit) sebelum mayat meninggal. (3) otopsi forensik, yaitu otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan identitasnya, dan sebagainya.
Pendapat Ulama Tentang Otopsi
Para ulama kontemporer berbeda pendapat mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.
Pertama, membolehkan ketiga otopsi di atasan. Aasannya, otopsi dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan kesehatan. Ini adalah pendapat sebagian ulama, seperti Syeikh Hasanain Makhluf (ulama Mesir), Syeikh Sa’id Ramadhan Al-Buthi (ulama Suriah), dan beberapa lembaga fatwa seperti Majma’ Fiqih Islami OKI, Hai`ah Kibar Ulama (Arab Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah (Arab Saudi). (Lihat : As-Sa’idani, Al-Ifadah Al-Syar’iyah fi Ba’dh Al-Masa`il Al-Thibiyah, hlm. 172; M. Ali As-Salus, Mausu`ah Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah, hlm. 587; Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170; Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, hlm. 90).
Kedua, mengharamkan ketiga otopsi tersebut. Alasannya, otopsi telah melanggar kehormatan mayat. Padahal Islam melarang melanggar kehormatan mayat yang sepatutnya dijaga, berdasarkan sabda Nabi SAW :
كسر عظم الميت ككسره حياً
“Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (kasru ‘azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).Ini adalah pendapat sebagian ulama lainnya, seperti Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani (ulama Palestina), Syeikh Bukhait Al-Muthi’i, dan Hasan As-Saqaf. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 170; Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).
Tarjih (Memilih Pendapat Terkuat)
Menurut kami, pendapat yang terkuat (rajih) adalah pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis otopsi, berdasarkan dua dalil sebagai berikut :
Pertama, pendapat yang membolehkan dalilnya adalah kemaslahatan, atau (Mashalih Mursalah). Padahal Mashalah Mursalah dalam ilmu ushul fiqih bukanlah dalil syar’i (sumber hukum) yang kuat, atau disebut dalil syar’i yang mukhtalaf fiihi (keabsahannya sebagai sumber hukum diperselisihkan oleh para ulama). Sumber hukum yang kuat menurut jumhur (mayoritas) ulama, adalah yang tak diperselisihkan oleh para ulama (muttafaq ‘alaihi), yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas. Menurut Imam Taqiyuddin An-Nabhani, Mashalih Mursalahtidak layak menjadi dalil syar’i. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, 3/444);
Kedua, terdapat hadits-hadits shahih yang melarang melanggar kehormatan mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya sebagaimana di atas.
Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, hlm. 179; Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, hlm. 299).
Sebab di samping hadits dengan lafal mutlaq (tak disebut sifatnya, yaitu semua mayat) seperti dalam riwayat Abu Dawud di atas, ternyata ada hadits shahih dengan lafal muqayyad(disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW :
ان كسر عظم المؤمن ميتا مثل كسره حيا
“Sesungguhnya memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat dia hidup.” (inna kasra ‘azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.) (HR Ahmad, no 24.353 & 24.730; Imam Malik, Al-Muwathha`, 2/227, no 253; Imam Ad-Daruquthni, Sunan Ad-Daruquthni, 8/208, no 3459; Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, 14/297; Al-Thahawi, Musykil Al-Atsar, 3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami’ Ash-Shaghir, 9/353).Penyimpulan hukum bahwa otopsi hanya haram untuk mayat muslim dan boleh untuk mayat non-musim, sejalan dengan sebuah kaidah ushuliyah (kaidah untuk menyimpulkan hukum Islam) yang menyebutkan :
المطلق يجري على إطلاقه ما لم يرد دليل يدل على التقييد
Al muthlaqu yajriy ‘alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ‘ala at taqyiid.(dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya batasan/muqayyad). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, Juz 1 hlm. 208)
Kesimpulannya, otopsi hukumnya haram jika mayatnya muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh.
Mengkritisi Fatwa MUI Tentang Otopsi
Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah, pada dasarnya mengharamkan otopsi (otopsi forensik dan otopsi klinis), tapi kemudian membolehkan asalkan ada kebutuhan pihak berwenang dengan syarat-syarat tertentu.
Dalam fatwa MUI tersebut pada “Ketentuan Hukum” nomor 1 disebutkan,”Pada dasarnya setiap jenazah harus dipenuhi hak-haknya, dihormati, keberadaannya dan tidak boleh dirusak.” Ini artinya, menurut MUI hukum asal otopsi adalah haram.
Kemudian pada “Ketentuan Hukum” nomor 2 pada Fatwa MUI tersebut disebutkan, “Otopsi jenazah dibolehkan jika ada kebutuhan yang ditetapkan oleh pihak yang punya kewenangan untuk itu.” Ini berarti hukum asal otopsi tersebut dikecualikan, yaitu otopsi yang asalnya haram kemudian dibolehkan asalkan ada kebutuhan dari pihak berwenang.
Kebolehan otopsi tersebut menurut MUI harus memenuhi 4 (empat) syarat. Dalam “Ketentuan Hukum” nomor 3 pada Fatwa MUI tersebut, disebutkan 4 syarat tersebut, yaitu ;”
(1) otopsi jenazah didasarkan kepada kebutuhan yang dibenarkan secara syar’i (seperti mengetahui penyebab kematian untuk penyelidikan hukum, penelitian kedokteran, atau pendidikan kedokteran), ditetapkan oleh orang atau lembaga yang berwenang dan dilakukan oleh ahlinya,
(2) otopsi merupakan jalan keluar satu-satunya dalam memenuhi tujuan sebagaimana dimaksud pada point,
(3) jenazah yang diotopsi harus segera dipenuhi hak-haknya, seperti dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, dan
(4) jenazah yang akan dijadikan obyek otopsi harus memperoleh izin dari dirinya sewaktu hidup melalui wasiat, izin dari ahli waris, dan/atau izin dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.” (Lihat Fatwa MUI no 6 Tahun 2009 tentang Otopsi Jenazah).
Fatwa MUI tentang otopsi jenazah tersebut di atas menurut kami tidak sah dan tidak dapat diterima, dengan 5 (lima) alasan sebagai berikut;
Pertama, dalil syar’i yang mengecualikan haramnya otopsi sebenarnya tidak ada. Karena tidak ada dalil syar’i yang sah dari Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas yang mengecualikan keharaman otopsi (yang membolehkan otopsi). Dalam kaidah ushul fiqih (qaidah ushuliyah) ditetapkan bahwa :
العام يبقى على عمومه ما لم يرد دليل التخصيص
Al-‘aam yabqaa ‘alaa ‘umummumihi maa lam yarid dalil at-takhshiish. (hukum yang berlaku umum tetap dalam keumumannya, kecuali ada dalil yang mengecualikan (mengkhususkan).”Kedua, dalil takshis (yang mengecualikan) haramnya otopsi yang disebut MUI, yaitu adanya kebutuhan (al haajat) untuk melakukan otopsi, juga tidak sah. Karena kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI, yang menurut kami dapat ditafsirkan sebagai “kemaslahatan” (al mashlahah) atau kepentingan, adalah argumentasi (dalil) yang lemah. Dalil mashlahat ini ujung-ujungnya akan kembali kepada sumber hukum yang disebut Mashalih Mursalah, yang kelemahannya sudah kami singgung di atas. Karena dalil Mashalih Mursalah itu tidak termasuk dalam dalil yang disepakati jumhur ulama, yaitu Al-Quran, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.
Kalaupun menggunakan dalil Mashalih Mursalah, maka pendapat MUI tersebut justru tidak memenuhi kriteria maslahat dalam Mashalih Mursalah, yaitu kemaslahatan yang kosong dari dalil, yakni kemaslahatan yang tak ada dalil yang membatalkanya dan tidak ada pula dalil yang mengabsahkannya. Dalam ilmu ushul fiqih, kemaslahatan yang dibatalkan dalil disebut al maslahah al mulghah. Sedang kemaslahatan yang diabsahkan dalil disebut al maslahah al mu’tabarah. (Lihat Muhammad Husain Abdullah, Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqih, hlm. 150-151).
Padahal, kemaslahatan otopsi itu jelas termasuk kemaslahatan yang dibatalkan dalil, karena sudah ada dalil syar’i yang jelas-jelas membatalkan kemaslahatan otopsi, yaitu hadits shahih yang melarang merusak mayat, sesuai sabda Nabi SAW :
كسر عظم الميت ككسره حياً
“Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia hidup.” (HR Abu Dawud, no 3207, hadits shahih; HR Ahmad, Al Musnad, no 24.783).Jika kata “kebutuhan” dalam fatwa MUI tersebut ditafsirkan sebagai “al haajat” dalam terminologi ushul fiqih, juga tidak sah. Memang dalam ushul fiqih istilah “al haajat” dapat berkedudukan sama dengan “al dhahuurat” (kondisi darurat), seperti disebut dalam sebuah kaidah fiqih : al haajat tanzilu manzilah al dharuurah (kebutuhan dapat berkedudukan sebagai kondisi darurat). Namun kondisi darurat ini tidak terwujud dalam kasus otopsi. Karena pengertian darurat menurut Imam Suyuthi dalam Al Asybah wa An Nazha`ir adalah “sampainya seseorang pada suatu batas/kondisi yang jika dia tidak melakukan yang dilarang, maka dia akan mati atau mendekati mati.” (Arab : wushuuluhu haddan in lam yataanawal mamnuu’ halaka aw qaaraba).
Ketiga, syarat untuk membolehkan otopsi (wasiat saat hidup atau izin ahli waris) dalam fatwa MUI tersebut tidak sah. Karena wasiat saat hidup dari seseorang, hanya sah untuk barang-barang yang dimiliki oleh yang bersangkutan, seperti tanah, atau rumah yang menjadi hak milik yang bersangkutan. Adapun wasiat untuk mengotopsi tubuhnya setelah dia mati, tidak sah. Karena setelah mati, tidak ada lagi hubungan hukum (seperti kepemilikan) antara seseorang dengan sesuatu yang dimilikinya pada saat dia hidup. Buktinya hartanya wajib diwaris, istrinya wajib diceraikan, dan tubuhnya wajib dikuburkan. (Abdul Qadim Zallum, Hukmu As Syar’i fi Al Istinsakh).
Demikian pula izin ahli waris untuk mengotopsi jenazah, juga tidak sah. Karena ahli waris tidak punya hak untuk mengizinkan. Sebab hak ahli waris hanya terbatas pada benda waris (tanah, rumah, uang dll) bukan pada jenazah pihak yang mewariskan benda waris (al muwarrits).
Tidak sahnya wasiat untuk diotopsi, baik dari orang yang bersangkutan atau dari ahli warisnya, diperkuat dengan kaidah fiqih yang menyatakan :
من لا يملك التصرف لا يملك الإذن فيه
Man laa yamliku at-tasharrufa laa yamliku al-idzin fiihi. (Barangsiapa tidak berhak melakukan tasharruf [perbuatan hukum], tidak berhak pula memberikan izin [kepada orang lain] untuk melakukan perbuatan hukum/tasharruf tersebut). (Az-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa’id, 3/211; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 11/1081;Hasan Ali al-Syadzili, Hukm Naql A’dha` Al-Insan fi Al-Fiqh al-Islami, 109).Keempat, otopsi dalam sistem pidana Islam (nizham ‘uqubat fil Islam) sebenarnya tidak dapat menjadi bukti pembunuhan (bayyinah al qatl). Karena pembuktian terjadinya pembunuhan dalam sistem pidana Islam hanya sah dengan salah satu dari dua jalan pembuktian, yaitu : Pertama, pengakuan (iqraar) dari pihak pembunuh. Kedua, kesaksian (syahaadah). (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).
Untuk kesaksian, jumlah saksinya adalah dua saksi laki-laki, atau jika saksinya perempuan, maka satu saksi laki-laki setara dengan dua saksi perepmpuan. Jadi saksi dalam kasus pembunuhan adalah : dua saksi laki-laki, atau satu saksi laki-laki dan dua saksi perempuan, atau empat saksi perempuan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 54-55).
Kelima, syarat yang disebut fatwa MUI tersebut, yaitu otopsi merupakan satu-satunya jalan, sudah gugur. Karena beberapa tahun belakangan ini dalam dunia kedokteran sudah ada PMCT (Post Mortem CT Scan), yaitu penggunaan mesin pencitraan (CT Scan) yang dapat digunakan mengungkap rahasia medis orang mati. PMCT ini dapat menggantikan tindakan pembedahan dalam proses otopsi. Keuntungan PMCT (Post Mortem CT Scan) di antaranya adalah diagnosisnya tidak invasif dan dianggap tidak merusak mayat. Wallahu a’lam [ ]
= = = =
*Makalah disajikan dalam Kajian Akademik Hukum Bedah Mayat, diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Forensik Indonesia dan Departemen IKF &Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Jakarta, pada hari Rabu 17 Desember 2014.
**Dosen Ushul Fiqih di STEI Hamfara Jogjakarta, Pimpinan Pondok Pesantren Hamfara Jogjakarta. Alumnus Departemen Biologi Fakultas MIPA IPB Bogor (1997), dan Magister Studi Islam UII Jogjakarta (2009). Pernah menjadi santri di PP Nurul Imdad Bogor (1990-1992) dan PP Al Azhhar Bogor (1992-1994). Aktif dalam dakwah sebagai anggota DPP HTI (Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia).
[www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar