Header Ads

Ketika Negara Hanya Regulator, Mautpun Mengintai Penerbangan Anda

Ketika Negara Hanya Regulator, Mautpun Mengintai Penerbangan Anda
Oleh : Rini Syafri
(Anggota DPP Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)

Tragedi jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 telah hampir sebulan berlalu.  Namun peristiwa naas yang  menewaskan 162 jiwa itu telah membuka mata publik negeri ini tentang carut marutnya tata kelola penerbangan neoliberal. Mulai dari indikasi jual beli izin terbang (fligh approval), kekurangan SDM penerbangan, keterbatasan fasilitas bandar udara, keterbatasan teknologi hingga slot time yang melebihi kapasitas.



Tidak saja di Indonesia namun juga di berbagai penjuru dunia tidak terkecuali Amerika, Rusia dan  Jerman yang dikenal maju dalam pengelolaan penerbangan, penerbangan telah menjadi mesin pembunuh ribuan  jiwa manusia.  Berdasarkan catatan  Biro Arsip Kecelakaan Pesawat (BAAA, Bureau of Aircraft Accident Archives) pada tahun 2014 saja telah terjadi 112 kecelakaan pesawat komersial yang menewaskan 1.326 orang (AntaraNews.com, 30 Desember 2014. Sepanjang 2014 Terjadi 112 Kecelakaan Pesawat).  Sementara penerbangan sendiri saat ini merupakan salah satu urat nadi kehidupan publik di samping transportasi laut dan darat. Oleh karena itu urgensitas pembenahan tata kelola transportasi udara tidak perlu diperdebatkan lagi.

Namun pembenahan bagaimana yang harus dilakukan? Meningkatkan peran negara sebagai regulator?   Atau harus meninggalkan model tata kelola neoliberal ini karena justru ia yang menjadi biang persoalan?



Biang Masalah, Justru Karena Negara Hanya Regulator

Dalam sudut pandang tata kelola hajat publik neoliberal, adalah penting dipisahkan fungsi regulator dan operator (pelaksana). Penggunaan paradigma neoliberal dalam pengelolaan layanan transportasi udara yang ditandai dengan pembatasan fungsi Negara sebatas regulator saja (baca:mendagangkan hajat hidup publik), ditegaskan pada bagian penjelasan umum Undang-Undang RI No 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan,yang dijadikan pedoman utama pengelolaan transportasi penerbangan di negeri ini.  Penjelasan tersebut berbunyi, “ Undang-Undang ini telah dilakukan perubahan paradigma yang nyata dalam rangka pemisahan yang tegas antara fungsi regulator,operator, dan penyedia jasa penerbangan.

Pada tata kelola layanan transportasi penerbangan fungsi regulator berada di tangan Kementerian Perhubungan, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Fungsi operator atau penyelengaraan dan pelaksanaan pelayanan transportasi diserahkan pada sejumlah institusi bisnis yang menjadi stake holder otoritas bandara. Yaitu penyediaan fasilitas pendaratan, lepas landas, parkir hingga bengkel dan hanggar pesawat oleh Badan Usaha Bandar Udara.  Dalam hal ini PT Angkasa Pura I pada kawasan Indonesia bagian tengah dan Timur, dan PT Angkasa Pura II pada kawasan Indonesia bagian barat.  Pemberian slot time oleh IDSC (Indonesia Slot Coordinator).  Sedangkan pengaturan lalu lintas oleh ATC (Air Traffict Control) merupakan fungsi dari Perusahaan Umum Lembaga Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia (Perum LPPNPI) atau AirNav Indonesia.  Dan untuk jasa moda transportasi udara oleh sejumlah  perusahaan maskapai penerbangan.

Sebagai catatan, meski PT Angkasapura,Perum AirNav, IDSC serta maskapai penerbangan Garuda merupakan institusi milik pemerintah, namun tuntutan sistem pemerintahan demokrasi, neoliberal mengharuskannya mencari untung. Artinya, jasa transportasi penerbangan dalam sistem politik demokrasi, neoliberal benar-benar telah menjadi industri bisnis yang digerakkan oleh uang dan kosong dari unsur pelayanan. 

Bagaimana tata kelola neoliberal telah menfasilitasi perjudian nyawa diudara? Terlihat antara lain  dari persoalan slot time. Dinyatakan Mantan Menteri Perhubungan, Budhi Mulyawan Suyitno, Indonesia Slot Coordinator (IDSC) harus diaudit (Tempo.com, 10 Januari 2015.  IDSC Harus Diaudit, Rawan Mafia Izin Terbang).  Dan bagaimana kepentingan bisnis telah mengalahkan kedisiplinan yang merupakan aspek sangat penting dalam keselamatan penumpang diberitakan Tabloid Aviasi Edisi 64 Thn VI – Oktober 2013.  Judul artikel “Rebutan jadwal pada “prime time” banyak memicu airlines mengatur jadwalnya sendiri, walaupun sudah diatur dalam slot time yang ditetapkan.”  Sementara itu pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyatakan, ”Patut diduga alokasi waktu terbang itu selama ini menjadi dagangan. Ketika ada persaingan di bandara-bandara utama pada jam sibuk, patut diduga alokasi itu menjadi barang dagangan. Tetapi, memang sulit dibuktikan apabila tidak tertangkap tangan.” (tribunnews.com, 6 Januari 2015.  Pengamat: Transparansi Izin Terbang Cegah Kecelakaan Pesawat).

Slot time dalam bisnis penerbangan memang sangat berharga.  Karena slot time tidak saja menfasilitasi pesawat untuk take off dan landing,namun semua hal yang dibutuhkan untuk dua hal tersebut.  Baik itu fasilitas runway (landasan pacu), apron/ parking stand, hingga fasilitas pelayanan  ATC (Air Trafict Control).  Meski untuk bisa mendapatkan berbagai fasilitas tersebut maskapai penerbangan tidak terkecuali milik pemerintah harus membayar pada PT Angkasa Pura selaku badan usaha bandar udara.  Berapa yang harus dibayar maskapai penerbangan untuk mendapat slot time? Sebagai gambarannya, salah satu maskapai penerbangan terbesar di Amerika Serikat, American Airlines, berhasil mendapatkan dana sebesar US$ 381 juta dari hasil penjualan hak take off dan landing, atau yang biasa disebut dengan slot, di LaGuardia Airport New York dan Reagan National Airport Washington (indo-aviation.com, 13 Maret 2014.  Jual Slot Penerbangan, American Air Lines Dapatkan US $ 381 Juta).

Bagaimana dengan persoalan safety jutaan jiwa penumpang?  Tingginya angka kecelakaan menunjukkan safety  telah terpinggirkan oleh kepentingan bisnis. Pada hal para ahli penerbangan telah menegaskan bahwa penerbangan merupakan moda transportasi yang mengharuskan zero mistake.  Karena kelalaian sedikit saja berakibat fatal.  Hal ini setidaknya tercermin dari posisi Amerika Serikat sebagai negara dengan angka tertinggi kecelakaan pesawat sipil di dunia.  Meskipun Amerika Serikat merupakan satu dari 20 negara dengan kualitas infrastruktur udara terbaik di dunia.  Demikian artikel yang dimuat portal The Statistics (www.statista.com), dengan judul “Countries and regions with the highest number of fatal civil airliner accidents from 1945 through November 30, 201”.  Sejalan dengan data ini, review terhadap data kecelakaan penerbangan sipil AS oleh  National Transportation Sefety Board  menunjukkan selama tiga tahun (2007- 2009) terjadi 4958 kecelakaan, 876 di antaranya fatal yang menewaskan 641 orang (NTSB, Review of U.S Civil Aviation Accidents 2007-2009. NTSB, 31 Maret 2011).

Wal hasil tidak saja mahal, tata kelola penerbangan batil neoliberal ternyata jauh dari sebutan aman. Bahkan menjadi salah satu pembunuh ribuan jiwa yang harusnya selamat.  Pada tataran ini terlihat pembenahan transportasi udara mengharuskan perubahan paradigma tata kelola.  Pembatasan peran negara sebagai regulator  sebagaimana tata kelola yang baik dalam sudut pandang neoliberal harus segara ditinggalkan. 



Transportasi Penerbangan Khilafah: Penerbangan Murah, Aman dan Nyaman.

Kunci keniscayaan akses publik terhadap penerbangan yang tidak saja murah namun juga aman dan nyaman terletak pada paradigma yang digunakan negara dan pemerintah dalam pengelolaan transportasi penerbangan bagi masyarakat.  Negara bukanlah regulator dan pembisnis hajat hidup publik tetapi menjalankan fungsi raa’in (penyelenggara) pemenuhan kebutuhan transportasi udara bagi publik.  Karena sudah sangat jelas transportasi penerbangan merupakan urat nadi kehidupan publik, disamping moda transportasi darat dan laut.  Ditegaskan Rasulullah saw yang artinya, “Imam (Khalifah) raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Bukhari).

Di atas paradigma tersebut seharusnya pemerintah melakukan upaya-upaya pembenahan. Yaitu yang terpenting di antaranya adalah:

Pertama, bersamaan pembenahan tata kelola transportasi penerbangan, negara juga harus mengelola transportasi publik di laut dan udara secara benar dan tulus.  Karena tata kelola transportasi publik neoliberal di ke dua aspek ini telah gagal menyedikan transportasi publik darat dan laut yang murah, aman dan nyaman.  Sehingga menyebabkan tingginya kebutuhan masyarakat terhadap transportasi udara saat ini.

Kedua, negara bertanggungjawab menyediakan moda transportasi udara (pesawat terbang) beserta bandar udara yang memadai dalam jumlah dan kualitas berikut berbagai fasilitas bandar udara.  Termasuk aspek airside seperti runway (landasan pacu), apron/parking stand.  Landside, seperti check-in counter, ruang tunggu penumpang, conveyor belt.  Air Traffict Control dengan berbagai tekhnologi terbaik.  Disamping SDM penerbangan yang memadai secara kualitas dan kuantitas untuk pengoperasian berbagai fasilitas tersebut.

Ketiga, negara wajib menggunakan konsep pembiayaan yang bersifat mutlak.  Yaitu ada tidak ada kekayaan negara untuk alokasi pembiayaan penerbangan transportasi publik wajib diadakan negara.  Dengan demikian tidak dibenarkan menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja (performance based budgeting).

Keempat, negara wajib menggunakan konsep kekuasaan tersentralisasi dan administrasi yang bersifat desentrasilisasi.  Hanya konsep inilah yang mampu merealisasikan ketersediaan transportasi penerbangan bagi publik di seluruh penjuru negeri ini.

Kelima, tidak dibenarkan melakukan pembangunan  model neoliberal kemitraan pemerintah dan swasta.  Karena hanya akan memangkas fungsi, wewenang dan tanggungjawab negara. Ini di satu sisi, di sisi lain terbukti model neoliberal ini hanya meningkatkan beban biaya pada publik sementara persoalan keterbatasan sarana prasarana moda transportasi udara tetap tidak teratasi.

Keenam, Fasilitas bandar udara sebagai harta milik negara harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menjalankan fungsi negara sebagai raa’in (pelayan publik).  Bukan untuk dibisniskan.  Karenanya negara tidak akan memberikan hak  pemanfaatan kepada entitas bisnis tertentu  demi mencari keuntungan. Sebaliknya entitas-entitas yang merupakan unit pelaksana teknis, seperti angkasapura, AirNav, maskapai penerbangan garuda Indonesia harus berfungsi sebagai perpanjangantangan fungsi negara sebagai ra’in.

Ketujuh,  pengelolaan yang sohih sebagaimana ketentuan syariat Islam terhadap  potensi sumber daya bahan bakar minyak yang berlimpah di negeri  memungkin negara memproduksi bahan bakar pesawat (avtur) tampa harus mengimpor seperti saat ini.

Kedelapan,  negara menerapkan politik industri berbasis industri berat. Yang meniscayakan negara memproduksi sendiri pesawat terbang berikut suku cadangnya.

Sejumlah prinsip-prinsip tersebut bersamaan atmosfir pengelolaan yang dilingkupi suasana ketulusan dan ketaqwaan kepada Allah swt  pada diri penguasa dan aparat pemerintah dengan sendirinya akan menghilangkan praktek bisnis dan kecurangan yang membahayakan nyawa masyarakat.  Pada saat bersamaan setiap orang bisa menikmati penerbangan yang tidak saja murah tetapi juga aman dan nyaman.    Demikianlah tata kelola penerbangan khilafah yang penuh berkah. Allahu a’lam. [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.