Header Ads

Arti dari Pernyataan Bahwa "Rasulullah Tidak Melakukan Istikhlaf"

Arti dari Pernyataan Bahwa "Rasulullah Tidak Melakukan Istikhlaf"
Banyak orang yang menolak kewajiban Khilafah karena berargumentasi dengan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, pada kitab Shahih Muslim, pada hadits no. 1823. Di dalam hadits ini diceritakan bahwa saat Umar ra. menjelang wafat karena ditusuk oleh seorang yahudi, orang-orang menjenguk beliau, lalu mereka berkata kepada Umar: “Istakhlif”, yang artinya kira-kira “Tunjuklah seorang Khalifah”. Lalu saat itu, Umar menolak dan mengatakan: “La astakhlif, fainna Rasulaahi saw lam yastakhlif. Wa in astakhlif fainna Aba Bakrin qad istakhlafa”, yang artinya kira-kira “Saya tidak akan menunjuk pengganti (Khalifah), sebab Rasulullah saw juga tidak menunjuk penggati. Namun seandainya saya menunjuk penggati (Khalifah), maka sesungguhnya Abu Bakar telah menunjuk penggantinya”.

Dari hadits ini, banyak orang pada zaman sekarang yang salah paham, bahwa dengan hadits itu menunjukkan bahwa Khalifah tidak wajib. Buktinya, Rasulullah sendiri saja tidak menunjuk Khalifah.

Benarkah pemahaman ini?


Untuk membahas masalah ini, kita akan menyimak pemaparan dari ulama yang mu’tabar dari kalangan Ahlus Sunnah Wal Jamaah, yaitu Imam Al-Khaththabi dalam kitab beliau yang sangat terkenal, yaitu Tharh At-Tatsrib fi Syarh At-Taqrib, juz 8, halaman 75. Kitab ini adalah kitab syarah (kitab penjelasan) dari kitab Taqrib yang dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia. Berikut terjemahan bebasnya.

*****

Perkataan Umar (Saya tidak akan menunjuk pengganti (Khalifah), sebab Rasulullah saw juga tidak menunjuk penggati). Al-Khaththabi berkata: Arti dari pernyataan Umar ra adalah bahwa beliau tidak menunjuk nama seseorang untuk menjadi Khalifah. Pernyataan beliau sama sekali tidak bermaksud bahwa Umar tidak memerintahkan dan tidak menunjukkan hal itu (adanya Khalifah), atau membiarkan masyarakat tanpa ra’in (seorang Imam atau Khalifah yang melayani masyarakat). Rasululah bersabda bahwa para Imam itu berasal dari Qurasy, artinya adalah perintah untuk melakukan akad bai’at kepada Imam dari Qurasy.

Karena itulah, kita melihat saat Rasulullah saw wafat, mereka (para sahabat beliau) tidak melakukan apa-apa untuk memakamkan atau menyiapkan pemakaman beliau, sehingga mereka menyelesaikan urusan bai’at dan mengangkat Abu Bakar ra (sebagai Khalifah). Mereka menamakannya sebagai Khalifah (pengganti) Rasulullah, sebab tindakan mereka berasal dari beliau dan disandarkan pada beliau.

Ini adalah dalil yang paling jelas (adallul dalil) atas wajibnya Khilafah. Sehingga wajib bagi masyarakat memiliki Imam (Khalifah), yang mengendalikan urusan mereka dan menjalankan hukum-hukum Allah bagi mereka, yang menolak keburukan dari mereka, dan menghilangkan kedzaliman dan kerusakan.

Lebih dari itu, telah menunjukkan atas hal itu (wajibnya Khalifah) adalah kesepakatan ummat (ittifaqul ummah), yaitu setelah wafatnya Rasulullah dan diangkatnya Imam, dan diagkatnya Imam-Imam selanjutnya. Tidak terjadi perbedaan pendapat dalam hal ini, kecuali orang-orang Khawarij dan al marifah, yaitu orang-orang memecah persatuan umat dan melepaskan ketaatan. Selesai.

Imam Nawawi mengatakan yaitu dengan mengikuti yang disampaikan al Qadli Iyad: Adapun yang diriwayatkan dari al-Asham bahwa tidak wajib mengangkat Khalifah, maka hal itu adalah pernyataan yang bathil, karena bertentangan dengan dalil ijma’ sahabat, dan tidak ada hujjah sedikit pun (untuk mengatakan hal itu). Para sahabat tetap bersepakat tanpa ada perbedaan pada masa musyawarah di Tsaqifah (dalam masa pemilihan Abu Bakar), dan pada masa musyawarah setelah wafatnya Umar. Para sahabat sama sekali tidak meninggalkan mengangkat Khalifah, tetapi mereka justru tergerak menyibukkan diri untuk mendiskusikan tentang orang-orang yang yang akan dibai’at.

Diceritakan dari sebagian orang bahwa wajibnya mengangkat Khalifah dasarnya adalah akal. Imam An-Nawawi mengatakan: Argumentasi ini jelas keliru (fasad), sebab akal tidak dapat digunakan untuk mewajibkan sesuatu. Akal tidak bisa digunakan untuk menilai sesuatu yang hasan (hakikat baik), juga yang qabih (hakikat buruk). Itu terjadi hanya karena kebiasaan, bukan pada hakikatnya.

*****

Penjelasan Imam Al-Khaththabi ini dalam menjelaskan hadits riwayat Imam Muslim ini sangat jelas. Yang dimaksud oleh Umar bahwa “Rasulullah la yastakhlifu”, adalah bahwa Rasulullah saw tidak menunjuk calon yang akan menjadi Khalifah. Pernyataan itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa mengangkat Khalifah itu tidak wajib. Jadi, Rasulullah saw mewajibkan adanya Khalifah, namun beliau membiarkan umat untuk memilih Khalifah yang dikehendakinya.

Hal ini seperti pernyataan bahwa “orang tua tidak mencarikan jodoh bagi anak lelakinya”. Pernyataan ini sama sekali tidak bisa dipahami bahwa jodoh bagi anaknya itu tidak penting. Tetapi maksud dari pernyataan ini adalah bahwa orang tua tidak memaksakan calon istri tertentu bagi anak lelakinya, dan membiarkan anaknya untuk memilih calon istri yang dikehendakinya.

Wallahu a’lam.

Oleh Ustadz Choirul Anam
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.